Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petunjuk
Dengan segala kecerdikan dan kekayaannya, Zahra berhasil memikat hati murid-murid lain di kelas maupun lingkungan sekolah. Belum lagi kasus kematian Gracia yang membuatnya mau tidak mau terseret di dalamnya, seakan membuat pamor putri Sahar Muzakir itu kian melejit.
Hal itu tentu saja bikin hati Karmina dongkol bukan main. Alih-alih mencari perhatian Zahra, gadis berambut pendek itu menatap sinis sesekali. Begitu juga dengan Fransisca dan Evelyn, yang seketika menjadi kacung dari murid baru berlagak centil itu. Setelah kepergian Gracia ke alam baka, keduanya seperti hilang arah dan harga diri.
Ketika jam istirahat tiba, si centil Zahra berupaya lagi mendekati Ketos. Sebelum benar-benar berhasil menaklukkan lelaki berhati dingin itu, ia tak akan pernah puas dengan segala popularitasnya di sekolah baru.
"Sendirian aja, nih. Lo nggak butuh temen, gitu?" sapa Zahra tiba-tiba duduk di sebelah Dewa.
Dewa terkejut, sembari bergeser lebih jauh dari Zahra. "Ngapain lo kemari? Gue nggak butuh temen!" hardiknya.
"Alah, nggak usah jaim lo. Bilang aja lo pengen jauh dari orang-orang karena pengen dideketin sama gue," goda Zahra beringsut mendekati Dewa, lalu menggandeng tangannya.
Seketika, Dewa bergidik geli sambil berusaha melepas genggaman Zahra. "Bisa nggak, sih, lo jangan nyosor-nyosor segala? Lo tuh cewek, harusnya bisa jaga harga diri!" tegurnya.
"Ya ampun! Ternyata lo tuh pikirannya terbelakang, ya. Zaman sekarang, cewek kalau suka sama cowok tuh harus ada effort. Kalau gue cuma diem aja nungguin lo suka sama gue, yang ada lo keburu diambil cewek lain," dalih Zahra memandang Dewa, sambil berusaha meraih lengan lelaki itu.
Dewa mengibaskan lengan, merasa enggan dipegang oleh gadis di sebelahnya. "Lain kali kalau mau deketin gue, ngaca dulu sonoh! Apa lo udah lebih baik dan pantes buat gue? Dari kasus kemarin aja, harga diri lo udah jatuh di mata gue. Gue tau, lo pasti udah rencanain segalanya buat ngerusak nama baik Karmina lewat video fitnah itu."
"Idih! Kok lo suuzon sama gue, sih? Jelas-jelas itu kerjaan abang gue. Apa lo nggak lihat abang gue ditahan polisi kemarin?" bantah Zahra, berusaha melindungi diri.
"Alah, gue udah hafal betul sama intrik keluarga macem gitu. Abang lo sengaja numbalin diri biar lo bisa sekolah kayak biasa," ketus Dewa mendelik.
Zahra terbelalak. "Lo nggak percaya sama gue?!"
"Ngapain gue percaya sama tukang fitnah kayak lo?" Dewa mendelik tajam.
"Lo tuh aneh, ya. Masa lo nggak percaya sama keputusan polisi kalau abang gue pelakunya?" cerocos Zahra bersungut-sungut.
Dewa mengulas senyum sinis di bibirnya sembari berkata, "Kalau ini semua bukan intrik, harusnya lo nggak usah ngendap-endap pulang gitu aja waktu kejadian kematian Gracia. Lebih bagus lagi, lo ikutan jadi saksi hari itu juga ke kantor polisi, sekalian tunjukin video yang lo rekam."
Termenung Zahra mendengar perkataan Dewa. Tangannya mengepal, seakan tak terima dirinya dituduh habis-habisan oleh orang yang sangat ia puja. Dalam kemarahannya, seketika ia teringat pada ucapan Karmina saat pulang dari kantor polisi.
"J-Jadi ... lo yang bilang ke polisi kalau hari itu gue masih ada di sekolah?" Zahra melongo.
"Lo kira siapa? Malaikat Roqib sama Atid, gitu?" Dewa balik bertanya.
Gadis berambut panjang itu seketika terdiam sambil merenung.
"Udah, ya. Gue mau pergi dulu. Lain kali lo nggak usah berharap cerita romansa tentang murid baru dan ketos dingin jadi kenyataan. Novel tuh cuma fiksi, bukan true story," pungkas Dewa beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Zahra sendirian di kantin.
Zahra semakin geram, lelaki incarannya pergi begitu saja. Alih-alih sadar diri, gadis itu mencari Karmina untuk melampiaskan amarahnya.
Dengan tergesa-gesa, gadis dengan tahi lalat di bawah mata kirinya itu memasuki kelas. Karmina yang sedang tenang membaca buku kumcer dari perpustakaan, seketika terperanjat tatkala Zahra menggebrak meja.
"Astaga!" umpat Karmina menaruh bukunya sembari memutar bola mata.
"Lo pasti udah ngehasut Dewa yang bukan-bukan tentang gue, kan? Ngaku nggak lo?!" bentak Zahra bersungut-sungut.
"Lah? Kok lo jadi nyalahin gue? Emang si Dewa udah bilang apa aja sama lo?" Karmina mengerutkan dahi, memandang heran Zahra yang tiba-tiba datang sambil marah-marah.
"Dia bilang kalau gue udah bikin fitnah buat ngejatohin lo. Padahal jelas-jelas itu kerjaan kakak gue yang bikin geger media sosial. Buktinya lo lihat sendiri, kan, kakak gue jadi tahanan?" jelas Zahra bersungut-sungut.
Karmina menyunggingkan senyum di salah satu sudut bibirnya sembari menggeleng pelan. Ia beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Zahra. Tubuh Zagra yang tinggi semampai, membuat Karmina harus mendongak menatap tajam pada gadis itu.
"Lo tuh harusnya nyadar diri, bukan nyalahin orang lain. Mau sampai kapan lo lari dari tanggung jawab, ha? Lo beruntung, punya kakak sama ibu yang baik, bahkan kakak lo merelakan dirinya dihukum gara-gara kelakuan lo," tutur Karmina menunjuk-nunjuk dada Zahra.
Zahra menepis tangan Karmina seraya berkata, "Lo pikir, lo bisa seenaknya nuduh gue yang bukan-bukan? Gue tanggung jawab kok. Kalau gue lari dari tanggung jawab, gue nggak bakal mau dateng ke kantor polisi kemarin."
"Oya?" Karmina tersenyum sinis sembari melipat kedua tangan. "Terus, kenapa lo nggak berani ngakuin semua perbuatan lo di depan polisi, ha? Harusnya lo berani ngomong, bukan diem aja!"
"Maksud lo apa bilang gitu? Gue juga bilang yang sebenernya sama polisi. Jangan sok tau lo!" bantah Zahra berang.
Karmina mendelik tajam dengan senyum mengejek. "Semua yang lo omongin itu cuma dusta, Zahra. Gue tahu semuanya. Gue tahu kalau lo udah bikin video nggak senonoh buat ngancam Gracia sampai dia mengakhiri hidupnya. Gue tahu, lo sengaja ngedit video terakhir gue sama Gracia buat memfitnah gue karena lo nggak suka kalau gue deketin Dewa. Gue tahu semuanya!"
Zahra tersenyum sinis. "Begitukah? Terus, kenapa lo nggak berani bilang semua yang lo tahu sama polisi sebelum gue datang?" sanggahnya menantang.
Seketika Karmina terdiam. Dikepalkannya kedua tangan, seperti menggenggam kekesalan yang terpaksa ditahan oleh kenyataan. "Karena gue nggak punya bukti," lirihnya tertunduk lesu.
