NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Menjelang sore, saat Yaga sedang menghadiri rapat, Almaira meninggalkan catatan singkat bahwa dia akan pergi sebentar untuk berkunjung kerumah Pratama.

Dari sudut yang tidak terlihat di layar, dia menyelipkan kertas itu dengan hati-hati. Yaga tampak sedikit tidak senang, tetapi akhirnya hanya mengangguk kecil sebagai tanda mengerti.

Semakin jauh dia melangkah, semakin tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Semakin jauh meninggalkan rumah semakin sulit baginya untuk berpura-pura baik-baik saja.

Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, seperti sandwich yang tadi dia makan tidak benar-benar bisa dia cerna.

Sekarang, waktu yang tersisa bahkan belum mencapai sehari penuh.

Dia mengepalkan dan membuka tangannya perlahan, mengingat bagaimana jari-jarinya menyelusuri rambut Yaga sebelumnya.

Baru saja Almaira tiba di ruang tamu Pratama, sebuah suara memanggilnya dari belakang.

"Almaira"

Almaira tersentak dan langsung menoleh.

Di kejauhan, Ibu Rita datang dengan langkah cepat, napasnya sedikit terengah-engah, lalu menarik napas panjang.

"Ibu.. Ada apa?"

"Dua hari lalu, Amera datang menemui mu kan?"

"Ya, kami berdua mengobrol di kamar."

"Ya ampun Almaira, kenapa kamu tidak bilang ibu? Dia meminta imbalan kan? Berapa yang dia tawarkan?"

"Lima ratus juta."

"Apa? Kamu mendapatkan uang sebanyak itu dari mana? Ayah dan ibu tahu, kamu mengeluarkan uang sebanyak itu bukan dari rekening pribadi mu kan?"

Ibu Rita langsung berhenti dan berseru keras.

Almaira, yang kaget, buru-buru menggelengkan kepala.

"Tidak perlu Ibu mencari tahu. Itu memang harga yang wajar untuk orang yang seperti itu kan? Lagipula, Aira sudah benar-benar memutuskan hubungan dengannya."

"Begitu ya?"

"Ya"

"Baiklah, kalau begitu. Ibu tidak akan membicarakannya lagi. Oh ibu lupa, kemarin ibu pergi ke pusat pameran di kota dan membeli beberapa buku. Karena kamu datang, sekalian saja kamu bawa pulang ya. Ibu sengaja beli khusus untuk ayah mu dan untuk mu juga."

"Baik, terima kasih ibu."

"Ah iya... Sayang, suana ayah mu sekarang sedang sedikit tidak menentu, jadi lebih baik kamu cepat kembali."

Nada suaranya lebih pelan kali ini, seolah hanya ingin yang mendengarnya.

"Kenapa?"

"Ayahnya Amera baru saja keluar tadi."

"Lalu?"

"Wajahnya tidak terlihat baik. Saat Ibu tanya untuk yang terakhir kalinya, dia tidak menjawab dan langsung pulang ke rumahnya. Sepertinya Ayah mertua mu, tetap tidak mau memberinya pinjaman. Dia sudah mencoba menjual properti dengan harga murah, tapi tetap tidak ada yang mau membelinya."

"Tapi.. Bukannya Ayah dan Ibu sudah memutuskan hubungan dengan beliau ya?"

"Entahlah, memang dasarnya keras kepala. Tapi sekarang, semuanya baik-baik saja. Ayah mertua mu benar-benar sudah melarangnya menginjakkan kakinya di rumah ini lagi."

Sesaat, Rita memberikan isyarat yang membuat bulu kuduk Almaira meremang.

***

Kediaman Bram

Pak Bram terlihat melangkah dengan sorot mata tajam.

Setelah baru kembali dari kediaman Pratama, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, tetapi sinar matanya penuh dengan kemarahan.

Langkahnya tegas, dan langsung mengarah kepada Amera tanpa ragu.

Di belakangnya, Maura, nama sang istri menyusul dengan wajah yang nyaris sepucat kertas, seolah siap pingsan kapan saja.

Melihat Ayahnya, entah kenapa Amera tiba-tiba menangis, seakan baru saja menemukan solusi di tengah kekacauan selama beberapa hari ini.

"Ayah..." Tas tangan kecilnya jatuh ke lantai, terlempar begitu saja saat dia mengangkat kedua tangannya ke arah Pak Bram, seolah ingin memeluknya.

"Ayah…!"

Namun, sebelum dia sempat mendekat, tangan Pak Bram terangkat tinggi dan menampar wajahnya dengan keras.

"Suamiku! Apa yang kamu lakukan?"

Maura berteriak kaget, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan amarah suaminya yang sudah meluap. Tamparan pertama belum cukup. Dengan kedua tangan yang kokoh, Pak Bram kembali menghantam kepalanya, membuat suara benturan bergema di ruangan itu.

