Dinikahi Om Dari Sang Penghianat

Tanpa terasa Aluna sudah berusia 3 tahun saat ini, Alya merapikan pita rambut Aluna yang duduk manis di pangkuannya. Hari ini adalah hari besar bagi keluarga besar Davin.

Karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan emas kakek-nenek dari pihak ayah Davin yang ke-50 tahun. Semua anggota keluarga besar diundang, bahkan yang selama ini tak pernah muncul.

Termasuk… mereka yang dulu terang-terangan menolak kehadiran Alya.

Sampai hari ini, Alya belum pernah bertemu seluruh keluarga besar Davin secara resmi. Mereka mengenalnya hanya dari "berita miring"—tentang gadis muda yang pernah pacaran dengan Rey, lalu dinikahi pamannya.

Terlebih, tak sedikit yang merasa status sosial Alya tak “sepadan” dengan keluarga terpandang itu.

Tapi hari ini, Alya memilih hadir.

Bukan untuk membuktikan apa-apa, hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah cukup.

Gedung perayaan mewah itu penuh dengan bunga, lampu kristal, dan alunan musik klasik.

Begitu Alya melangkah masuk, menggandeng Aluna dan berdiri di sisi Davin, puluhan pasang mata langsung menoleh.

Bisik-bisik mulai terdengar.

“Itu istrinya Davin, ya?”

“Yang itu mantan pacar Rey ‘kan?”

“Kok dia berani datang?”

“Cantik sih… tapi gaya jalannya kayak yang percaya diri banget.”

Davin meremas lembut tangan Alya. “Kalau kamu lelah, kita bisa keluar sebentar.”

Alya menggeleng dan tersenyum. “Aku baik-baik saja.”

Seseorang mendekat. Seorang wanita separuh baya, bermata tajam dan berdandan menor.

“Jadi ini istri Davin yang katanya mantan pacar Rey itu?” Dia tertawa pelan, lalu memandang Aluna.

“Dan ini anaknya? Wah, cepat juga ya. Tapi ya... asal tahu saja, keluarga kita ini menjunjung kehormatan, jadi saya harap kamu bisa jaga sikap.”

Suasana hening seketika.

Alya menatap wanita itu. “Ibu… saya datang ke sini untuk menghormati keluarga besar. Tidak lebih. Tapi kalau saya harus terus-menerus diingatkan akan masa lalu saya, saya juga punya pertanyaan—mengapa keluarga terhormat ini lebih suka menggosip ketimbang mencari kebenaran?”

Wanita itu tersentak.

Alya lanjut, masih dengan suara tenang. “Saya lulusan universitas negeri terbaik, punya lembaga sosial sendiri, aktif dalam pemberdayaan perempuan dan anak. Bukan hanya istri Davin. Saya juga manusia dengan perjalanan sendiri.”

Seseorang dari arah belakang berseru, “Kamu yang pernah viral di media sosial itu, ya? Yang membela anak korban kekerasan? Saya pernah lihat videomu. Hebat sekali.”

Bisik-bisik tadi berubah.

“Lho, dia itu Alya Adinata? Yang pernah menang penghargaan nasional?”

“Pantes aura-nya beda.”

Tiba-tiba nenek Davin sendiri mendekat. “Jadi ini cucu mantu saya? Akhirnya ketemu juga. Cantik dan cerdas ya, pantas Davin pilih kamu.”

Wanita yang tadi menghina Alya terlihat kikuk. “Maaf, saya tidak tahu…”

Alya tersenyum tenang. “Tak apa, Bu. Kadang penilaian pertama memang keliru.”

Di tengah acara, Aluna berhasil mencairkan suasana dengan celotehnya yang lucu. Ia berlari-lari kecil sambil membawa bunga, membuat banyak orang tertawa. Bahkan kakek-nenek Davin tak henti memujinya.

Davin menggandeng Alya menuju panggung kecil. “Saya ingin memperkenalkan kalian pada wanita yang membuat hidup saya berarti. Ini istri saya, Alya. Dan ini putri kami, Aluna.”

Tepuk tangan bergema di seluruh ruangan.

Tak ada lagi hinaan, tak ada lagi pandangan merendahkan. Yang tersisa hanyalah decak kagum—karena wanita muda yang dulu direndahkan itu kini berdiri tegak dengan elegansi dan keberanian.

Di perjalanan pulang, Davin menggenggam tangan Alya sambil tersenyum penuh rasa bangga.

“Kamu luar biasa.” ujar Davin,

Alya hanya menatap ke luar jendela dan tersenyum kecil. “Aku tak butuh pengakuan, mas. Aku cuma ingin Aluna tumbuh melihat ibunya tidak mudah tumbang.”

Dan malam itu, seorang wanita yang dulu dikucilkan, kini justru menjadi pusat kekaguman.

Bersambung