Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH KEBENARAN
Sore hari perlahan merayap turun, menelusup di antara dedaunan dan menyinari etalase toko milik Alisa.
Alisa bersama para pegawainya tengah sibuk menyelesaikan pengepakan pesanan Bu Wulandari. Lima ratus potong kue disusun rapi ke dalam kardus-kardus besar, disiapkan dengan penuh ketelitian. Tak ada yang tersisa kecuali menunggu jemputan sang dermawati.
Sebuah mobil sport putih berhenti anggun di depan toko. Itu adalah Marko. Tanpa pemberitahuan, ia datang begitu saja—seperti biasa, dengan gaya spontan dan khasnya.
“Loh, Marko? Tumben nggak kabarin dulu?” tanya Alisa heran, menyambutnya di depan pintu.
Tanpa menjawab, Marko menarik tangannya menuju kursi. Ia menata sebuah bungkusan makanan di atas meja, lalu membuka isinya dengan cermat.
“Lo lapar nggak?” tanya Alisa sambil mengamati.
“Bukan lo yang nanya, tapi gue yang harusnya nanya. Kata Dilla lo nggak sempat makan siang tadi, sibuk banget di dapur. Lis, berapa kali gue harus bilang, segiat-giatnya lo kerja, jangan abaikan makan. Mau maag lo kambuh lagi?” ujar Marko, suaranya sedikit tinggi, tapi sarat perhatian.
Alisa hanya tersenyum lemah. “Gue nggak ngerasa lapar aja tadi.”
Namun perutnya berkhianat, mengeluarkan bunyi protes yang cukup keras.
Marko mendengus. “Masih bilang nggak lapar? Perut lo bahkan udah demo. Makan, gih.”
Alisa menggeleng. “Nanti aja ya, Ko.”
“Lo susah banget diatur,” gumam Marko, lalu menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. “Aaa... buka mulut!”
Dengan enggan, Alisa akhirnya pasrah. Ia menerima suapan itu, dan makan dalam diam.
“Dan satu lagi, lo jangan marah sama Dilla. Gue memang sengaja suruh dia ngawasin lo. Kalau lo kenapa-kenapa, gue harus jadi yang pertama tahu.”
“Siapa juga yang mau marah. Justru gue bersyukur. Berkat Dilla, gue bisa makan gratis,” jawab Alisa sambil mengunyah.
Marko tertawa kecil. “Dasar. Padahal tinggal bilang sama gue, mau makan apa juga pasti gue beliin.”
Di tengah percakapan mereka yang hangat, rombongan keluarga Wijaya tiba. Dari dalam mobil, Jerry memperhatikan pemandangan itu—Alisa dan Marko duduk sangat dekat. Bahkan lelaki itu menyuapinya. Hatinya tercekat.
“Siapa lelaki itu, Mah? Pacarnya Alisa?” tanya Wijaya penasaran.
“Bukan, itu sahabatnya. Namanya Marko,” jawab Wulandari ringan.
“Sahabat? Tapi kok... suap-suapan segala,” ujar Jerry, nadanya getir.
Wulandari mengangkat alis. “Wajah kamu kenapa? Jangan-jangan kamu... cemburu?”
Jerry tidak menjawab, hanya mengepalkan tangannya erat.
“Sudahlah, kita masuk saja. Jangan sampai terlambat ke panti,” ujar Wijaya, memutus ketegangan.
Sesaat kemudian, mereka masuk ke toko dan disambut hangat oleh Alisa.
“Eh, Om... Ibu, Mas Jerry. Sudah sampai,” sapa Alisa ramah.
“Maaf terlambat sedikit. Jalanan macet,” ujar Wulandari.
“Tidak apa-apa, Bu. Semuanya sudah siap kok. Kuenya tinggal diangkut.”
Jerry langsung ke luar membuka bagasi dan para pegawai mulai menaikkan kardus satu per satu.
“Kalau kamu tidak ada acara, bagaimana kalau ikut kami ke panti?” tawar Wulandari.
“Boleh, Bu? Saya ikut?” tanya Alisa berbinar.
“Tentu saja. Ayo, ikutlah,” ajak Wulandari dengan penuh semangat.
Marko tiba-tiba angkat suara, “Eh, Tante... Saya boleh ikut juga?”
Jerry langsung menatap tajam. “Kamu siapa?”
“Saya Marko. Sahabat Alisa,” ujar Marko sambil mengulurkan tangan.
Jerry menjabatnya, enggan.
“Jerry,” ujarnya singkat. “Kakaknya Al... eh,” ia tersentak, lalu diam. Wulandari cepat menyikutnya.
“Dan saya Wulandari. Ini suami saya, Wijaya,” potong Wulandari cepat.
“Marko, Tante, Om,” ujar Marko sopan.
Wijaya tersenyum. “Kalau kamu ingin ikut, silakan. Semakin ramai, semakin seru.”
“Tapi, Pah” protes Jerry.
“Kita berangkat sekarang saja,” potong Wulandari cepat.
“Alisa ikut di mobil gue aja ya. Kita nyusul dari belakang,” tawar Marko.
“Enggak. Alisa ikut di mobil kita,” sahut Jerry cepat.
Alisa menoleh, agak heran.
Wulandari segera mengambil alih. “Ya sudah, kalian satu mobil saja ya. Yuk, yuk.”
Di dalam mobil, Jerry menggerutu.
“Mama kenapa sih? Kenapa izinkan Alisa satu mobil sama cowok itu?”
Wulandari menghela napas. “Jerry... Alisa belum tahu siapa kita. Kamu jangan terlalu overprotektif. Bisa-bisa dia malah curiga.”
“Tapi dia itu adik aku, Mah. Aku nggak suka dia bareng cowok lain.”
“Makanya sabar. Waktunya belum tepat,” Wijaya ikut menengahi.
Akhirnya, mereka meluncur ke panti. Tak terlalu jauh, perjalanan ditempuh dalam waktu singkat. Setibanya di sana, mereka mulai menurunkan kue dan berbagai hadiah. Selain kue, ternyata Wulandari juga membawa mainan dan buku untuk anak-anak panti. Alisa tersentuh, matanya berkaca. Ia baru tahu, bahwa masih ada keluarga kaya yang benar-benar peduli.
Alisa dan Marko bermain bersama anak-anak. Di tengah keriangan itu, Wulandari menghampiri.
“Alisa, boleh kita bicara sebentar?” tanyanya pelan.
Marko dan Alisa saling pandang. Marko mengangguk, lalu pamit bermain bersama anak-anak lain. Wulandari mengajak Alisa duduk di bangku taman.
“Ada apa, Bu?” tanya Alisa, penasaran.
Wulandari terlihat gelisah. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri. Alisa yang peka, segera menggenggam tangan perempuan itu.
“Ibu terlihat resah. Ada yang ingin Ibu sampaikan?” tanyanya lembut.
Wulandari menarik napas panjang. “Alisa... Kalau Ibu katakan bahwa Ibu ini adalah ibu kandungmu... Apakah kamu akan percaya?”
Alisa terdiam. Matanya membelalak. Namun tak lama kemudian, ia tersenyum tipis.
“Hehehe... Ibu ada-ada saja,” katanya tak percaya.
“Ibu tidak bercanda, Nak. Ini adalah kebenaran... Kamu adalah anak kandung Ibu.”