Disclaimer : Novel ini hanya pure karangan dari imajinasi author saja, tak ada kaitannya dengan sejarah manapun. Nama- nama dan tempat ini juga hanya fiktif belaka, tak berniat menyinggung sejarah aslinya, semoga kalian suka🙏
****
Jihan Athala adalah seorang aktris muda yang terkenal, kepiawaiannya dalam berakting sudah tak perlu di ragukan lagi, tapi satu hal yang tidak di ketahui semua orang, dia merasa terkekang, hatinya kosong. Jihan merasa bosan dengan kehidupan glamor yang monoton. Hingga suatu hari sebuah kecelakaan merenggut nyawanya tapi bukannya pergi ke alam baka, jiwanya malah ber transmigrasi melintasi ruang dan waktu, saat membuka matanya Jihan menyadari dirinya bukan lagi seorang aktris yang hidup dalam dunia glamor yang membosankan namun terbangun sebagai Sekar wulan, seorang istri dari adipati kerajaan lampu yang terkenal bengis dan selalu berwajah angker.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian : 17
Raden Erlangga terdiam sejenak, matanya menatap langit cerah yang di hiasi awan berarak lembut. Seolah- olah ia sedang mencari jawaban dalam relung hatinya sendiri, namun yang dia dapat hanyalah keheningan kosong, atau... mungkin belum saatnya? Ia sendiri tak mengerti.Sepanjang hidupnya, yang ia pahami hanyalah politik, peperangan dan strategi, sedangkan perasaan yang sesungguhnya? itu terasa asing baginya.
Mata kelamnya kembali jatuh pada gadis di hadapannya, Raden Ayu Agni rara yang sejak tadi menatapnya dengan sorot mata penuh harap, seolah menanti jawaban yang akan ia berikan. Lantas di wajah tampannya, Raden Erlangga menyunggingkan senyum tipis, sebuah isyarat bahwa ia mulai menyadari sesuatu. Sekarang ia tahu, gadis sedang mencoba mempermainkan nya.
"Apakah penting bagimu jika aku menjawab?” Pertanyaan itu terlontar, disertai tatapan tajam dan penuh tantangan. Seketika, Agni Rara gelagapan, salah tingkah karena dipancing dalam jebakan kata-kata.
“A- anu, bukan begitu, Kangmas. Aku hanya—”
“Hanya apa?” potong Erlangga, suaranya lembut namun mengandung nada mengancam. Ia membalas dengan pertanyaan jebakan yang membuat otak Agni rara seketika blank, tak mampu memberi jawaban.
"Sepertinya kau sangat penasaran dengan perasaanku terhadap Raden Ayu Sekar Wulan. Ada apa, nyimas?” ujar Erlangga dengan suara tenang namun penuh arti, membuat Agni Rara tersentak.
Skakmat! Gadis berhidung pesek itu benar-benar terdiam, mati kutu, tak mampu berpikir apa yang harus dia katakan. Pertanyaan itu seperti jebakan yang memenjarakannya dalam ketidakpastian. Ia hanya mampu menatap sang Raden dengan wajah penuh kekhawatiran dan kekesalan.
“Maafkan aku, Kangmas. Aku telah lancang menanyakan hal ini padamu,” ucap Agni Rara akhirnya, wajahnya sedikit masam, menandakan kekesalan dan kecewa yang membuncah. Meski mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun, namun sulit baginya menembus hati pria itu. Karena bagi Erlangga, mereka hanyalah kakak dan adik, tak lebih dari itu. Erlangga menyayanginya sebatas kakak kepada adik, sebuah penegasan yang selalu dipegangnya. Padahal, hati Agni Rara menginginkan lebih dari sekadar hubungan kakak-adik. Tapi, seperti yang telah disadari, menjangkau hati pria itu adalah hal yang sangat sulit. Bahkan, ia sendiri tak yakin apakah di dalam hati sang Raden terselip sebuah cinta, atau hanya kekasaran yang selalu dikenal sebagai kekuatan.
Erlangga tak bergeming mendengar permintaan maaf dari gadis di hadapannya. Ia kemudian mengulurkan tangan, meminta gulungan laporan dari tangan Agni Rara.
“Di mana gulungannya?”
Agni Rara tersentak. Wajahnya yang semula tegang perlahan mengendur. Ia menghela napas pelan, lalu menyerahkan gulungan laporan itu kepada pria itu. Wajahnya yang penuh ketakutan akan kemarahan Erlangga berubah menjadi sendu, memohon dengan suara lirih, “Kangmas, apa Kangmas marah padaku?”
