"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 22
"Ka Narti! Jangan percaya sama dia! Dia pembohong, Ka!" seru Lisa dengan suara tinggi.
Nada bicaranya bukan sekadar marah, tapi juga mengandung panik. Wajahnya pucat, seperti seseorang yang menyadari jaring jahatnya perlahan robek terbuka di depan orang banyak.
Namun Narti, yang berdiri dengan tangan bertolak pinggang, tidak langsung memihak. Matanya menatap tajam ke arah Ratih, seperti sedang menimbang sesuatu.
Dan kalimat berikutnya keluar dari bibirnya dengan nada dingin:
"Ya, kami pasti berbohong, Ratih."
Ratih meletakkan kue yang tengah ia bungkus.
Tangan yang halus itu kini perlahan direbahkan di atas meja bambu.
Matanya menatap lurus ke arah Narti, namun masih dengan ketenangan yang menyiksa siapa pun yang merasa bersalah.
Sementara itu, para ibu yang sejak tadi sibuk membungkus kue kini menghentikan pekerjaan mereka. Tak satu pun ingin melewatkan detik-detik penting ini—pertunjukan yang lebih seru dari wayang kulit mana pun.
Dengan suara lembut, namun menggema seperti genderang dalam hati yang berdosa, Ratih berkata:
"Ibu… aku ini anak sial, katanya. Anak yang selalu nurut. Apa pun yang Ibu suruh, aku lakukan. Tapi coba Ibu ingat—kapan aku pernah berbohong sama Ibu?"
Narti terpaku.
Tak ada jawaban. Karena tak ada kebohongan yang bisa dituduhkan.
Dan untuk pertama kalinya, Narti tak bisa bicara…
Karena Ratih tak sedang membela diri. Ratih sedang menunjukkan kebenaran.
"Sedangkan Bi Lisa…" lanjut Ratih, suaranya mulai mengandung ketegasan.
"Coba Ibu pikirkan, berapa kali dia ingkar janji?
Utangnya ke Ibu sampai sekarang belum dibayar.
Katanya nggak punya uang. Tapi kemarin… aku lihat dia belikan motor untuk suaminya."
Kerut di dahi Narti makin dalam.
"Kalau Ibu nggak percaya, tanya Sinta. Dia pernah dibonceng suami Bi Lisa pakai motor itu. Kalau nggak percaya juga… tanya Bu Lurah. Dia juga pernah diboncengin."
Lisa yang berdiri di samping mulai goyah. Bukan hanya karena tuduhan Ratih yang telak, tapi karena informasi itu membuka luka lain—ternyata suaminya telah membonceng banyak perempuan… dan desas-desus yang dulu dianggap angin lalu kini terasa begitu nyata.
Narti mencibir tajam.
"Lisa! Kamu ini benar-benar pembohong! Kamu bilang tak punya uang, tapi malah poya-poya! Jangan karena suamimu lebih muda, kamu mau diperbudak olehnya!"
Suara Narti tajam, membelah udara sore. Tapi Lisa tak kalah sengit.
"Hentikan omong kosongmu, Narti! Aku seperti ini karena kamu! Kamu licik! Kamu mau menang sendiri! Kamu yang sebenarnya banyak makan uang haram dari warisan keluarga!"
Dan kini dua saudara itu—Lisa dan Narti—hampir saja saling serang.
Tangan mereka terangkat, tubuh maju setengah langkah.
Namun sebelum sempat menyentuh, suara seruan memecah ketegangan:
"Astaghfirullah… Istighfar! Kalian ini sudah tua, bukan malah sadar, malah bertengkar kayak anak kecil!"
Itulah suara Dedeh, anak tertua yang dikenal paling bijak dan disegani.
Ia berdiri di antara mereka seperti penengah dalam perang berdarah.
Lisa terdiam, dadanya masih naik-turun menahan amarah.
Namun sebelum ada kata maaf, ia langsung berbalik arah.
"Dengar, Narti! Aku gak sudi datang ke pesta kamu!"
Dan tanpa pamit, Lisa melangkah pergi dengan cepat…
…namun tangan kirinya menenteng dua kotak sergam dan satu tas besar penuh kue.
Orang-orang hanya bisa saling menatap.
Sebagian menahan tawa. Sebagian lain menggelengkan kepala.
Karena itulah Lisa. Berani meludah ke tanah yang masih dipijaknya sendiri.
..
..
Langit sore mulai meredup, namun suasana di rumah hajatan justru memanas—bukan karena keributan, tapi karena perubahan diam-diam dalam pandangan orang-orang.
Bisik-bisik pelan mulai terdengar di sudut dapur, di dekat tumpukan kue yang sedang dibungkus.
"Benarkah… anak secantik itu pembawa sial?"
"Anak secerdas itu? Pembawa sial? Rasanya tak masuk akal..."
Beberapa ibu saling melirik, mengingat-ingat kembali semua kejadian selama bertahun-tahun. Kebaikan Ratih. Kesabarannya. Kepatuhannya pada Narti. Dan hari ini, keberaniannya.
Sementara itu, Ratih—yang menjadi bahan pembicaraan—masih duduk membungkus kue seperti biasa.
