Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 #Jangan Ceraikan Aku
Tangan Sahira bergetar hebat dalam genggaman Mauren. Wanita paruh baya itu kemudian menatapnya dengan lembut. "Sahira, kau belum sembuh sepenuhnya. Lebih baik kau kembali saja ke kamar cucuku dan istirahat. Biar masalah ini Papanya Zander yang mengurus," ucap Mauren.
Air mata Sahira sudah di ujung pelupuk. Pandangannya kosong, seolah jiwanya tak sepenuhnya berada di sana. "Tapi, Nyonya, saya ingin tahu keberadaan anak saya," lirihnya. Kata-kata itu membuat Zander dan Balchia serentak mengernyitkan dahi.
"Apa maksudmu?" tanya Balchia, suaranya dipenuhi kebingungan. “Apa dia sudah tahu anaknya yang satu masih hidup? Jadi sekarang dia lagi minta bantuan mereka?” pikirnya. “Tapi dari mana dia tahu anaknya masih hidup? Apa dari mantan suaminya?”
Tuan Daren yang baru saja selesai menelepon anak buahnya, ia menjawab, "Satu dari anak kembarnya hilang. Kami sedang berusaha menemukannya, Chia."
"Anak kembar? Maksudmu, bayimu ada dua?" ucap Zander sangat terkejut, lalu Sahira mengangguk lemah.
"Hebat juga pria brengsek itu," gumam Zander dalam hati, giginya menggeletuk menahan amarah pada Rames. Sementara Balchia, hatinya terasa semakin tak karuan. Wajahnya yang biasanya berseri kini memucat pasi.
Mauren yang menyadari perubahan itu, ia bertanya, "Oh, Chia, kenapa mukamu pucat begitu? Kau sakit, Nak?"
Balchia tersentak, mencoba memasang senyum tipis. "Aku cuma sedikit lelah, Ma. Aku ke kamar duluan, ya, Ma, Pa, Kek. Silakan kalian lanjutkan saja." Tanpa menunggu respons, Balchia bergegas menaiki tangga. Tiap langkahnya terasa berat, seperti ia sedang memikul beban yang sangat besar.
"Zan, kau susul istrimu. Siapa tahu Chia sakit juga seperti Sahira. Cuaca akhir-akhir ini kan..."
"Sudahlah, Ma. Aku juga lelah, mau mandi," potong Zander. Ia bangkit dari kursi, lalu menuju ke kamar tamu. Suara langkahnya terdengar dingin dan tak peduli.
Mauren hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sikap dingin dan acuh tak acuh putranya belum juga berubah, bahkan di tengah situasi genting seperti ini.
"Sahira, kau juga lebih baik kembali ke kamar cucu saya. Siapa tahu Baby Zee sudah bangun dan haus," Mauren kembali membujuk, kali ini dengan nada yang sedikit memaksa.
Sahira menunduk sedih, meremas jemarinya. "Baiklah, Nyonya. Maaf sudah merepotkan kalian. Saya berjanji, saya tidak akan melupakan kebaikan Nyonya dan Tuan. Saya pasti akan membalasnya suatu hari nanti."
Mauren tersenyum. Ditatapnya Sahira yang perlahan pergi menuju kamar cucunya. Setelah itu, pandangannya beralih pada suaminya dan Tuan Raymond yang tampak cemberut. Mereka sepasang manusia yang sangat kontras, namun anehnya sama-sama peduli.
"Ck, kalian berdua memang pasangan serasi. Selalu saja ikut campur urusan orang lain," celetuk Tuan Raymond. Baru saja kembali dari bepergian, ia sudah disambut masalah baru.
"Ayah, kalau Ayah tak mau bantu, lebih baik Ayah istirahat saja di kamar," sahut Mauren, suaranya terdengar kesal.
"Sudah, sayang. Ayahmu kan memang begitu. Tidak punya rasa kemanusiaan pada anak-anak. Ngurus cucunya saja tidak mau,” bisik Tuan Daren.
"Kau! Apa yang barusan kau katakan?!" bentak Tuan Raymond, tongkatnya menunjuk lurus ke arah menantunya itu, nyaris mengenainya.