“Tidak,” jawab Erlangga singkat, namun tatapannya tetap fokus pada gulungan laporan yang sedang ia buka dan baca isinya. Wajahnya memancarkan ketegasan, garis-garis tajam di wajahnya memperlihatkan ketampanan yang makin memikat di mata Agni Rara. Pria selalu tampak mempesona saat sedang serius, seolah-olah dunia adalah miliknya sendiri.
“Ah, Kangmas Erlangga memang sangat tampan. Sejak dulu aku menyukainya. Tapi, kenapa dia selalu menganggapku seperti adiknya saja?” suara hati Agni Rara terisi rasa nelangsa yang dalam.
“Kangmas…” panggilnya lagi, suaranya melemah, berharap pria itu menatapnya.
Dan benar, Erlangga tidak berubah. Ia akan langsung menatapnya jika gadis itu menunjukkan kerentanannya, seperti biasanya.
"Kamu… setelah ini mau apa?” pertanyaan itu langsung membuat wajah Agni Rara berbinar. Jika Erlangga bertanya begitu, berarti ia akan mengajaknya melakukan sesuatu yang menyenangkan—menghibur, mungkin. Ia hendak membuka mulut untuk mengungkapkan rencana mereka, namun bibirnya terkatup rapat saat pria itu buru-buru menambahkan, “Kalau tidak ada keperluan, sebaiknya kamu segera pulang, Nyimas.”
“Apa?” suara Agni Rara melemah dan matanya membelalak. Bukan seperti yang ia harapkan. Seharusnya, Erlangga membujuknya, bukan mengusir secara halus.
"Maksud Kangmas, Kangmas mengusirku?” suaranya bergetar, penuh kekecewaan.
Erlangga mulai merasa jengah. Tak bisa dipungkiri, matanya mulai memerah, menandakan bahwa emosinya mulai memuncak. Ia menghela napas panjang, memijit pangkal hidungnya sebentar, mencoba menenangkan diri. “Bukan begitu, tapi—”
Ucapan itu terpotong saat ia mendengar isakan gadis itu semakin keras, menembus keheningan dengan tangis yang meluap.
“Kangmas jahat, hiks, hiks!” Agni Rara berteriak sambil memukul dada Erlangga dengan lembut, lalu berbalik pergi dengan langkah tergesa.
Erlangga hanya diam, mencerna situasi yang terasa aneh dan tidak wajar baginya. Bagaimana tidak aneh? Karena, dalam pandangannya, reaksi Agni Rara saat ini terlalu berlebihan, hanya karena ia meminta gadis itu pulang,karena dia pun akan di sibukkan dengan pekerjaan nya setelah ini.
Akhirnya Raden Erlangga hanya membiarkan gadis itu pergi dengan langkah yang dramatis.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Sementara itu di tempat lain, Sekar wulan selesai melakukan ritual di kuil dan bertemu dengan Gurem, Pitung dan Sanggara. Mereka berpapasan di anak tangga.
Ketiga ajudan adipati Erlangga itu masing-masing membawa pedang di pinggang mereka. Sekar wulan tebak, mereka akan berlatih di sini.
"Selamat pagi, kanjeng raden ayu. " sapa mereka dengan senyuman cerah dan sedikit menundukkan kepala.
Sekar wulan tersenyum, membalas dengan anggukan dan sapaan ramah. "Selamat pagi juga untuk kalian. "
"Kanjeng Ayu pasti habis melakukan ritual untuk puasa ya? " Tebak pitung yang segera di iyakan dengan anggukan pelan dari Sekar wulan.
"Benar, " jawab Sekar wulan.
"Kanjeng Ayu, sebenarnya kesalahan yang dulu itu bukan sepenuhnya kesalahan kanjeng Ayu. Seharusnya kanjeng Ayu meminta keringanan kepada gusti adipati, " ujar pitung dengan nada lembut.
Mendengar itu lantas membuat Sekar wulan memikirkan sebuah ide, lantas wajahnya dia buat semelas mungkin. " haaah... sudah kulakukan, tapi adipati itu bilang ini adalah hukuman teringan yang dia berikan. Bukankah tuan kalian itu jahat?" ia yang berpura-pura menangis.
"Kalau kalian merasakan apa yang kurasakan aku, apa kalian akan memihak ku?" tanyanya lagi dengan mata berkaca- kaca.
