 
                            Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SENJATA BERMATA DUA
Kata "Gagal" menggema di arena yang kembali gelap dan sunyi. Simulasi kantor Cakra telah lenyap. Hujan virtual telah berhenti. Yang tersisa hanyalah kami bertiga, berdiri di atas lantai hitam yang dingin, diterangi oleh satu-satunya lampu sorot yang kini terasa seperti lampu interogasi.
Keheningan yang mengikuti adalah keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Ini bukan keheningan karena tegang atau fokus. Ini adalah keheningan yang hampa, keheningan yang pekat karena syok.
Darah terasa terkuras dari wajahku. Tanganku, tangan yang sama yang baru saja kuhancurkan mekanisme kunci itu, mulai bergetar. Getaran kecil, nyaris tak terlihat, tapi aku merasakannya. Tiga detik. Seluruh tim tewas. Dan aku... akulah yang menarik pelatuknya. Suara Pak Tirtayasa—"kau akan menjadi abu"—bergema di kepalaku, bercampur dengan ingatan-ingatan lain yang jauh lebih tua: medan perang yang terbakar, kota-kota yang hancur, debu dari musuh-musuh yang telah kulenyapkan.
Aku telah melakukannya lagi.
Aku menatap telapak tanganku, tapi aku tidak lagi melihat kulit dan garis-garis. Aku melihat sebuah kutukan. Senjata yang sama yang kusebut-sebut untuk menyelamatkan mereka di Gudang 7, kini, dalam skenario yang berbeda, adalah senjata yang membantai mereka semua tanpa ampun. Pak Tirtayasa benar. Kekuatan absolut adalah jebakan absolut. Dan aku, dengan bodohnya, melompat lurus ke dalamnya.
"Gagal?!" Suara Adhitama memecah keheningan, sarat dengan amarah dan ketidakpercayaan. Dia melangkah maju ke arah Pak Tirtayasa. "Apa maksud Anda 'gagal'?! Itu jebakan! Bagaimana mungkin kami bisa tahu itu jebakan plasma?! Anda mengirim kami ke dalam misi yang tidak mungkin dimenangkan!"
"Dunia ini penuh dengan misi yang tidak mungkin dimenangkan, Adhitama," balas Pak Tirtayasa, suaranya dingin seperti es, sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan emosi Adhitama. "Cakra tidak akan memberimu buku manual sebelum mereka membunuhmu. Mereka akan menggunakan setiap trik kotor, setiap kebohongan, dan setiap jebakan psikologis untuk menghancurkanmu. Dan malam ini, mereka berhasil."
"Itu... itu tidak adil!" teriak Adhitama, menendang lantai arena dengan frustrasi.
"Adil?" Pak Tirtayasa tertawa, suara tawa yang kering dan tanpa humor. "Keadilan adalah kemewahan yang tidak kita miliki. Kau pikir Cakra bermain adil saat mereka menculik Rina? Saat mereka melakukan eksperimen pada Anomali lain? Kau pikir mereka akan memberimu pertarungan satu lawan satu yang terhormat? Kau adalah palu godam, Adhitama, dan kau baru saja mencoba menghancurkan sebuah bom. Kau gagal."
Adhitama terdiam, rahangnya mengatup. Dia tidak punya jawaban.
Pak Tirtayasa lalu menoleh pada Sari. Dia berdiri membeku, lebih pucat dari kami berdua. Dia tidak gemetar seperti aku, tapi matanya... matanya menatap kosong ke satu titik di lantai, seolah sedang memutar ulang setiap milidetik dari simulasi itu berulang-ulang, mencari di mana kesalahannya.
"Sari," panggil Pak Tirtayasa.
Dia tersentak. "Saya... saya gagal," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Data... saya salah membaca data. Saya mengasumsikan pintu adalah penghalang ke server. Saya tidak pernah mempertimbangkan bahwa pintu itu sendiri adalah... ancamannya. Saya terfokus pada enkripsi, pada timer... saya tidak melihat gambaran besarnya. Saya tidak melihat jebakannya."
"Tepat," kata Pak Tirtayasa. "Kau adalah analis tercerdas yang pernah kutemui. Kau bisa membaca aliran data seperti orang lain membaca buku. Tapi Cakra tahu itu. Mereka tidak akan melawanmu dengan enkripsi yang lebih baik. Mereka akan melawanmu dengan misinformasi. Mereka memberimu teka-teki yang begitu rumit untuk dipecahkan—timer, kunci biometrik, penghapusan data—sehingga kau tidak pernah berhenti untuk bertanya: 'Apakah teka-teki ini perlu dipecahkan sama sekali?' Kau adalah otak, Sari, dan kau baru saja kalah dalam adu kecerdasan. Kau gagal."
Sari memejamkan matanya, rasa sakit dari kegagalan intelektual itu terlihat jelas di wajahnya.
Akhirnya, tatapan Pak Tirtayasa mendarat padaku. Tatapannya adalah yang paling berat. Dia tidak perlu meninggikan suaranya. Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada pisau manapun.
"Dan kau, Bima," katanya pelan. "Kau adalah kekecewaan terbesar dari semuanya."
Kata-kata itu menghantamku lebih keras dari pukulan Adhitama.
"Kau memiliki kekuatan seorang dewa, dan kau menggunakannya dengan kecerobohan seorang anak kecil," lanjutnya, suaranya tak kenal ampun. "Aku menempatkanmu dalam tim ini sebagai pisau bedah, sebagai solusi presisi. Dan apa yang kau lakukan saat menghadapi kunci yang rumit? Kau mengambil palu godam terbesarmu dan menghancurkannya."
"Saya mencoba menyelamatkan data!" balasku, suaraku serak. "Timer terus berjalan! Tidak ada waktu!"
"BOHONG!" suaranya meledak untuk pertama kalinya, sebuah raungan otoritas yang membuat kami bertiga tersentak. "Kau tidak mencoba menyelamatkan data! Kau mencoba menang! Kau melihat sebuah masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh rekan-rekanmu, dan kau, dengan kesombonganmu, memutuskan bahwa kekuatan absolutmu adalah satu-satunya jawaban! Kau bahkan tidak berhenti untuk berpikir!"
Dia berjalan mendekat, kini berdiri tepat di depanku, matanya membara menembus mataku. "Kau tidak bertanya pada Sari, 'Apakah ada terminal lain?' Kau tidak bertanya pada Adhitama, 'Bisakah kau merobohkan dinding di samping pintu?' Kau tidak mempertimbangkan untuk mundur dan memikirkan ulang strategi. Kau melihat sebuah paku, dan kau memutuskan untuk menjadi bom nuklir. Kau membunuh timmu, Bima, karena kau sombong."
Sombong. Kata itu bergema di dalam diriku. Bukan. Itu bukan sombong. Itu... ketakutan. Ketakutan akan kegagalan. Ketakutan akan...
"Dan inilah bagian terburuknya," bisik Pak Tirtayasa, kini hanya untukku. "Jebakan itu bahkan bukan jebakan yang pintar. Itu adalah jebakan yang paling jelas."
Dia berbalik dan berjalan kembali beberapa langkah, berbicara kepada kami bertiga lagi. "Kalian semua gagal karena kalian gagal bekerja sebagai tim. Kalian bertindak sebagai tiga individu yang superior. Kalian tidak berkomunikasi. Kalian hanya... bereaksi."
"Lalu apa solusi yang benar?!" teriak Adhitama, putus asa. "Katakan padaku! Apa yang seharusnya kami lakukan?!"
Pak Tirtayasa menatapnya. "Kalian seharusnya mendengarkan musuh kalian."
Kami bertiga menatapnya, bingung.
"Manajer IT itu," jelas Pak Tirtayasa. "Apa yang dia katakan pada kalian? Dia bilang, 'Aku baru saja memulai penghapusan data server total.' Dan dia bilang, 'Aku satu-satunya yang punya kuncinya.' Dia tidak pernah bilang dia punya kunci pintu. Dia adalah manajer IT. Apa yang selalu dibawa oleh manajer IT?"
Sari tersentak, matanya melebar ngeri saat kesadaran itu menghantamnya. "Drive... sebuah hard drive eksternal. Kunci enkripsi... data yang dicadangkan... ada padanya. Di sakunya."
"Tepat," kata Pak Tirtayasa. "Seluruh ruang server itu adalah pengalih perhatian. Sebuah honeypot besar yang berisik. Misi kalian yang sebenarnya adalah melumpuhkan manajer IT itu—seperti yang Adhitama lakukan—dan mengambil drive di sakunya. Itu saja. Data yang kalian butuhkan ada di sana. Kalian bisa saja mengambilnya dan berjalan keluar sementara timer penghapusan server masih berjalan. Tapi kalian tidak. Kalian terobsesi dengan pintu yang terkunci."
Keheningan yang mengikuti wahyu itu adalah keheningan yang paling mematikan dari semuanya. Kami tidak hanya gagal. Kami gagal secara spektakuler. Kami gagal karena kami tidak mendengarkan. Kami gagal karena kami lebih fokus pada rintangan daripada tujuan.
"Cakra tahu tentang orang-orang seperti kalian," kata Pak Tirtayasa. "Mereka tahu ada Anomali kuat di luar sana. Jadi mereka menciptakan jebakan yang mengeksploitasi sifat dasar kalian. Mereka tahu orang seperti Adhitama akan mencoba menghancurkan pintu. Mereka tahu orang seperti Sari akan mencoba meretasnya. Dan mereka bermimpi suatu hari nanti, orang seperti kau, Bima, akan datang dan mencoba melenyapkannya."
Dia menatap kami bertiga, berdiri di sana dalam kehancuran kami.
"Kalian bukan tim," katanya, suaranya kini kembali tenang, tetapi dipenuhi kekecewaan yang menusuk. "Kalian adalah tiga individu kuat yang kebetulan berdiri di ruangan yang sama. Kalian adalah ancaman bagi diriku sendiri, bagi misi ini, dan yang paling parah, bagi satu sama lain."
Dia berbalik. "Level 2 diulang besok. Pukul enam pagi. Aku akan menjalankan simulasi yang sama berulang-ulang sampai kalian berhasil."
Dia berhenti di tepi kegelapan. "Sekarang, keluar dari hadapanku. Aku muak melihat kalian."
Dia menghilang ke dalam bayang-bayang, meninggalkan kami bertiga sendirian di arena.
Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang bisa dikatakan. Adhitama tidak lagi terlihat marah. Dia hanya terlihat... kalah. Sari menundukkan kepalanya, bahunya merosot.
Aku berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Setiap langkah terasa berat, seolah aku menyeret rantai dari dua kehidupan. Aku tidak melihat ke arah mereka.
Saat aku sampai di koridor putih, aku berhenti dan menatap tanganku lagi. Getarannya telah berhenti. Kini tangan itu hanya terasa dingin. Sedingin es.
Satu pelajaran telah kupelajari malam ini. Satu pelajaran yang akan terpatri di jiwaku.
Kekuatanku bukanlah sebuah anugerah. Itu bukan alat. Itu adalah sebuah jebakan yang menunggu untuk menghancurkan semua orang yang kucoba lindungi. Mulai saat ini, aku tidak akan pernah menggunakannya lagi. Tidak akan pernah.
Pintu ke kamarku mendesis terbuka. Aku masuk dan membiarkan kegelapan menelanku.