Amera yang tak menyangka sama sekali hanya bisa berdiri terpaku. Bibirnya pecah, darah merembes di sudutnya, tapi dia bahkan belum bisa sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi.

"A_Ayah…?"

Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Pak Bram mencengkeram rambutnya dengan kuat.

"Kau ini…"

"Ayah…?"

"Dasar anak tidak tahu malu!"

Senyuman mengejek muncul di bibir Pak Bram.

Pikirannya masih dipenuhi oleh penghinaan yang dia terima kemarin di rumahnya sendiri.

Betapa bahagianya Pak Bram saat mendengar kabar bahwa Pratama akan datang.

Begitu pertama kali meyambut dan memberi salam dengan hormat, Pratama membalasnya dengan senyum ramah.

Namun, semua berubah seketika saat dia mengutarakan niatnya meminjam uang sebesar satu miliar.

Ekspresi Pratama langsung mengeras.

Ditambah hari ini, saat dia mencoba menjelaskan situasinya, bahkan meyakinkan bahwa aset yang telah mereka berikan bisa segera dikembalikan, tetapi sia-sia.

Tatapan Pratama semakin tajam, penuh dengan makna yang tersembunyi.

"Bram, kamu benar-benar tidak tahu?"

Hanya itu yang dikatakannya sebelum berbalik, bangkit dari kursinya, dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman bambu miliknya.

Dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, dia berdiri di sana, sepenuhnya mengabaikan keberadaan Pak Bram.

"Ya… kita memang sudah semakin menua, Bram. Rasanya baru kemarin kau berdiri di hadapanku, berbicara dengan penuh wibawa seolah dunia ada dalam genggamanmu."

Saat Pratama berbalik, tatapannya hanya dipenuhi dengan kekecewaan.

Dia menghela napas panjang, seolah tak habis pikir dengan kebodohan yang terjadi di hadapannya.

Pak Bram merasa tubuhnya membeku dalam rasa malu yang luar biasa. Dan setelah dia mengetahui semuanya, rasa itu berubah menjadi kemarahan yang membara.

Skandal yang dibuat Amera belum lama ini mengacu pada perselingkuhan dengan tunangan orang lain, pembullyan, percobaan pembunuhan, pemerasan hingga ratusan juta rupiah kepada setiap korban bully.

"Selama ini, aku selalu membanggakan mu Amera, tapi lihatlah sekarang."

Dia tak bisa membantah.

Memang, sebagai seorang ayah, dia tidak bisa mengetahui segalanya apa yang dilakukan putrinya selama diluar negri.

Namun, tetap saja, menyadari bahwa dia telah tertipu sedemikian rupa dan pergi ke kantor pusat hanya untuk mengemis pinjaman, betapa memalukan dan menyedihkannya hal itu.

Dulu, Bram pernah disebut sebagai laki-laki yang ditakuti, bahkan dihormati.

Namun, hari ini, dia sadar bahwa masa-masa itu telah berlalu.

Dulu, dia pernah begitu percaya diri, berpikir bahwa dengan kekuatannya, dia bisa meningkatkan jabatannya pada puncak kejayaan.

Namun sekarang…

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan sebagai seorang yang pernah di takuti adalah merunduk dalam bayang-bayang zaman itu, seperti pelita kecil yang bergoyang tertiup angin.

Sejak kapan semua ini mulai berubah? Mungkin sejak hari itu.

Hari ketika dia berlutut di hadapan Pratama atas permintaan putrinya, Amera, memohon hanya satu kali saja untuk diberikan bantuan.

Tatapan Pak Bram membara saat dia menatap Amera

"Uang yang kuberikan agar kau bisa menikah dengan terhormat! Uang yang kuberikan supaya putriku tidak dipandang rendah oleh orang lain! Kau tidak hanya menghamburkannya untuk main-main dan membully orang… tapi juga…, kau berani berselingkuh dengan tunangan orang lain? Dan menyuap seorang saksi!"

Tangan Pak Baram mencengkeram rambut Amera dengan kuat dan mengguncangnya tanpa ampun.

Amera terisak, menggeleng dengan panik, tubuhnya bergetar hebat saat menyadari bahwa ayahnya telah mengetahui segalanya.

"Tidak! Tidak, ayah, bukan begitu! Apa yang ayah dengar itu salah! Aku hanya tertipu! Aku terjebak oleh Ferdy, si bajingan itu! Aku juga menjadi korban penipuan, ayah! Aku juga ditipu!"

Namun, Pak Bram melemparkannya ke lantai tanpa ragu.

Amera merangkak, menyatukan kedua tangannya dan memohon dengan putus asa.

"Ayah… ayah, aku salah! Aku benar-benar menyesal!"

Namun, tanpa sedikit pun belas kasihan, Pak Bram menindihnya dan mencengkeram kerah bajunya, menampar wajahnya dengan keras.

Amera tak bisa berkata-kata lagi. Tamparan demi tamparan mendarat di pipinya, membuat matanya berkabut, tubuhnya gemetar tanpa bisa mengeluarkan satu pun suara.