Pitung, gurem dan Sanggara saling melempar pandangan, gurat wajah mereka tampak serba salah tapi tak enak jika mereka menyangkal pertanyaan istri junjungan mereka itu. Karena sepanjang mereka menghabiskan waktu bersama selama hampir dua minggu itu, mereka telah melihat dan menerima banyak kebaikan dari Sekar wulan, mereka jadi tahu jika sebenarnya Sekar wulan adalah gadis yang memiliki hati baik dan tulus terlepas dari sikapnya sebelum nya.
"Eeee, t- tentu saja! haish, jahat sekali gusti adipati. Kanjeng Ayu anda tenang saja, kami pasti akan berada di pihak anda. " sahut Gurem dengan menyeringai lebar.
"Benarkah? " Sekar wulan tentu sangat senang akhirnya dia mendapatkan kepercayaan mereka.
Ketiga pria itu mengangguk. "Tentu, kami akan menjadi garda terdepan untuk kanjeng putri, meski harus melawan gusti adipati, " kata Gurem.
Yang kemudian mendapatkan geplakan di kepala dari pitung. Tatapan pria itu seolah berbicara.
"Hoi, bukankah kau terlalu berlebihan? "
Lalu Gurem menatap nya balik dengan ekspresi yang sedikit geram.
"Tentu saja tidak, kanjeng Ayu sekarang sudah berubah baik pada kita, tahu! "
Mereka seolah sedang berperang lewat suara hati yang seakan bisa di dengar satu sama lain, lalu suasana itu terpecah ketika mereka mendengar tawa sekar wulan.
"Hahaha, aku hanya bercanda. Tapi terimakasih atas kesetiaan kalian. "
Gurem dan pitung saling memandang lalu menghela napas lega, keduanya kompak mengusap belakang kepala sambil nyengir kaya kuda.
"Oh ya untuk hadiahnya, aku bawa kue dari persembahan, apa kalian mau? "
Ketiganya saling menatap lalu mengangguk semangat, isyarat mereka sangat mau hadiah yang di berikan itu.
Sekar wulan tersenyum, baru hendak memberikan kepada mereka, namun, tiba-tiba sebuah tangan muncul, menggapai dan melempar piring persembahan itu hingga terjatuh ke lantai, mengagetkan semuanya.
Agni Rara muncul di sana dengan wajah memerah padam, penuh amarah.
"Puas kau, telah membuat sikap Kangmas Erlangga berubah padaku? " hardiknya, suaranya penuh dendam dan kemarahan yang membara.
Tanpa peduli akan keberadaan ketiga ajudan raden Erlangga yang penting itu, kemudian ia menampar Sekar Wulan dengan keras, sebuah tamparan yang membuat semua orang terkejut dan tercengang. Hingga membuat Sekar wulan tersungkur ke lantai.
Lantas Agni Rara tersenyum sinis, merasa puas setelah melampiaskan amarahnya, dan dia tahu jika Sekar wulan tak akan bisa melawan atau membalas apa yang dia lakukan terhadap nya.
Tapi yang tidak Agni rara tahu, jika jiwa yang di tempati Sekar wulan bukanlah jiwanya yang dulu.
Sekar Wulan bangkit perlahan, wajah tetap datar. Dalam sekejap, ia menarik lengan Agni Rara dan memelintirnya ke belakang.
“Krek!”
“Aaaah!” teriak Agni Rara, menahan sakit.
Tanpa berhenti, Sekar Wulan mendorong kepala gadis itu hingga sanggulnya hampir terlepas. Dengan ilmu bela diri yang pernah ia pelajari, ia benar-benar membuat Agni Rara terdiam sejenak, dan akhirnya jatuh tersungkur di lantai, dengan wajah penuh luka dan malu.
Tindakan itu membuat semua yang menyaksikan tercengang. Sekar Wulan mendekat lalu menatap tajam dan bersuara tegas, “Kau pikir aku akan diam saja saat diperlakukan seperti ini? Ingatlah satu hal, aku bukan Sekar Wulan yang dulu.”
****
TBC
lanjut Thor semangat 💪👍 trimakasih 🙏
ayo Thor lanjut up semangat 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
ayo lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
lanjut Thor semangat 💪 salam sehat selalu 🤲🙂❤️🙏
maturnuwun Thor lanjut critanya ...
ibu suka crita transmigrasi semoga sukses, salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️ lanjut 🙏