NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Jadi Bebek

Reinkarnasi Jadi Bebek

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Sistem / Perperangan / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: yuyuka manawari

Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.

Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.

Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.

Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.

Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.

Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22: Duel Raja Pekokok

*Flashback satu hari yang lalu

“Vlad,” panggilku singkat ketika dia hendak keluar dari ruanganku. Suara langkahnya berhenti, lalu tubuhnya yang ramping berbalik. Rambut hitamnya yang panjang tergerai, sebagian terikat sederhana di belakang, memperlihatkan wajah serius yang selalu penuh kewaspadaan.

Ia segera menunduk. “Ya, Rajaku.”

Aku menghela napas sebelum melanjutkan. “Apakah kau bisa membawa hewan liar yang besar?”

Kening Vlad berkerut. Matanya menyipit sedikit, seolah sedang menimbang maksud tersembunyi dari perintahku. “Hewan besar, Rajaku? Untuk apa—”

“Aku melarangmu bertanya lebih jauh,” potongku cepat, dengan nada yang sengaja dibuat ringan namun tetap tegas. Sebuah senyum tipis terlepas, lebih mirip tawa kecil yang menahan kebanggaan.

Vlad langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kedua tangannya yang bersarung kulit menempel di depan tubuh, sikap hormat yang kaku. “Maafkan kebodohanku menanyakan hal yang tidak perlu, Rajaku.”

Aku sedikit terdiam, menatapnya. Rasa bersalah muncul begitu saja. “T-tidak apa-apa,” jawabku akhirnya, kali ini dengan suara lebih lembut. “Apakah kau bisa melakukannya?”

“Bisa, Rajaku,” ucap Vlad tanpa ragu. Suaranya mantap, seolah perintah itu tidak lebih sulit daripada menarik napas.

“Terima kasih,” kataku singkat.

Aku sempat menimbang sejenak sebelum menambahkan penjelasan. “Besok, aku yakin aku akan diajak duel oleh Raja Pekokok. Dari semua informasi yang kau kumpulkan, dia tampak terlalu percaya diri pada kekuatannya. Karena itu, aku akan berpura-pura sebagai bebek yang lemah.”

Vlad mengangkat wajahnya sedikit, sorot matanya memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutku. Tidak ada pertanyaan, tidak ada keraguan, hanya mendengar.

“Dan jika besok benar aku diajak duel, jangan siaga terhadap Raja Pekokok. Perhatianmu arahkan pada Ratu Musang, Lira. Aku yakin dia akan menggunakan cara licik. Jika dia berteriak sesuatu, atau melakukan hal apa pun setelah duel selesai, bertindaklah. Kau harus mengancamnya secara langsung dan lancarkan rencana yang sudah kubuat.”

Kedua mata Vlad menyipit, menunjukkan keseriusan yang penuh. “Sesuai perintah Anda, Rajaku.”

...----------------...

Sorakan memecah udara siang itu, menggema dari bangku-bangku penonton yang melingkari arena. Suara beragam bercampur jadi satu; ada ayam jantan yang berkokok keras, ada musang yang berteriak liar, bahkan ada tupai-tupai kecil yang sibuk saling taruhan dengan suara cempreng mereka. Semua mata tertuju ke tengah lapangan.

Tanah yang keras dipadatkan oleh ratusan langkah, lingkaran arena sudah jelas ditandai oleh tali dan kayu kasar yang ditancapkan. Debu halus berterbangan setiap kali angin berhembus melewati celah penonton. Bau keringat hewan bercampur dengan aroma jerami kering dari kursi-kursi penonton membuat suasana semakin sesak.

Hari ini, hari pertama aku benar-benar ditarik masuk dalam peran baru. Bebek, makhluk kecil, daging lezat, dan jelas bukan calon pemenang dalam pandangan siapa pun. Tubuhku yang bulat, sayapku pendek, dan kakiku yang tidak sekuat lawan, seolah mengumumkan bahwa aku hanya korban.

