Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Sepanjang perjalanan menuju butik, kabin mobil hanya dipenuhi suara halus mesin dan deru AC yang sesekali berembus lembut ke kaca depan. Cahaya matahari sore menelusup lewat celah tirai jendela, melukis garis‐garis keemasan di dasbor, namun tak cukup hangat untuk mencairkan kecanggungan di antara mereka.
Viola duduk tenang—atau setenang yang ia bisa—dengan kedua tangan saling menggenggam di atas rumbai tas tangan. Pandangannya tertuju ke deretan ruko yang melintas, tapi pikirannya sibuk merangkai kata: mencari apa pun yang pantas diucapkan agar kesenyapan tak bertambah tebal.
“Ehm… Kamu belajar nyetir di mana, Ga?” Suaranya nyaris tenggelam oleh putaran mesin. Ia menoleh setengah hati, khawatir pertanyaannya terdengar terlalu dipaksakan.
Arga melirik sebentar, lalu bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. “Belajarnya? Kebanyakan di bengkel, sih.” Ia terkekeh pelan, nuansa geli menghangatkan ucapannya. “Kalau setiap hari ketemu mesin, pindah gigi sama parkir paralel rasanya kayak mainan.”
Viola ikut tersenyum, walau hanya sebatas sopan. “Oh… iya juga, ya.” Ia mengangguk—sekali, singkat—lalu kembali menatap jalan. Hening lagi.
Arga membelokkan setir, memasuki jalan yang lebih sempit dan rindang oleh pohon ketapang. Dari kaca spion, terlihat sekilas wajahnya yang seolah sedang menimbang sesuatu. Akhirnya ia bicara, nadanya lebih pelan, nyaris ramah. “Tapi jujur, pertama kali diajarin bos bengkel, aku mati mesin tiga kali, loh. Bayangin, semua montir ngetawain.”
Nada candanya memecah sedikit dinding di antara mereka. Viola terkikik, kali ini lebih lepas. “Serius? Keliatannya kamu tipe yang langsung mahir.”
Arga menepuk-nepuk setir ringan. “Keliatannya aja. Lama-lama belajar juga karena terpaksa—bengkel butuh orang dorong mobil keluar‐masuk, kan.”
Percakapan pun mengalir perlahan. Viola bertanya—masih dengan kehati-hatian yang berhias rasa ingin tahu—tentang apa saja yang biasa ia tangani di bengkel. Arga bercerita soal rem cakram macet, knalpot bocor, sampai pelanggan yang panik gara-gara lampu check engine menyala padahal hanya tutup tangki bensin kurang kencang. Setiap kisah disusul gelak halus, membuat udara di kabin kian hangat.
Mereka tiba di sebuah persimpangan dengan lampu merah. Mobil berhenti. Arga menoleh, memergoki Viola tengah menatapnya—kali ini tanpa pura-pura. “Kenapa?” tanyanya singkat.
Viola mengangkat bahu, tersenyum malu-malu. “Nggak apa-apa. Aku cuma… kaget aja ternyata obrolan soal bengkel bisa seru.”
Arga tertawa pendek. “Semua hal bisa seru kalau lawan bicaranya pas.” Tatapannya hanya sebentar sebelum kembali ke lampu lalu lintas, tapi cukup membuat pipi Viola menghangat.
Detik bergulir, lampu berganti hijau. Mobil melaju lagi, meninggalkan rasa canggung di persimpangan tadi. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka berangkat, keheningan tak lagi menakutkan; ia menjelma jeda nyaman di antara tawa kecil—sebuah sinyal samar bahwa perjalanan singkat ini mungkin saja awal dari sesuatu yang lebih panjang.
**
**
Mobil perlahan merapat di tepi trotoar, tepat di depan fasad butik dua lantai bergaya art‑deco. Ketika mesin dimatikan, Arga segera keluar, memutari kap, dan menarik pintu penumpang—gerak refleks yang kini terasa semakin alami.
“Silakan, nyonya,” godanya pelan sambil sedikit membungkuk, seolah‐olah ia seorang sopir kerajaan.
Viola tertawa kecil. “Terima kasih, Pak Sopir,” balasnya seraya menerima uluran tangan Arga untuk turun. Begitu stiletto‑nya mantap menyentuh paving, ia menepuk punggung tangan suaminya dengan lembut. “Kalau begini rasanya seperti putri yang diantar pangeran.”
“Pangeran montir, paling mentok,” seloroh Arga, membuat keduanya terbahak singkat.
Viola melirik jam di pergelangan tangannya. “Kamu yakin nggak tepat ke sekolah?"
“Masih sempat. Paling kena macet lima belas menit,” jawab Arga, mencondongkan tubuh agar suara mereka tak teredam bising jalan. “Aku akan ngebut."
Viola mengangkat alis, pura‑pura marah."Jangan ngebut, atau aku akan marah!"
"Tidak, aku hanya bercanda nyonya. Jangan khawatir." Arga terkekeh kecil. hatinya menghangat mendapatkan perhatian dari sang istri.
"Baiklah, cepat berangkat. Hati-hati di jalan."
Uap panas merambat di telinga Arga. Ia terkekeh gugup." Makasih banyak nyonya. aku akan ingat pesan anda."
“Dengan senang hati, Pak Direktur,” sahut Viola, masih menahan senyum. “Sudah, sana pergi!"
“Baik, Komandan.” Arga memberi salut main‑main, kemudian mencondongkan badan sembari berbisik, “Sampai jumpa, cantik.”
Viola mencubit pelan lengan kemejanya. “Hati‑hati nyetir, pangeran montir,” balasnya setengah menggoda.
Arga tersenyum sampai mata sipitnya hilang. “Siap!” Ia berbalik menuju mobil—namun baru beberapa langkah, ia menoleh lagi. “Eh, kalau butuh makan siang, chat saja. Aku titip bakmi langganan lewat ojek online.”
“Bakmi?” Viola pura‑pura berpikir keras. “Hmm, mau sih, tapi ekstra pangsit goreng, jangan lupa.”
“Ekstra pangsit, dicatat.” Arga menepuk kantong celananya seolah menaruh memo. “Oke, aku cabut!”
Viola melambaikan tangan hingga mobil kembali menyalakan mesin dan menyalip arus kendaraan. Begitu sedan hijau metalik itu hilang di tikungan, ia menarik napas panjang, lalu menoleh pada Risa yang sudah berdiri di ambang pintu butik, bersedekap sambil menahan senyum jahil.
“Duh, dunia milik berdua, sisanya ngontrak ya?” goda Risa.
Viola mendengus geli. “Hei, jangan iri. Ayo kerja, kereta proyek kita belum jalan, Bu Risa!”
“Siap, Bu Viola.” Risa terkikik, memberi hormat ala pramugari, lalu membuka lebar pintu kaca. Aroma kain baru dan debu halus dari deretan manekin menyambut mereka; dunia butik menunggu untuk diberi warna.
Di ujung jalan, Arga menggenggam kemudi lebih mantap dari biasanya. Senyum yang belum sempat reda membuat ia bersiul sepanjang laju. rasanya sudah tak sabar lagi ingin segera menyelesaikan sekolahnya, dan fokus pada pekerjaannya.
Dia janji akan membahagiakan Viola, bagaimanapun caranya.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran