Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 21
Mata tajamnya menangkap sosok lelaki yang sangat ia kenal sedang bersandar di mobilnya. Adimas merasa heran mengapa lelaki itu ada di tempat itu sekarang. Seharusnya lelaki itu sedang fokus dengan restaurannya. Atau minimal lebih baik tidak terlalu dekat dengannya.
Toh hubungan mereka memang tidak seperti kakak-adik pada umumnya. Mereka tidak sedekat itu untuk bisa menghabiskan waktu berdua apalagi saling berbagi cerita satu sama lain. Mereka juga bukan tipikal saudara yang saling membenci satu sama lain hanya karena harta atau alasan apapun. Hubungan mereka sangatlah hambar. Tidak ada keterikatan apapun selain hubungan darah dari sang ayah yang mengalir dalam tubuh mereka.
Adimas melangkah pelan. Ia sengaja menunggu Rindu yang menyusul di belakangnya. Tanpa aba-aba Rindu kemudian menyelipkan tangan di lengannya. Sesuatu yang jarang Rindu lakukan semenjak memasuki usia dewasa.
"Makasih ya Kak. Kakak sudah mau nemenin aku makan siang hari ini." ucap Rindu sesaat sebelum mereka benar-benar keluar dari tempat makan itu.
Adimas mengangguk sembari tersenyum kecil. Jika Rindu senang maka hatinya pun akan senang. Sesimpel itu.
Tangan Rindu masih di lengannya. Sedangkan dari jarak yang tidak terlalu jauh tersebut, Adimas bisa melihat jelas sorot mata hangat Adrian berubah menjadi tajam. Jelas sekali bahwa adiknya itu sedang marah. Adimas tahu apa sebabnya. Namun Adimas tidak ingin melepaskan tangan Rindu dari lengannya.
Meski Adrian marah, Adimas tidak peduli. Adrian mengadu kepada Jasmine? Adimas lebih tidak peduli.
Saat mereka sudah di parkiran, tatapan Adrian tetap tertuju kepada arah tangan Rindu pada lengan Adimas. Lalu beralih menatap Adimas dan Rindu bergantian.
Rindu perlahan melepaskan tangannya, lalu menyipit menatap Adrian dengan tidak percaya. "Loh, Adrian? Kapan pulang ke Indonesia?" tanyanya kemudian dengan suara riang.
"Beberapa hari kemarin." jawab Adrian singkat dengan wajah yang kurang enak dilihat.
Adimas berusaha menahan emosinya. Setidaknya sampai dengan Rindu mendapatkan taksi onlinenya ia harus bersikap biasa saja pada Adrian. Tidak mengeluarkan kata-kata kasar karena Rindu tidak menyukai itu.
"Restoran kamu makin rame aja. Enak ya punya bakat di bidang masak-memasak bisa sekalian bikin usaha deh." Rindu begitu antusias berbicara dengan Adrian. "Kapan-kapan mau dong makan langsung dimasakin sama kamu." ucap gadis itu mencoba akrab pads Adrian yang hanya ditanggapi Adrian dengan wajah malas.
"Hmmmh...."
"Kamu di sini sama siapa?" tanya Rindu lagi.
"Calon istri." jawab Adrian tegas.
Adimas berjengit kaget. Apalagi Rindu. Gadis itu Adimas tebak pasti masih menyimpan perasaan kepada Adrian. Namun si bodoh itu berpura-pura tidak mengindahkan Rindu.
"Calon istri? Mana?" tanya Rindu pelan. Adimas yakin gadis itu pasti sedang menahan rasa sakit di hatinya.
"Bukan urusan kamu." jawab Adrian ketus, menatap Adimas dengan tajam.
Adimas jengkel melihat tatapan tidak bersahabat Adrian pada Rindu. Padahal Rindu sudah berusaha bersikap ramah pada Adrian. Tidak ingin melihat Rindu yang seperti antusias sendiri, Adimas lalu membawa Rindu agak menjauh dari Adrian meski Rindu sempat protes. Tidak lama kemudian taksi online yang dipesan Rindu pun datang.
"Kapan-kapan traktir lagi ya," gurau Rindu dengan senyum ramahnya.
Adimas tersenyum tipis. "Kamu hati-hati. Kalau nanti masih belum terlalu sehat, kabarin ya."
Rindu mengangguk sesaat sebelum masuk ke dalam mobil. Gadis itu kemudian segera masuk dan tidak lupa melambaikan tangan kepada Adimas.
Setelah memastikan Rindu sudah aman, Adimas pun berjalan menuju mobilnya. Tepat di tempat Adrian tadi berada. Namun Adimas belum sampai di sana saat matanya menangkap sosok tiga perempuan berhijab sedang bercengkerama akrab dengan Adrian.
Mata Adimas menyipit untuk memastikan siapa para perempuan yang penampilannya mirip dengan Jasmine itu. Adimas awalnya merasa tidak mengenal mereka, hingga dua di antara mereka pun menoleh. Langkah Adimas terhenti.
Itu adalah Jasmine dan Fita.
Adimas tersenyum tipis mengingat jawaban Adrian tentang 'calon istri' tadi. Adimas yakin yang dimaksud Adrian adalah Jasmine. Ternyata benar adiknya itu menyukai Jasmine. Sungguh ironi. Jasmine dan Adrian saling mencintai namun Jasmine harus menikah dengannya. Ah tidak, bukan harus. Namun salah paham nama merekalah yang membuat mereka tidak menikah.
"Ternyata ini calon istrimu?" sindir Adimas menatap keempat orang tersebut membuat mereka menoleh ke arah Adimas.
Tak sungkan Adimas tersenyum tipis melihat Jasmine dan Adrian yang sekarang justru berdekatan. Memang tidak sedekat seperti Rindu dan Adimas tadi, keduanya hanya terlihat dekat karena saling melempar gurauan satu sama lain. Sebenarnya tidak hanya mereka berdua, namun Adrian dengan Fita dan perempuan satunya pun sama.
Tidak ada gurat terkejut dari Jasmine saat melihat Adimas. Perempuan yang berstatus istrinya itu justru memalingkan pandangan ke sembarang arah. Hal itu membuat Adimas jengkel. Jasmine jelas-jelas mengabaikan dirinya.
Sedangkan dua perempuan lain juga bersikap sama dengan Jasmine. Mereka bahkan menarik Jasmine untuk menjauh.
"Kalian sudah mau pulang?" Daripada memilih menjawab pertanyaan Adimas, Adrian justru berbicara pada ketiga perempuan itu.
"Kita duluan ya, Yan." jawab Fita tanpa mengindahkan Adimas yang juga berdiri di situ.
"Jasmine pulang sama siapa?" tanya Adrian lagi. Adimas menoleh kepada Jasmine.
"Bisa sama Fita, Yan." jawab Jasmine, sama sekali tidak menatap Adimas.
Adrian dan tiga perempuan itu terus berbicara tanpa memperdulikan Adimas. Namun yang membuat hati Adimas bergejolak adalah tatapan Jasmine yang terus fokus pada Adrian. Kehadirannya justru hanya dianggap orang lain. Tidak ada tatapan hangat dan sapaan lembut yang Jasmine berikan untuknya.
"Dri saya mau bicara sama kamu." ucap Adimas pada Adrian membuat sang adik mengalihkan pandangan ke dirinya. Mata Adimas lalu menatap Jasmine. "Kamu pulang sama saya." ucap Adimas datar dan tegas seolah Jasmine tidak diberikan kesempatan untuk menolak.
"Jasmine biarkan pulang aja Kak. Dia kelelahan itu. Kalau mau bicara sama aku, ayo!"
Adimas tersenyum miring lalu berjalan pelan mendekat ke Adrian. "Jangan terlalu perhatian sama dia. Ingat, dia kakak iparmu." bisik Adimas dingin.
Mengabaikan tatapan tajam Adrian, Adimas lalu berjalan lagi menuju ketiga perempuan yang menatapnya dengan tatapan tidak suka. Tapi Adimas tidak peduli.
"Kamu pulang sama saya." ucap Adimas pada Jasmine.
"Aku masih ada urusan sama Fita. Aku bareng dia aja." jawab Jasmine menatap Adimas.
Nada suaranya berubah. Tidak seperti Jasmine biasanya.
"Tidak. Kamu sama saya." Pandangan Adimas lalu beralih ke ke Fita yang terlihat tidak menyukai dirinya.
Adimas sendiri tahu bahwa sejak awal menjenguk Adimas di rumah sakit, sahabat Jasmine itu sangat terlihat tidak menyukai dirinya.
"Bagaimana Fita? Jasmine boleh pulang dengan saya?" tanya Adimas sengaja mengintimidasi perempuan berwajah ceria itu.
"Mas... Jangan lihat Fita begitu." bisik Jasmine pada Adimas.
"Kamu pulang dengan saya. Saya tidak terima penolakan, Jasmine." kata Adimas final.
"Kak!" Suara Adrian terdengar akan kembali melayangkan protes pada dirinya.
Dalam hati Adimas rasanya ingin tertawa karena tingkah orang-orang ini seperti mendakwa Adimas sebagai penjahat. Kenapa mereka harus berlebihan seperti itu?
"Baiklah. Aku pulang denganmu." jawab Jasmine akhirnya.
Adimas mengangguk, tersenyum samar pada Adrian yang kini menatapnya semakin kesal. Adimas lalu berjalan lebih dulu menuju mobilnya diikuti Jasmine dari belakang.
Adimas segera membukakan pintu depan mobilnya untuk Jasmine. "Kamu tunggu di sini. Saya mau bicara dengan Adrian."
Jasmine tidak menjawab. Tidak ada senyum hangat untuknya seperti biasa. Tipikal wajah Jasmine yang terlihat judes saat tidak tersenyum meski tidak marah membuatnya sekarang terlihat sangat marah pada Adimas.
Padahal Adimas sendiri tidak tahu apa penyebabnya Jasmine berubah dingin seperti itu.
Sampai saat Adimas menutup mobil dan kembali kepada Adrian, tatapan lelaki itu masih sama. Fita dan perempuan bernama Naina itu sudah pergi.
Adimas berdiri sambil memasukkan tangannya ke saku celana. "Kenapa kamu bersikap dingin pada Rindu? Dia bahkan tidak pernah berbuat salah padamu."
"Kakak sedang bercanda ya?" tanya Adrian dengan senyum mengejek. "Kenapa harus Rindu yang ada dalam pikiranmu? Ah Tidak, aku rasa Kakak juga meletakkan nama Rindu di hati Kakak. Iya, kan?"
Adimas diam sejenak. Ia tidak mengelak dari pertanyaan Adrian.
"Lalu kamu? Kamu mencintai Jasmine?" Adimas sengaja menanyakan itu kepada Adrian, tepat saat ada Jasmine di dekat mereka. Meski perempuan itu berada di dalam mobil. "Jangan lupa bahwa faktanya Jasmine ada kakak iparmu sekarang."
Dalam diam, Adimas bisa melihat kepalan tangan Adrian. Ia sepertinya bisa menggunakan Jasmine untuk bermain-main dengan Adrian. Melihat Adrian emosi seperti ini tampak sangat menarik untuk Adimas.
"Shaffiya adalah perempuan yang baik. Jangan sakiti dia. Kalau memang Kakak tidak bisa minimal menghargainya sebagai istri, seharusnya Kakak tidak menikahinya. Menjebak Shaffiya hidup dengan orang sepertimu terlalu menyiksa dirinya."
Shaffiya? Adimas tersenyum tipis. Adrian bahkan punya panggilan sendiri untuk Jasmine.
"Ini semua salahmu sendiri. Kamu yang menolak menikahinya. Jadi jangan terlalu menyalahkan saya." sahut Adimas.
"Justru karena itu. Jika dia bahagia karena menikah denganmu, aku yang akan merasa bersalah. Pernikahan kalian tidak didasari dengan perasaan saling mencintai. Kakak bahkan terang-terangan bermesraan dengan perempuan lain di tempat umum. Jika memang terlalu banyak keburukan jika pernikahan ini dilanjutkan, hentikan, Kak. Biar aku yang membahagiakan dia."
Adimas sebenarnya tidak percaya cinta sejati. Dia memang menyukai Rindu, namun tahap mencintai? Entahlah. Dia sendiri tidak tahu rasanya seperti apa. Namun melihat Adrian yang begitu peduli dengan kebahagiaan Jasmine membuat Adimas sendiri merasa geli. Adrian terlalu naif.
Jangankan ia, Jasmine saja tahu mereka menikah hanya kewajiban demi keluarga sementara ia menikahi Jasmine hanya untuk kekuasaan.
Cinta? Adimas sendiri yakin perasaan itu akan terkikis perlahan karena hidup terlalu idealis apalagi mementingkan perasaan seperti itu akan menyakiti diri sendiri.
Seperti mama dan ayahnya dulu.
Ekspresi Adrian tampak cukup frustasi. Ia tidak setenang biasanya. Adimas senang memainkan emosi Adrian seperti ini. Adiknya ternyata memang senaif itu. Mengagungkan cinta di atas segalanya.
"Bagaimana kalau Jasmine akhirnya mencintai saya? Seperti kisah klise di sinetron-sinetron itu? Apa yang akan kamu lakukan?"
"Shaffiya tidak akan mencintai lelaki sepertimu, Kak. Pun kamu juga. Shaffiya dan kamu bagaikan langit dan bumi. Kalian berdua terlalu berbeda."
"Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, Adrian. Bukan hal sulit untuk saya membuat Jasmine mencintai saya. Justru lelaki seperti kamulah yang akan sulit Jasmine cintai." Adimas lalu perlahan berjalan mendekati Adrian. Dengan nada rendah, kemudian ia berbisik. "Akan saya buat Jasmine mencintai saya, seperti yang kamu lakukan kepada Rindu dulu. Lalu akan saya campakkan dia, seperti kamu mencampakkannya dulu."
Setelah mengatakan itu, Adimas segera pergi meninggalkan Adrian dan segera masuk ke mobil.
Mata Adimas bertemu dengan mata Jasmine. Mata bulat bak biji lengkeng itu membuat Adimas diam sejenak. Kemudian senyum samar menghiasi wajahnya. "Sepertinya menjalani pernikahan ini dengan normal cukup menyenangkan, Jasmine." ucapnya pelan.