Di sisi seberang, berdiri sosok yang dipuja sekaligus ditakuti: Raja Pekokok. Tubuhnya besar, bulu jenggernya merah menyala, sayapnya ditutupi baju zirah lusuh tapi kokoh. Setiap gerakannya menimbulkan suara besi beradu. Dari sorot matanya saja, aku bisa melihat amarah yang ditahan. Dendamnya jelas, entah karena alasan pribadi, atau hanya karena kebanggaan sebagai penguasa arena ini.

Seorang wasit, seekor angsa dengan suara berat, melangkah ke tengah. Paruhnya tajam, sorot matanya dingin.

“Pertarungan kali ini!” suaranya bergema, membuat penonton berhenti ribut sejenak. “Raja Pekokok… melawan… Raja Bebek!”

Penonton langsung berteriak. Mayoritas bersorak untuk Raja Pekokok. Suara teriakan mereka terdengar seperti gelombang yang menekan telingaku. Beberapa penonton lain berteriak ke arahku, menyebutku sebagai makanan empuk yang sebentar lagi akan jatuh.

Aku diam menatap mereka. Aku tidak pernah mengenal mereka, tidak pernah punya masalah pribadi. Tapi entah kenapa, sorot mata mereka penuh kebencian seolah aku musuh lama mereka.

“Siapa yang akan menang?” Angsa itu kembali bersuara lantang. “Apakah Raja Pekokok? Ataukah… bebek kecil ini?”

Sorakan kembali memecah udara. Taruhan semakin ramai, suara koin logam beradu, janji-janji kemenangan diteriakkan.

Sang wasit membuka sayapnya, tanda siap memulai. “Kalau begitu, duel akan dimulai! Para duelist, bersiaplah!”

Aku merasakan jantungku berdebar cepat. Sayapku mengepal, meski ukurannya tidak sebanding dengan tangan manusia. Nafasku mulai terasa berat. Deg-degan bercampur dengan rasa takut.

“Hitungan dimulai! Tiga!”

Aku mundur setengah langkah.

“Dua!”

Aku merunduk, mencoba mencari celah.

“Satu!”

Raja Pekokok langsung melesat ke depan. Gerakannya sangat cepat, bahkan lebih cepat dari Kapten Pekokok yang pernah kutemui sebelumnya. Besi baju zirahnya berbunyi keras, dentumannya menggema setiap langkah.

Aku refleks meloncat ke samping. Gerakanku ceroboh, hampir jatuh. Penonton langsung meledak dengan tawa keras.

“Tidak kena!” ucapku keras, mencoba memancing emosi.

Namun Raja Pekokok tidak terganggu sedikit pun. Matanya justru semakin tajam, fokus penuh ke arahku. Nafasnya berat, tapi ritmis, seperti petarung berpengalaman.

Aku mulai berlari mengelilingi arena. Kakiku mencipratkan debu ke segala arah. “Ampun-ampun! Aku tidak mau berkelahi! Aku tidak jago bertarung!” teriakku keras, dengan suara yang sengaja kubuat panik.

Sebagian penonton tertawa terbahak-bahak. Beberapa penjudi yang jelas bertaruh untuk Raja Pekokok tampak puas, karena mereka yakin hasil sudah jelas.

Raja Pekokok menatapku sebentar, lalu melompat tinggi. Tubuh besarnya menembus udara, bayangannya menutupi cahaya matahari di atas arena. Di tangannya, tombak panjang berkilau terkena sinar.

BRUK!

Tombak itu menghantam tanah dengan suara keras. Debu menebal, kabut cokelat menutupi pandangan penonton. Dari tepian arena, terdengar batuk-batuk kecil, penonton berusaha melihat tapi kabut membuat mereka bingung.

Aku kaget, refleks meloncat ke belakang. Ujung tombak itu hanya berjarak beberapa jengkal dari sayapku. Rasa panas dari hantaman masih terasa.

Aku berbalik, dan seketika bulu kudukku berdiri. Ada hawa dingin, tekanan membunuh, tepat di belakang kepalaku.

“Di belakang!” pikirku cepat.

Aku langsung menunduk, dan benar saja, pedang kecil di tangan Raja Pekokok melesat melewati udara, hampir mengenai kepalaku.

“Hampir saja…” gumamku, meski nafasku terengah, dadaku naik-turun.

Aku mundur beberapa langkah, kakiku menggesek tanah kering arena. Debu terangkat dan langsung bercampur dengan kabut tebal yang masih menggantung akibat hantaman tombak sebelumnya. Kabut itu membuat jarak pandangku terbatas; hanya bayangan samar dari lawanku yang terlihat di depan.

Di tengah asap debu yang menyesakkan paru-paru, terdengar langkah berat. Suara zirah beradu dengan logam lain, semakin mendekat.

Aku menajamkan pendengaranku.

BRUK!

Suara itu datang dari sisi kanan. Tubuhku segera merunduk.

“Slash!”

Suara angin terbelah terdengar keras di atas kepalaku.

“Slash!”

Tebasan kedua menyusul, kali ini lebih dekat. Aku melompat mundur, sayapku mengepak, berusaha menjaga keseimbangan.

Raja Pekokok tak berhenti. Dia terus menebas dengan cepat.

Di sela-sela aku menghindar, aku membuka mulutku. “Apa kamu juga selingkuh, Raja Pekokok?” tanyaku keras.

Dia tidak langsung menjawab, fokus penuh pada tebasan pedangnya.

Aku lanjutkan, suaraku sengaja ditinggikan agar terdengar jelas oleh penonton. “Seperti Kapten Kokok, yang sibuk mengibaskan ekornya ke istri temannya?”

Sekilas, matanya berkedip. Sorot tajamnya berubah lebih panas. Tebasan berikutnya lebih kasar, lebih cepat.

“Diam, kau sialan!” teriaknya. Nafasnya mulai memburu. “Aku tidak akan membiarkan kakakku dipermalukan oleh bebek rendahan sepertimu!”

Aku berlari ke samping, nyaris tersandung batu kecil. “Tau nggak,” ucapku sambil menahan tawa, “dia sempat merangkak ke arahku, memohon ampun, minta nyawanya tidak kuambil. Kau harusnya lihat wajahnya. Sangat lucu.”

Paruh Raja Pekokok menggertak, suaranya terdengar jelas meski ditelan sorakan penonton. “Diam! Bebek lemah sepertimu tidak pantas bicara tentang dia!”

Aku tetap menghindar, sengaja tidak membalas. Sesekali aku menoleh sambil menyeringai. “Tapi dari tadi sudah terlihat jelas kan? Aku terus menghindar, dan semua seranganmu belum juga mengenai tubuhku.”

Penonton menyoraki dengan keras. Ada yang menertawakan ucapanku, ada yang marah karena merasa aku hanya mempermainkan pertarungan.

Tebasan Raja Pekokok semakin gila. Pedangnya menebas udara berkali-kali, membuat kabut debu makin menebal. Udara semakin sesak, membuat mataku perih.

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menurunkan nada suaraku. Tenang, datar, tanpa ekspresi.

“Aku yang membunuhnya.”

Kalimat itu aku lontarkan bersamaan dengan serangan pertamaku sejak duel dimulai.

Tanpa keterampilan khusus, hanya dengan dorongan refleks, aku melesat maju. Paruhku menghantam dada Raja Pekokok dengan keras.

DUAK!

Tubuhnya terlempar ke belakang.

Sorakan penonton langsung meledak. Banyak yang mengira aku yang terhempas. Namun saat kabut di tengah arena perlahan menipis, semua mata melebar.

Yang terlempar adalah Raja Pekokok.

Aku berdiri tegak, menatap ke arah tubuh besar itu.

“Wah, kenapa dia bisa terlempar begitu ya?” ucapku dengan nada pura-pura polos. “Mungkin lantai arena ini licin?”

Penonton menjadi gaduh. Beberapa berteriak tidak percaya, yang lain mulai kebingungan dengan apa yang baru mereka lihat.

Tubuh Raja Pekokok menghantam dinding pembatas arena. Retakan muncul di permukaan batu, dan serpihan kecil jatuh bergelinding ke tanah. Dari sayapnya, aku sempat melihat cahaya kecil berkilau sekejap, lalu hilang begitu saja.

“Apa itu tadi?” gumamku, sedikit penasaran.

Namun pikiranku segera terhenti ketika terdengar suara keras.

“KOKOKOKOKOK!!”

