Alexa tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam. Tanpa pilihan, ia harus menikah dengan Angkasa-pria yang nyaris asing baginya. Bukan karena permintaan keluarga, bukan pula karena cinta, tetapi karena sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan.
Alexa terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia inginkan, tapi semakin ia mencoba memahami pria itu, semakin banyak hal yang tak masuk akal dalam pernikahan mereka.
Di balik sorot mata tajam Angkasa, ada sesuatu yang tersembunyi. Sebuah kebenaran yang perlahan mulai terungkap. Saat Alexa mulai menerima takdirnya, ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan sekadar ikatan biasa-ada janji yang harus ditepati, ada masa lalu yang belum selesai.
Namun, ketika semuanya mulai masuk akal, datanglah pilihan: bertahan dalam pernikahan yang penuh teka-teki atau melepaskan segalanya dan menghadapi konsekuensinya.
Di bawah langit yang sama, akankah hati mereka menemukan jalan untuk saling memahami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vin97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 - Langkah Tanpa Arah
Malam itu, di ruang kerja Pak Bima, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Lampu meja menerangi setumpuk dokumen yang tertata rapi di hadapannya.
Pintu terbuka perlahan, dan Angkasa melangkah masuk dengan langkah mantap. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang sudah tergulung hingga siku, wajahnya tetap tenang seperti biasa.
"ada apa pa?" tanyanya sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya.
"Beberapa hari lalu, di malam pertemuan, Papa sudah membahas banyak hal dengannya. Tapi sejauh ini, belum ada kabar darimu. Kau belum menghubunginya, bukan?"
Angkasa menarik napas perlahan, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Aku memang belum membahasnya dengannya, Pa," jawabnya jujur. "Ada beberapa hal yang masih ingin kupastikan sebelum kita benar-benar melangkah ke tahap berikutnya."
Pak Bima mengangkat alisnya, ekspresinya sedikit berubah.
"Apa yang masih perlu kau pastikan? Proyek ini besar, Angkasa. Kita tidak bisa menunggu terlalu lama. Pak Robert butuh kepastian."
Angkasa mengetukkan jarinya ke lengan kursi, seolah sedang menimbang kata-katanya.
"Aku tahu, Pa. Tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku ingin memastikan bahwa kerja sama ini benar-benar menguntungkan kita. Ada beberapa klausul dalam perjanjian yang masih perlu ditinjau ulang, terutama soal pembagian keuntungan dan pengelolaan properti setelah mal itu selesai dibangun."
Pak Bima menghela napas, lalu bersandar di kursinya.
"Kau selalu terlalu berhati-hati," gumamnya, lalu menatap putranya lebih dalam. "Tapi aku paham. Hanya saja, jangan sampai sikap hati-hatimu ini membuat Pak Robert berpikir bahwa kita tidak serius. Jika dia merasa kita ragu, dia bisa saja mencari mitra lain."
Angkasa menatap ayahnya dengan sorot mata penuh keyakinan.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," katanya tegas. "Besok aku akan mengatur pertemuan dengan Pak Robert. Aku ingin kita mendapatkan kesepakatan terbaik tanpa harus terburu-buru dan akhirnya merugikan perusahaan."
Pak Bima memperhatikan ekspresi putranya, lalu akhirnya tersenyum tipis.
"Baiklah. Aku percaya padamu," katanya. "Tapi pastikan ini tidak berlarut-larut. Kita tidak ingin kehilangan kesempatan besar ini."
Angkasa mengangguk mantap.
"Aku mengerti, Pa. Aku akan menyelesaikannya."
Pak Bima tersenyum puas. "Bagus."
"soal proyek pembangunan apartemen grand fall.."
"soal itu biarkan Alam yang mengurusnya."
"papa sudah membahas hal ini pada Alam, lepaskan proyek grand fall, dan fokus saja kerja sama dengan pak Robert" sambung pak bima seolah mengetahui arah pertanyaan Angkasa.
Suasana kembali hening sejenak, hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak di dinding. Angkasa kemudian bangkit dari duduknya, menyelipkan tangannya ke dalam saku celana.
"Kalau begitu, aku kembali ke kamar dulu."
Pak Bima mengangguk. "Istirahatlah. Dan jangan lupa, buat Pak Robert terkesan saat kau bertemu dengannya."
Angkasa tersenyum tipis, lalu melangkah keluar, meninggalkan ruangan dengan langkah yang tetap tenang namun penuh keyakinan.
--
Angkasa terbangun, Ia berbalik dan melihat Alexa tak lagi berada disampingnya, ia bangkit dan meninggalkan kamarnya.
"Bi Ita.. Alexa mana ?" tanya Angkasa ketika ia menjumpai Bi Ita dilantai bawah.
"ohh.. Nona Alexa sedang keluar sama bi Atum Tuan." jawab
"keluar ? sepagi ini ? kemana ?" tanya Angkasa.
"kemana lagi kalau bukan belanja kebutuhan dapur" ucap clarisa yang muncul ditengah Angkasa.
Bi Ita yang melihat keadaan itu, pati kebelakang untuk memulai pekerjaannya.
"mama yang suruh Alexa kerja hal rumah ?" tanya Angkasa.
"ya itukan tugas dia, sebagai istri itu harus bisa segala hal" jawab clarisa.
"aku menikahinya dan membawa dia pulang itu sebagai istri ma, bukan pembantu" ucap Angkasa.
"memangnya sebagai istri tidak boleh masuk dapur ?" tanya Clarisa.
keributan kecil dipagi itu membuat pak bima yang sudah rapi itu berhenti melangkahkan kakinya.