Mauren memijat pelipisnya. Ia menurunkan tongkat ayahnya yang berada tepat di depan matanya. "Ayah, ini bukan masalah sepele. Ini soal nyawa seorang anak yang harus segera kita selamatkan. Jadi, tolong kalian jangan bertengkar dulu. Bantu aku mencari anak itu," ucap Mauren, menatap serius kedua pria itu hingga mereka kembali duduk dengan tenang.
"Sayang, aku sudah beri tahu hal ini pada anak buahku. Dalam dua atau tiga hari, kita akan tahu di mana anak itu berada," tutur Tuan Daren.
"Cih, bawahanku lebih cepat bergerak daripada bawahanmu yang lambat itu. Besok, mereka akan menemukan anak itu lebih dulu," potong Tuan Raymond. Ia berdiri dan mengeluarkan ponselnya, lalu memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mencari ke semua tempat yang pernah Julian datangi. Setelah itu, mantan bos mafia itu meninggalkan putri dan menantunya yang hanya bisa cemberut di sana.
"Kita lihat saja besok, siapa yang lebih cepat menemukan bayi itu!" tantang Tuan Daren, tak mau kalah.
Mauren mendesis kesal. Mereka seharusnya bekerja sama mencari bayi Sahira, tapi keduanya malah menjadikan masalah ini sebagai ajang pembuktian siapa yang terhebat. Tuan Raymond dan Tuan Daren memang bagai minyak dan air yang tak bisa bersatu.
.
.
Di bawah pancuran, air hangat membasahi rambut hitam dan tubuh kekar Zander. Namun, pikirannya tidak tenang. Wajah dua bayi yang dikirim oleh Sahira terus terbayang. Ia berusaha menyangkal, meyakinkan diri bahwa kemiripan dua bayi itu hanyalah kebetulan, tetapi hatinya memberontak, dipenuhi gejolak aneh yang semakin membuatnya resah.
Zander mempercepat mandinya. Selesai menggosok gigi, ia langsung menyambar jubah mandi dan bergegas menuju kamar Baby Zee. Rasa penasaran yang tak tertahankan mendorong Bos mafia itu untuk membandingkan wajah putranya dengan bayi Sahira secara langsung.
Zander berjalan cepat menuju tempat tidur bayinya. Ia berdiri di depan Baby Zee yang terlelap dengan damai. Pandangannya berkeliling, mencari bayi Sahira.
Tiba-tiba suara tangisan lirih terdengar dari ayunan. Zander mendekat perlahan, menatap lekat wajah mungil dan mata Baby Zaena yang sedikit terbuka. Hanya menatap saja tidak cukup, ia dengan hati-hati menggendong Baby Zaena. Bayi itu merespons dengan tenang, kembali terlelap saat Zander mengayunkan tubuhnya perlahan.
Zander mendekat ke sisi Baby Zee menatap kedua bayi itu bergantian. Ia mencoba mencari perbedaan, tapi yang ia temukan hanyalah kemiripan yang nyaris sempurna. Hanya warna mata Baby Zaena yang sedikit berbeda dari putranya.
"Ehem!"
Zander tersentak dan berbalik. Di belakangnya, Sahira berdiri dengan sebuah thermos di tangan. Ia baru kembali dari dapur setelah mengambil air panas untuk membuat susu formula nanti.
"Tu-Tuan Muda? Apa yang Anda lakukan di sini? Kenapa Anda menggendong bayi saya? Apa dia mengganggu Anda?" tanya Sahira bertubi-tubi dan berusaha keras mengabaikan dada bidang Zander yang terlihat.
"Dia tidak menggangguku sama sekali. Aku sendiri yang ingin menggendongnya," jawab Zander, matanya masih terpaku pada wajah menggemaskan Baby Zaena. "Wajahnya imut sekali, mirip dengan anakku. Apa jangan-jangan..." Kalimatnya menggantung. Zander mengalihkan tatapannya pada Sahira.
"Jangan-jangan apa?" tanya Sahira sambil meletakkan thermos di atas meja.
Zander tersenyum tipis. "Jangan-jangan orang tua mereka berjodoh."
Sahira langsung terbatuk-batuk mendengar ucapan itu. "Uhuk... uhuk..." Lalu menatap Zander dengan ekspresi kaget. "Tuan Muda, tolong jangan membuat orang salah paham, dan tolong kembalikan bayi saya," pintanya.