Jemarinya tetap cekatan. Ekspresinya tenang. Ia bahkan sesekali tersenyum kecil ketika seorang anak kecil menjatuhkan sendok.
Ia tidak bertingkah seperti pusat perhatian.
Karena bagi Ratih, pengakuan orang lain bukanlah tujuan.
Ia hanya melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan.
Namun di balik kamar, ada sepasang mata yang memperhatikan setiap detik keheningan itu—dan tidak menyukainya.
Sinta.
Ia berdiri di balik jendela, tangan menggenggam tirai dengan erat.
Matanya menatap Ratih dengan campuran amarah dan kedengkian.
Ia tak percaya bahwa Ratih yang dulu selalu dianggap anak buangan, kini berubah menjadi poros sorotan desa.
“Harusnya aku yang jadi pusat perhatian itu.” gumamnya dalam hati, penuh rasa masam.
“Harusnya aku yang dipuji karena cantik, karena pintar, karena anggun…”
“Bukan dia. Bukan Ratih!”
Rahangnya mengeras. Giginya bergemeletuk perlahan.
Dan dalam kesunyian itu, hatinya menjerit.
“Awas kamu, Ratih… aku tak akan biarkan kamu hidup bahagia.”
“Kamu harus selalu di bawahku. Itu harga yang tak bisa ditawar.”
Malam turun perlahan, menebarkan hawa sejuk ke sudut-sudut kampung.
Di rumah Karman, suasana begitu sibuk namun tertib. Dekorasi hajatan telah hampir selesai.
Meja prasmanan telah tertata rapi, tertutup taplak putih bersulam renda.
Meja akad nikah berdiri megah di bawah kanopi sederhana, dihiasi bunga plastik yang tampak mewah dalam cahaya lampu bohlam.
Soundsystem telah dipasang. Alunan musik dangdut menggema di udara, menari bersama desir angin malam.
Di halaman, para pemuda berkumpul, sebagian duduk di kursi plastik, sebagian lainnya berdiri sambil membawa gelas teh dan kacang rebus.
Sebuah kebiasaan yang tak pernah lekang: jika ada hajatan, maka malamnya adalah malam ronda, malam begadang, malam bergosip dan berharap kejutan.
Dan malam itu, topik utamanya bukan pengantin yang akan menikah besok. Tapi Ratih.
"Dia cantik banget ya, kalem lagi..."
"Katanya udah nikah diam-diam, tapi siapa ya suaminya?"
"Ah masa sih? Tapi auranya beda sih sekarang..."
Tak banyak yang tahu bahwa Ratih telah menikah diam-diam.
Yang tahu pun hanya tetangga paling dekat, dan mereka menyimpannya dengan rapi seperti rahasia keluarga kerajaan.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Dan tiba-tiba, suara deru mesin mobil memecah suara musik.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Karman. Bukan mobil mewah mentereng, tapi cukup elegan untuk membuat semua kepala menoleh.
Dua sosok keluar dari dalamnya.
Seorang ibu paruh baya dengan balutan kebaya hijau tua berpayet halus, rambut disanggul rapi, langkahnya mantap seperti bangsawan.
Di sampingnya, seorang pemuda gagah berbatik coklat emas, wajahnya tampan dan bersih, sorot matanya tajam namun dalam.
Semua orang terdiam.
Yang biasanya ribut mendadak diam.
Yang biasanya tak peduli mendekat diam-diam.
Ratih lagi-lagi menjadi sebab keributan yang sunyi.
Narti keluar dari rumah, dan begitu melihat siapa yang datang, matanya membelalak.
> "Bu Kartika...? Dan itu... Damar?!" bisiknya dalam hati.
Jantungnya langsung berdebar.
Karena ia tahu betul siapa perempuan itu: Kartika—salah satu wanita paling kaya dan berpengaruh di kecamatan.
Dan ia juga tahu, bahwa dirinya pernah punya hutang kepada wanita itu.
Sebuah hutang yang belum ia lunasi sampai hari ini.
Dan inilah waktu yang paling tidak tepat jika hutang itu hendak ditagih.
Kartika menghela napas panjang.
Namun tak ada basa-basi.
Ia langsung melangkah mendekati Narti dan berbicara lugas, suaranya cukup keras untuk didengar orang sekitar:
"Narti... Aku tidak mau tahu.
Kamu harus menikahkan Damar dengan Ratih. Kalau tidak... aku akan menagih semua hutangmu malam ini juga."
Narti nyaris tak bisa bernapas.
Damar berdiri di belakang ibunya. Wajahnya terlihat gugup, tapi matanya menyapu sekeliling—mencari satu wajah.
Wajah itu ia lihat tadi pagi saat mengantar pesanan di dekat rumah Karman.
Wajah Ratih.
Sejak pandangan pertama itu, Ratih tinggal di pikirannya dari pagi sampai malam.
Dan ia bukan pria yang suka menunda keinginan. Dari sore hingga petang, ia terus merengek pada ibunya. Memohon. Memaksa. Memastikan: bahwa Ratih harus menjadi miliknya
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu