Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23.
Fany's Pov.
Sejak pulang dari rumah keluarga Sean, Sean terlihat tidak seperti biasanya. Sean lebih banyak diam seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi, terkadang ia juga terlihat aneh karena tiba-tiba ia juga menunjukkan bahwa dia sedang bahagia. Apa yang membuatnya seperti itu?
"Fan, ambilkan aku handuk yang baru. Handuk ku basah." Ujar Sean yang masih ada di dalam kamar mandi. Kami baru sampai di rumah setengah jam yang lalu.
"I-iya." Jawabku, aku berjalan menuju ke almari dan membuka laci bagian bawah dan mengambil handuk baru untuk Sean. Tapi, sesuatu terjatuh saat aku mengambil satu handuk dari sana.
"Ini, aku yakin ini bukan milikku. Tapi, ini milik siapa?" Batinku sambil memegang benda yang ku temukan, sebuah testpack dengan hasil positif.
"Fan, kau baik-baik saja?" Tanya Sean mengagetkan ku.
"Iya, aku baik-baik saja." Jawabku. Aku mengembalikan testpack bekas pakai itu ke tempatnya dan segera pergi ke kamar mandi.
"Sean, ini handuknya!" Ujarku sambil menutup mataku. Kudengar Sean membuka pintu kamar mandinya. Kemudian aku mendengar ia sedikit tertawa sebelum akhirnya tubuhku tertarik ke dalam pelukan Sean. Aku bahkan merasakan sesuatu yang mengganjal di bawah sana.
"Sean. Kau belum memakai handukmu." Protesku.
"Mau mandiin kamu, aku tidak perlu handuk." Ujar Sean membuatku membelalakkan mataku.
"Ap-apa?" Tanyaku.
"Mandiin kamu." Ujarnya lagi sambil menarikku lebih masuk ke dalam kamar mandi. Sean melepaskan satu persatu pakaianku meskipun aku mencegahnya.
"Sean. Aku bisa sendiri." Tegurku.
"Tapi, aku ingin mandi bersamamu." Katanya. Ia menghidupkan shower dan membasahi tubuh kami bersama.
"Uuhh Sean. Apa yang kau lakukan?" Protesku begitu Sean meraba bagian intiku.
"Aku sudah berpuasa beberapa hari, Fan. Biarkan aku melakukannya." Jawabnya.
"Sean ughhhh jangan!" Desisku menahan gairah yang bisa kapan saja menghampiriku jika Sean terus seperti ini.
"Please, Fan!" Ucap Sean seperti sedang memohon. Ia mencium belakang telingaku dan juga leherku. Posisi kami sekarang adalah Sean berdiri di belakang ku sambil terus menggoda tubuhku.
"Kau sibuk seharian. Kau akan kelelahan." Kataku memperingatkan.
"Aku tidak lelah, Fan." Jawabnya kemudian ia melebarkan kedua kakiku dan tangannya kembali meraba di bagian sana. Aku tidak sengaja mendesah, bukti bahwa nafsuku sudah bangkit dan sama besarnya dengan Sean.
"Sean, pelan-pelan!" Ucapku begitu merasakan milik Sean mulai menggesek-gesek bagian bawah ku.
"Tentu saja." Jawabnya. Kemudian Sean mendorong sedikit tubuhku sampai sedikit menungging, dan Sean memasukkannya dengan sangat pelan tapi entah mengapa aku masih merasakan panas dan sakit secara bersamaan.
"Sean, sakit." Ucapku.
"Tahan sebentar, Fan!" Ujarnya.
"Tapi, ini benar-benar sakit. Pelan-pelan!" Kataku.
"Aku merindukanmu, Kau sungguh membuatku gila." Ujarnya tidak karuan. Bukannya pelan, gerakan Sean semakin cepat dan brutal membuat tubuhku bergetar hebat. Aku khawatir ini akan berdampak buruk pada kehamilanku. Tapi, seharusnya ini tidak akan menjadi masalah karena Sean tidak menindih perutku.
Kegiatan kami tidak berhenti begitu saja. Begitu Sean selesai memuaskan nafsunya, ia memandikanku juga dan memakaikan jubah mandiku sebelum akhirnya ia menggendongnya ke kamar tidur, menidurkan ku di atas ranjang dan memelukku.
"Tidurlah! Besok bukankah kau ingin kembali bekerja?" Ujarnya.
"Baik. Kau juga harus tidur." Jawabku. Ia tersenyum dan menciummu sebelum kami sama-sama tertidur.
.......
Author's POV.
Merasa tidak ada masalah dengan tubuhnya setelah semalam ia dan Sean berhubungan Fany segera pergi ke kantor. Ia sengaja tidak pergi bersama Sean dengan alasan bahwa dirinya ingin membeli sesuatu untuk temannya. Sean tentu tidak mempermasalahkan itu.
Fany datang ke kantor dengan wajah yang sangat bahagia. Bukan tanpa alasan karena hari ini ia akan memberikan kejutan besar buat suaminya tepat di hari ulang tahunnya.
Sementara itu, Sean tengah sibuk dengan beberapa pekerjaannya yang menumpuk karena kemarin ia harus meninggalkan pekerjaannya untuk melakukan sesuatu di luar kantor.
"Fan, datanglah ke ruangan ku dan bawa beberapa dokumen yang ada di sekretaris Jane. Aku sudah bicara pada Sekretaris Jane tentang dokumen itu." Panggil Sean melalui panggilan pribadi.
"Baik." Jawab Fany dari seberang.
Fany sudah menyiapkan semuanya. Ia akan pergi ke ruangan Sean sendirian. Karena ini adalah kejutan pribadinya pada suami tercintanya, ia tidak akan melibatkan siap pun.
"Sean, aku masuk ya?" Ujar Fany karena tidak melihat siapapun di sekitar ruangan Sean jadi Fany leluasa memanggil suami sekaligus atasannya dengan nama panggilannya saja.
"Masuklah!" Jawab Sean dari dalam ruangannya.
"Aku tidak bisa membuka pintunya. Tanganku keram deh kayaknya." Ujar Fany berbohong padahal ia sedang sibuk membawa nampan kue ulang tahun yang sudah ia siapkan beberapa jam yang lalu.
"Ya Tuhan. Kamu baik-baik saja kan?" Ujar Sean sambil berjalan menuju ke pintu ruangannya. Membuka pintu besar itu dan melihat Fany yang tersenyum jahil padanya.
"Kau berbohong, apa yang kau bawa sampai kau tidak bisa membuka pintunya?" Tanya Sean.
"Biarkan aku masuk dulu! Dokumenmu akan di antar oleh sekretaris Jane sendiri." Kata Fany.
"Baiklah. Ayo masuk! Kita lihat apa yang menyibukkanmu sekarang ini." Ucap Sean sambil menggeser tubuhnya untuk membiarkan Fany masuk ke dalam ruangannya, kemudian ia menutup pintu ruangannya dan menyusul Fany yang sedang meletakkan nampan itu ke meja kerja Sean.
"Buka!" Ujar Sean. Dengan rasa penasaran, Sean membuka tudung itu dan ia tersenyum setelah melihat isinya. Sebuah kue tart bertuliskan "happy birthday pak suami."
"Selamat ulang tahun, suamiku!" Ucap Fany.
"Ayo tiup lilinnya!" Lanjut Fany sambil menyalahkan lilin lilin kecil yang tertata rapi di atas kue itu.
"Ya Tuhan, Fan Terima kasih!" Ucap Sean.
"Aku mau tiup lilinnya sama kamu." Lanjutnya.
"Baik." Jawab Fany kemudian Fany bersiap untuk meniup lilinnya begitu juga dengan Sean. Tapi, saat Fany meniup lilin setelah hitungan ketiga, Sean justru mencium pipi Fany bukannya meniup lilinnya.
"Sean kamu curang!" Ujar Fany.
"Mana bisa begitu. Aku sudah membantu menyemangatimu meniup lilin untuk ku." Kata Sean.
"Ya sudah. Potong kuenya lalu suapin aku!" Ujar Fany dengan rengekan manja.
"Potongan pertama kenapa aku harus berikan padamu?" Tanya Sean menggoda Fany.
"Karena aku yang kasih kue ini." Jawab Fany ketus. Sean tertawa.
"Tidak usah dipotong. Kuenya buat kamu semuanya saja." Kata Sean.
"Kalau begitu, biar aku berbagi sama kamu." Ujar Fany sambil mencolek krim kue itu dan mengoleskannya ke pipi Sean. "Hahahaha kau sangat tampan dengan krim coklat seperti itu." Ujar Fany sambil tertawa. Sean tertawa miring dan memotong kecil kuenya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri. Kemudian ia menarik Fany dan mencium bibir Fany, lidahnya mendorong kue yang ada di dalam mulutnya masuk ke dalam mulut Fany.
"Sean, jijik!" Protes Fany setelah Sean mengakhiri kegiatannya.
"Siapa bilang? Enak kok." Jawab Sean acuh.
"Ok. Ok... Terserah kau saja." Jawab Fany. Ia tersenyum sambil mengambil kotak kecil yang ada di saku celana bahannya kemudian memberikannya pada Sean.
"Apa ini?" Tanya Sean.
"Kado spesial buat kamu." Jawab Fany. Sean menerimanya dan mengernyit begitu merasakan betapa ringannya kotak itu.
"Apa sih ini?" Tanya Sean lagi.
"Udah. Buka aja!" Ujar Fany. Kemudian Sean membukanya dan menemukan benda kecil panjang yang sangat tipis. Tentu Sean tahu benda macam apa itu.
"Surprise! Selamat ya calon papa!" Ujar Fany gembira. Tapi, raut wajah Sean yang tadinya gembira kini berubah menjadi menyeramkan.
"Ini milikmu?" Tanya Sean datar.
"Benar. Kita akan jadi orangtua." Jawab Fany. Sean meremas tespack yang ia pegang kemudian melemparnya ke sembarang tempat. Dari sana Fany tahu bahwa Sean tidak menyukai kejutannya.
"Se-Sean." Gumam Fany ketakutan melihat wajah datar Sean yang sedang menahan amarahnya.
"Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Kenapa kau tidak meminum pil yang aku berikan secara rutin? Apa kau sengaja melakukan ini untuk membuatku tersanjung? Kau justru membuatku kesal." Ujar Sean.
"Sean. Ibu dan mommy, mereka sama-sama menginginkan anak ini. Kau harusnya mengerti." Ucap Fany.
"Aku tidak menginginkan anak itu." Kata Sean melukai tepat di ulu hati Fany.
"Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu, Sean? Ini anakmu, darah dagingmu." Ujar Fany.
"Aku tidak peduli. Keluar! Sebelum aku melakukan hal diluar kendaliku." Usir Sean.
"Sean. Kupikir kau masih seperti manusia pada umumnya. Tapi, mungkin iblis lebih mulia daripada dirimu." Ucap Fany pelan sambil berjalan keluar dari ruangan Sean. Ia tidak menyangka bahwa reaksi Sean jauh lebih buruk dari kemungkinan buruk yang ia pikirkan selama ini. Ia pikir Sean akan senang mendengar kabar kehamilannya. Ternyata ia memang membenci dirinya yang hamil bahkan anak kandungnya sendiri.
"Sial, kenapa semuanya jadi begini?" Gumam Sean pelan. Kemudian sering ponselnya membuyarkan amarahnya.
"Ya, ada apa?" Tanya Sean setelah menggeser iKON telepon berwarna hijau di layar ponselnya. "Ok." Jawab Sean setelah mendengar ucapan seseorang yang berbicara melalui telepon.
........
Fany's Pov.
Semua diluar dugaanku. Hal yang selama ini tidak pernah kupikirkan pun terjadi. Entah setan mana yang membuat Sean sekejam itu. Jika pada umumnya seorang pria yang sudah menikah akan bahagia mendengar kehadiran buah hatinya, hal itu tidak terjadi pada Sean. Setelah mendengar aku memberitahu tentang kehamilanku seminggu yang lalu, Sean seakan tidak menganggapku seperti aku tidak ada. Kami memang masih tinggal di kamar yang sama. Hanya saja Sean dan aku terpisahkan jarak berbeda seperti saat sebelum kehamilanku. Bahkan Sean seperti tidak peduli sama sekali dengan apa yang kulakukan termasuk kondisi tubuhku.
Selama bekerja di kantor pun, Sean menjadi sangat jarang bahkan hampir tidak pernah menyuruhku datang ke ruangannya. Ia justru lebih sering meminta sekretaris Jane yang membantunya padahal ada aku yang seharusnya membantunya. Sean benar-benar mengabaikan ku.
"Sean, sarapannya sudah siap." Kulihat Sean baru keluar dari kamar dengan setelah kemeja kerja yang sudah rapi, aku menawarkan ia sarapan pagi seperti biasanya. Tapi, Sean hanya menoleh sebentar kemudian kembali berjalan meninggalkanku.
"Aku terburu-buru." Ujarnya acuh.
Apa sebesar itu kemarahan Sean karena kehamilanku. Apa dia benar-benar tidak menginginkan anak ini? Kenapa ia bisa begitu kejam?
Ah sudahlah. Kalau dia memang tidak mau makan, terserah saja. Dia sudah dewasa dan bisa mencari makan sendiri jika ia lapar. Sebaiknya aku menyiapkan sarapan ku sendiri untuk ku bawa ke kantor. Aku harus mengganti bajuku dan segera berangkat menyusul Sean. Yups, sejak saat itu aku dan Sean berangkat sendiri - sendiri. Aku kembali menggunakan jasa taksi online setiap kali aku ingin pergi.
Aku masuk ke dalam kamar dan memilih setelan kerjaku yang sudah kusiapkan semalam di atas meja riasku. Kudengar bunyi notifikasi ponsel Sean berbunyi. Sean meninggalkan ponselnya di atas ranjang atau ia lupa membawanya. Aku berniat mengambil ponsel itu tapi notifikasi pesan yang baru saja masuk tidak sengaja kulihat dan menampilkan kata-kata yang membuatku sakit.
Sebuah pesan yang berisi panggilan sayang untuk suamiku dan janjian bertemu nanti malam di sebuah hotel. Apa selama ini Sean berselingkuh di belakangku? Apa saat Sean tidak datang ke kantor waktu itu Sean juga pergi bersama selingkuhannya? Siapa wanita itu? Aku harus menyelidikinya.
Aku kesal, aku marah, aku sakit. Sampai aku mengurungkan niatku untuk membawa ponsel Sean ke kantor. Biar saja Sean tidak tahu tentang pesan itu. Aku ingin tahu sampai dimana wanita itu menggoda priaku.
.......
Bersambung....