Zahra terbahak-bahak begitu lepas. "Makanya, lo jangan sok-sokan nuduh gue kalau nggak punya bukti! Kalau saja kemarin lo bilang semua dugaan jelek lo tentang gue, lo bisa gue jerat pakai hukuman pencemaran nama baik sekalian. Dengan begitu, gue nggak perlu repot-repot nyingkirin lo."
Dengan raut kesal, Karmina menatap nyalang. "Jaga ucapan lo, Zahra! Apa dengan kurangnya bukti, bisa bikin gue dihukum gitu aja?" geram Karmina menunjuk wajah Zahra.
Zahra mendelik dan berkata, "Karmina ... Karmina. Tentu aja bisa."
Karmina mendesah kasar.
"Ingat, ya! Kelas sosial kita tuh beda. Kalau lo masuk penjara, nggak bakalan ada seorang pun yang sanggup nolongin lo. Sedangkan kalau gue dipenjara, gue tetep bisa lolos dari hukuman karena punya nyokap kaya raya. Hukum tuh cuma permainan buat orang-orang berkelas kayak gue. Jadi, nggak ada yang perlu ditakuti," tutur Zahra sambil sesekali mengibaskan rambut panjangnya yang terurai.
Melihat gaya angkuh Zahra, membuat Karmina jengkel dan mendengkus sebal.
"Oh! Asal lo tau aja, ya. Kakak gue nggak bakalan lama tinggal di penjara. Bentar lagi juga keluar, entah besok atau lusa. Yang jelas, nyokap gue udah persiapin duit sama pengacara buat nebus dia biar bisa bebas," terang Zahra.
Mendengar penuturan gadis itu, Karmina seketika tercengang. "Apa?! T-Tapi Pak Polisi bilang kalau kakak lo bentar lagi diproses ke pengadilan."
Zahra tertawa geli mendengar perkataan Karmina. "Itu nggak bakal terjadi."
Tertegun Karmina sambil duduk kembali ke kursinya. Gadis itu sulit memercayai, bahwa Anwar dapat bebas tanpa perlu melewati proses persidangan. Sungguh, ini hal yang sangat menggelikan. Terus, ngapain dong kemarin polisi ngelakuin penyelidikan segala kalau ujung-ujungnya kakaknya Zahra bisa bebas gitu aja, gertak batinnya.
***
Yuniza menggeledah semua berkas dan dokumen di ruang kerja suaminya. Wanita itu masih ingat betul, ciri-ciri berkas yang disebutkan oleh Karmina.
Dibukanya semua meja dan lemari, hingga akhirnya menemukan map biru muda di sebuah laci. Selanjutnya, ia menyisir sudut lain dari ruangan khusus itu. Sebuah flashdisk putih dengan kombinasi kuning di bagian ujung benda itu, membuat Yuniza yakin, bahwa itu barang yang dicarinya.
Sebelum diserahkan pada Farhan, Yuniza membaca dulu isi berkas di dalam map itu. Tampak sebuah rincian panjang mengenai sejumlah uang yang hilang dari perusahaan sejak bulan lalu. Mungkin memang benar, telah terjadi penggelapan uang perusahaan oleh sang atasan.
Setelah mengecek rincian dokumen di map biru, Yuniza membuka beberapa file dari flashdisk menggunakan laptop mendiang suaminya. Tampak beberapa video dan riwayat tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh seorang pria bernama Roni Hutagalung. Kebanyakan di antaranya singgah di hotel dan klub malam.
Merasa semua pengecekannya sudah cukup, Yuniza bergegas kembali ke kantor kepolisian. Ditemuinya Farhan yang sedang meneguk secangkir kopi di kantor polisi, kemudian menyerahkan semua petunjuk baru.
"Silakan dicek. Barangkali Anda bisa menjerat satu orang lagi," ujar Yuniza tanpa ekspresi, dan suara yang terdengar datar.
"Baiklah, akan kami cek sekarang juga," kata Farhan menerima berkas-berkas penting itu.