Zander mundur selangkah, tidak mau menyerahkan bayi itu. Ia masih ingin menggendongnya.
“Dilihat-lihat lagi, wajahnya nggak ada mirip-miripnya sama Rames. Apa benar ini anak pria kep4rat itu? Apa Sahira tidak sadar anaknya mirip denganku?” pikir Zander.
"Tuan Muda..."
Zander tersentak lalu menatap Sahira.
"Namaku Zander, Sahira, bukan 'Tuan Muda'. Apa kau tidak bisa memanggil namaku?" ucap Zander, sedikit kesal.
"Maaf, Tuan Muda, saya tidak bisa. Saya tidak mau gaji saya dipotong karena tidak sopan pada majikan," tolak Sahira.
"Majikan apanya? Aku bukan majikanmu, Sahira! Aku ini..." Kata-katanya terputus.
"Anda apa, Tuan?" tanya Sahira. Zander menghembus nafas, lalu dengan lembut meletakkan Baby Zaena di samping Baby Zee. Ia memegang kedua bahu Sahira, menatapnya intens.
"Aku sahabatmu, Sahira! Aku ini Zandereo! Kau serius tidak ingat? Sahabatmu yang dulu ge-gendut itu," jawab Zander, nada suaranya sedikit malu.
"Pfttt..." Sahira menunduk, menahan tawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Zander, bingung.
"Aku sudah ingat, Tuan," jawab Sahira, tersenyum seadanya.
Zander melongo. "Kau sudah ingat? Sejak kapan? Tahu dari mana?" Ia semakin bingung.
"Di malam acara anak, Tuan. Hansel yang kasih tahu aku," jawab Sahira. Zander mengepalkan jemarinya kuat-kuat, kesal pada Hansel yang telah membohonginya.
"Kalau kau memang sudah ingat, mulai sekarang jangan panggil aku seperti itu lagi. Panggil namaku, Sahira."
Sahira menggeleng. "Saya tidak bisa, nanti ada yang marah."
"Sahira, kau itu sahabatku. Siapa yang akan marah?" Zander mendengus, namun kata-katanya terputus saat Balchia menyahut dari pintu.
"AKU!"
Raut wajah Zander seketika berubah dingin. Balchia mendekat dengan langkah cepat, mendorong Sahira sedikit ke samping.
"Dasar penggoda! Ternyata kau bekerja di sini untuk menggoda suamiku! Sadar diri! Zander sudah punya istri dan anak, kau tidak punya hubungan apapun dengannya!" teriak Balchia, menunjuk-nunjuk Sahira dengan penuh amarah.
"Hentikan, Chia! Sahira tidak salah, dia tidak seperti yang kau katakan! Jangan bersikap kasar!" Zander segera menurunkan tangan Balchia, mencegahnya menjambak Sahira lagi.
"Argh... Jelas-jelas aku ini istrimu, tapi kau masih saja membelanya! Aku tidak mau tahu, dia harus keluar dari rumah ini!" bentak Balchia. Namun, Zander tidak menuruti. Pria itu justru menarik Balchia keluar dari kamar, menuju kamar mereka.
"Aduh... Zan, sakit! Lepaskan!" pinta Balchia meringis, mencoba melepaskan cengkraman Zander.
"Akhh!!" jerit Balchia saat Zander menghempaskannya ke atas tempat tidur. Pria itu kini terlihat sangat marah, membuat Balchia sedikit ketakutan.
"Chia, kau memang istriku, tapi aku tidak pernah mencintaimu! Pernikahan ini hanya pernikahan bisnis, dan aku bisa saja menceraikanmu kapan pun aku mau! Bahkan malam ini juga aku bisa memulangkan mu ke rumah orang tuamu!" ujar Zander dengan lantang, dipenuhi kekesalan.
Balchia membisu. Ia segera berlutut di samping Zander, memeluk kakinya. "Jangan, Zan... Aku tidak mau pisah. Jangan ceraikan aku," mohon Balchia sambil menangis, tak mau kembali ke rumah orang tuanya.
_______
Bakal pulang ke rumah orang tua atau masuk ke penjara nih si Chia?
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