"Dua hari lalu, kau berani memeras uang lima ratus juta dari Almaira dan kembali menyeret ayahmu ke dalamnya?! Kau pikir aku tidak akan mengetahuinya, hah?!"

"Ugh… hiks…"

"Kau dan Ibu mu, kalian berdua tidak ada kapoknya. Berani menipuku?!"

Pak Bram melepaskan genggamannya dan berdiri.

Amera tergeletak di lantai, darah merembes dari sudut bibirnya. Air mata panas mengalir di pipinya, tetapi dia tak berani lagi menangis dengan suara keras.

"Keluar dari rumah ku. Sekarang juga." Suaranya tegas, tanpa celah untuk dibantah.

"A_ayah…?" Bahkan dalam keadaan babak belur, Amera tetap mengulurkan tangannya ke udara, mencoba meraih Ayahnya.

"Kau dan ibu mu. Kita tidak ada hubungan lagi."

"Ayah! Ayah, tolong… aku dalam bahaya! Detektif kepolisian bahkan sudah mendatangi KTV ku! Mereka akan menangkap kami semua! Kumohon, ayah!"

Amera merangkak di lantai, menangis, lalu mencengkeram ujung kain celana ayahnya dengan kedua tangan.

"Aku sungguh menyesal… Ayah bahkan sebentar lagi akan menikahkan ku, ayah! Jika ayah hanya membantuku menutupi kasus itu, aku berjanji aku akan hidup dengan baik!"

Pak Bram tertawa dingin, menepis tangannya, lalu sekali lagi menamparnya hingga tubuh Amera kembali terjerembab di lantai.

"Kau masih belum sadar juga?"

"Hiks…. Hiks…"

"Kau benar-benar tak tahu batasmu… Maura! Kemas barang-barang mu semua dan keluarlah kalian berdua dari rumahku.!"

"A_ayah…"

"Jika kau berani menginjakkan kaki di rumah ini sekali lagi… Aku bersumpah, akan memotong jari ibumu satu per satu."

Pak Bram mengibaskan tangannya, seolah ingin menyingkirkan sesuatu yang kotor, lalu berbalik kembali ke dalam ruangan utama.

Tidak ada sedikit pun keraguan dalam langkahnya, tidak ada penyesalan di punggungnya yang tegap.

Maura yang mencoba merangkak mengikuti dari belakang, bahkan tidak bisa melangkah lebih jauh sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai.

Batuk berdarah, tubuh yang bergetar kesakitan, dan napas yang semakin berat membuatnya hanya bisa menundukkan kepala ke lantai.

***

Suara sirene ambulans menggema panjang di luar bangunan, Yaga yang baru saja keluar setelah menyelesaikan rapat, menoleh dan memandang ke luar jendela.

Di antara deru angin yang menggoyangkan dahan pepohonan, suara sirene yang menusuk telinga semakin mendekat sebelum akhirnya perlahan menjauh.

Gan, sang sekretaris, yang sedari tadi hanya berdiri sambil memegang hpnya dan menunggu Yaga keluar, ikut menoleh ke arah suara itu.

Ambulan jarang sekali melewati daerah ini.

Sepertinya mereka memiliki pikiran yang sama.

"Perlu saya periksa ada kejadian apa?"

"Ya, coba lihatlah."

"Baik, Tuan Muda!"

Gan baru saja membungkuk kecil untuk pamit keluar, tetapi tiba-tiba berbalik seolah baru mengingat sesuatu yang penting.

Yaga, yang tengah melonggarkan dasinya, mengangkat tatapan ke arahnya.

"Saya baru saja mendapat kabar kalau telah terjadi kebakaran di gedung A, tempat kita berencana mengadakan pertemuan gabungan dengan para konglomerat. Acara harus ditunda karena kebakaran sudah dipadamkan, tapi kerusakannya cukup parah sehingga pembatalan peminjaman gedung tidak bisa dihindari. Sepertinya kita harus mencari lokasi lain yang cukup luas sebelum acara bisa dijadwalkan ulang."

"Haaah..."

"Anda pasti lelah."

"Tidak. Justru ini malah lebih baik."

"Saya sudah menyeduh kopi. Silakan beristirahat sebentar. Saya akan pergi keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi."

Yaga mengangguk asal-asalan dan membiarkan tubuhnya tenggelam di sofa.

Saat melihat jam, dia menyadari bahwa Almaira sudah pergi dari rumahnya selama lebih dari empat jam.

Yaga mengerutkan kening dan meraih hpnya yang tadi diletakkan di atas meja. Keningan mulai menyelimuti ruangan saat pintu tertutup rapat.

Dia menekan nomor Almaira dan meneleponnya.

Namun, ketika panggilannya dialihkan ke pesan suara untuk beberapa kalinya, Yaga langsung berdiri.

Suara sirene ambulans yang tadi melintas masih bergema di telinganya, seperti dengung yang enggan menghilang.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!