Suara pekikannya mengguncang udara. Raja Pekokok bangkit lagi.

Matanya merah penuh amarah. Nafasnya kencang, dadanya naik-turun. Tapi senyumnya kini melebar, menampilkan keyakinan baru.

Dalam sekejap, tubuhnya kembali melesat.

Serangannya datang cepat, sama ganas seperti awal pertarungan. Setiap ayunan pedangnya menghasilkan angin kencang yang menusuk kulitku.

Aku masih bisa menghindar, melompat ke kiri dan kanan, sayapku mengepak keras. Tapi aku sadar, kecepatannya meningkat sedikit demi sedikit.

Plak!

Ujung pedangnya menyentuh sayapku, membuat bulu-bulu terpotong.

Aku meringis, menahan rasa perih.

“Apa yang terjadi? Apa yang membuatnya seperti ini?” pikirku cepat, masih berusaha membaca pergerakannya.

Raja Pekokok melangkah maju, senyumnya lebar. “Kemarilah, Bebek. Pertarungan ini baru dimulai.”

Sorot matanya tajam, senyumannya melebar, seperti menantangku dengan penuh keyakinan.

Aku mengangkat kepalaku, menatap balik. Senyumku perlahan muncul.

“Menarik,” ucapku singkat.

Kedua kakiku menapak kuat ke tanah. Nafasku ditarik panjang, lalu aku menggunakan Night Slide.

Kecepatan langkahku meningkat, tubuhku melesat ringan di atas tanah berdebu. Meskipun aku bergerak secepat mungkin, lawanku tetap mampu mengikuti. Jarak kami tidak pernah benar-benar terputus, ia selalu ada di belakangku, menempel rapat dengan tatapan tajam penuh fokus.

Aku memutuskan untuk berputar sekali di arena. Putaran itu membuat debu terangkat tinggi, berterbangan ke segala arah. Butiran debu yang kasar masuk ke mata para penonton, memaksa banyak dari mereka menutup wajah dengan sayap atau tangan.

Kesempatan itu kugunakan. Napasku kutahan, langkah kakiku meredam suara sekecil mungkin, aku menggunakan Silent Walk.

Suara tapak kakiku benar-benar lenyap. Raja Pekokok, yang tadi terus mengejarku, tiba-tiba kehilangan arah. Kepala besar ayam jantan itu menoleh ke kiri dan kanan, bulu lehernya mengembang, tanda ia terkejut dan mulai gelisah.

Aku tidak menyia-nyiakan celah itu. Dari belakang, aku melompat dengan cepat lalu menggabungkan dua skill milikku sekaligus: Blood Peck dan Silent Peck. Gabungan serangan itu seharusnya mampu melumpuhkan lawan seketika, bahkan bisa langsung mengakhiri hidupnya.

Paruhku menembus ke arah dada, tepat mengincar jantungnya. Namun, sesaat sebelum mengenai sasaran vital, tubuh Raja Pekokok bergeser setengah langkah. Seranganku meleset, hanya menembus sisi dadanya, bukan titik yang seharusnya.

Aku terkejut, mataku sedikit melebar.

“Refleksnya... apa instingnya juga meningkat?” gumamku pelan.

Darah segar langsung menyembur keluar dari luka di dada Raja Pekokok. Cairan merah itu menetes ke tanah, membentuk genangan kecil. Ia terhuyung beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat. Meski bukan serangan fatal, luka itu cukup parah.

Aku menatapnya dengan cermat. Dalam hati aku berpikir cepat. “Walaupun bukan jantung, darah yang keluar sebanyak itu... jika terus mengalir, ia akan mati karena kehabisan darah.”

Namun tiba-tiba, cahaya samar muncul di tubuh Raja Pekokok. Cahaya itu makin lama makin terang, memancar dari bulu-bulu yang berdiri di sekitar luka.

Dengan suara parau bercampur darah di mulutnya, Raja Pekokok bersuara, “Relik... atribut... aktif.”

Sekejap kemudian, arena seakan terguncang. Cahaya putih menyelimuti tubuhnya, angin kencang berputar mengangkat debu yang tadi beterbangan. Debu itu kini berubah seperti pusaran angin putih, berkumpul mengelilingi sosoknya.

Dengan dada yang masih mengucurkan darah, Raja Pekokok menatap lurus padaku. Dari paruhnya yang berlumuran darah, keluar ucapan berat penuh tekad:

“Aku... tidak akan mati sendiri di sini.”

Sorak-sorai penonton pecah. Banyak yang berdiri dari tempat duduknya, berteriak dengan nada kagum bercampur cemas.

“Sulit dipercaya! Raja Pekokok benar-benar mengaktifkan itu!”

“Benar-benar luar biasa... aku tidak pernah melihatnya langsung sebelumnya.”

Kegemparan mereka membuatku sedikit mengingat percakapan tentang kekuatan legendaris yang dimiliki Raja Pekokok.

“Jadi ini... Relik atribut yang mereka maksud?” gumamku, kini nadaku lebih serius. Mataku menyipit, tubuhku menegang. “Kalau begitu... baiklah.”

Aku segera meluncur maju dengan Night Slide, tubuhku melesat mendekati Raja Pekokok seperti bayangan hitam.

Penonton terkejut, sebagian bahkan menahan napas melihat kecepatan seranganku.

Namun sebelum aku mencapai jarak serang, Raja Pekokok melemparkan pedangnya. Senjata itu meluncur lurus, berputar di udara dan mengarah langsung ke tubuhku dengan kecepatan tinggi.

Mataku membelalak. Refleks cepat, aku memiringkan tubuh, pedang itu hanya lewat beberapa jengkal dari sayapku. Nafasku terhempas keras karena hampir terkena.

Kesempatan itu kugunakan untuk melancarkan serangan balasan. Paruhku menukik, menusuk berulang kali ke arah tubuhnya. Serangan cepat itu menghantam zirah baja yang menutupi dada Raja Pekokok. Suara dentuman tajam terdengar.

Clang! Clang!

Aku mundur setengah langkah. “Keras sekali...” gumamku, napasku berat.

Aku mencoba lagi dengan Blood Peck, menusuk dengan tenaga lebih besar. Namun hasilnya sama. Seranganku hanya mampu meninggalkan bekas goresan, bahkan sempat membuat zirahnya sedikit bengkok, tetapi tidak sampai menembus.

“Sekarang bahkan serangan terkuatku... hanya membengkokkan zirahnya,” ucapku dengan nada frustrasi.

Raja Pekokok tersenyum samar, darah masih menetes dari paruhnya. Tiba-tiba ia mengangkat kaki dan menendangku keras ke arah depan.

Tubuhku terpental, melayang di udara beberapa meter sebelum jatuh menghantam tanah keras. Debu mengepul saat aku terhempas.

Aku merintih kecil, tubuhku bergetar karena benturan. Meski begitu, mataku tetap fokus ke arahnya.

Dengan suara rendah, hampir seperti bisikan, aku berkata, “Vlad... lakukan sekarang.”

1
Anyelir
kasihan bebek
Anyelir
wow, itu nanti sebelum di up kakak cek lagi nggak?
yuyuka: sampai 150 Chap masih outline kasar kak, jadi penulisannya belum🤗
total 1 replies
Anyelir
ini terhitung curang kan?
yuyuka: eh makasi udah mampir hehe

aku jawab ya: bukan curang lagi itu mah hahaha
total 1 replies
POELA
🥶🥶
yuyuka
keluarkan emot dingin kalian🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE: 🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶
total 1 replies
yuyuka
🥶🥶🥶🥶
Mencoba bertanya tdk
lagu dark aria langsung berkumandang🥶🥶
yuyuka: jadi solo leveling dong wkwkwkw
total 1 replies
Mencoba bertanya tdk
🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE
bro...
Mencoba bertanya tdk
dingin banget atmin🥶
FANTASY IS MY LIFE: sigma bgt🥶
total 1 replies
FANTASY IS MY LIFE
ini kapan upnya dah?
yuyuka: ga crazy up jg gw mah ttp sigma🥶🥶
total 1 replies
Leo
Aku mampir, semangat Thor🔥
yuyuka: makasi uda mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir lagi/Slight/
yuyuka: arigatou udah mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir
yuyuka: /Tongue/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!