"ada apa ini ? kenapa pagi-pagi sudah bertengkar ?" tanya Bima.
Clarisa menghela nafas kemudian menjawab pertanyaan suaminya.
"ini loh pah, Masa Angkasa melarang istrinya untuk masuk dapur, bagaimanapun kan dia istri, dia harus bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah. itu bukan pekerjaan yang sulit untuknya." ucap clarisa.
"bukan itu kan alasan utama mama ? mama hanya buat dia tidak nyaman disini. iyakan ?" tanya angkasa, ia sadar bahwa perlakuan ibunya adalah membuat alexa tak nyaman.
"Angkasa ! jangan menuduh mamamu seperti itu" ucap pak bima menenagi pertikaian anak dan ibu itu.
"apa yang ibumu lakukan itu sudah benar. istrimu juga tidak bekerjakan, biarkan dia juga bekerja hal-hal yang bisa ia lakukan." ucap pak bima.
Angkasa tak bergeming, ia hanya menghela nafas dan kemudian naik kelantai 2 dan masuk kedalam kamarnya.
--
Saat melewati rak makanan, langkah Alexa terhenti. Matanya menangkap sekotak tempe yang sudah lama tak ia nikmati. Saat tangannya hendak meraih tempe itu, sebuah tangan lain juga mengulurkan diri ke arah yang sama.
Alexa menoleh, dan mendapati pria itu.
Alam.
"Kamu?" suara mereka bersamaan, saling terkejut.
Alam tampak lebih terkejut ketika ia menyadari siapa yang berdiri di hadapannya.
"Tuan Alam?" suara Bi Atum menyela, membuat keduanya mengalihkan pandangan. Alam semakin terkejut saat melihat Alexa bersama Bi Atum, pelayan keluarga Dewantara.
"Bi Atum?" tanyanya, bingung.
"Kalian datang bersama?" lanjutnya, ingin memastikan.
Bi Atum mengangguk, sementara Alam masih tampak bertanya-tanya bagaimana mungkin mereka bisa saling mengenal.
"Bagaimana bisa kalian mengenal?" tanyanya penasaran.
Bi Atum hendak menjawab, namun Alexa buru-buru menyela. "Ah... iya, Bi Atum keluargaku," ucapnya cepat, berbohong tanpa berpikir panjang.
Alam tampak sedikit ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Oh... begitu."
Ia menatap Alexa sejenak sebelum tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Kita sudah beberapa kali bertemu, tapi aku belum tahu namamu. Aku Alam."
Alexa ragu sejenak, lalu membalas uluran tangannya dan tersenyum kecil. "Alexa."
Sejenak, mata mereka saling bertaut, seperti mencoba mencari jawaban yang tak terucapkan. Ada sesuatu dalam tatapan Alam yang sulit dijelaskan—sesuatu yang membuat Alexa ingin tahu lebih banyak.
"bagaimana lukamu ? sudah sembuh ?" tanyanya ketika ingat Alam terakhir sedang terluka.
ia memperhatikan lengannya sendiri."ahya.. sudah membaik. atas bantuanmu"
Alexa tampak bingung, ia kembali menanyakan maksud Alam. "aku ?"
Bi Atum yang menyadari percakapan panjang tu segera berbicara. "Maaf, Tuan muda. Kami harus bergegas kembali ke rumah."
"Oh iya, tentu." Alam mengangguk pelan, kembali ke kesadarannya.
Alexa pun mengangguk sebagai tanda perpisahan. "Sampai jumpa, Alam."
Alam tersenyum kecil, matanya masih menatap Alexa saat gadis itu perlahan berjalan menjauh bersama Bi Atum. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Alexa yang menghilang di antara rak-rak supermarket.
Dalam perjalanan pulang, Bi Atum menoleh ke arah Alexa dengan ekspresi penasaran. Ia tak bisa menahan diri untuk bertanya tentang alasan Alexa memperkenalkan dirinya sebagai keluarga Bi Atum kepada Alam.
"Kenapa Nona tidak berbicara jujur? Nona kan istri Tuan Muda. Bagaimana mungkin menjadi keluarga saya?" tanya Bi Atum dengan suara penuh keheranan.
Alexa menarik napas pelan, lalu menoleh ke arah Bi Atum. "Ah... soal pernikahan kami, kami sudah sepakat untuk tetap merahasiakan hal ini, Bi."
"Apa?" Bi Atum terkejut, matanya membesar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Alexa mengangguk mantap. "Seperti itulah, Bi. Jadi, jika ada yang bertanya siapa aku, bilang saja aku keluargamu, ya?" pintanya dengan nada lembut, namun tetap tegas.
Bi Atum menghela napas, meskipun terdengar aneh, ia memilih untuk tidak banyak bertanya. "Baiklah," jawabnya akhirnya.
Hening sesaat sebelum Alexa kembali membuka suara, matanya melirik ke arah Bi Atum dengan rasa penasaran. "Bagaimana bisa Bibi kenal dengan Alam?" tanyanya.
Bi Atum tersenyum tipis, mengenang masa lalu. "Ah... dia dulu senior Nona Elisa. Dia sering datang ke rumah untuk mengajari Nona Elisa. Karena sudah cukup dekat dengan keluarga, Tuan Bima akhirnya memintanya untuk bekerja di perusahaan hingga sekarang."
Alexa mengangguk pelan, mencerna informasi itu. Ia semakin menyadari bahwa Alam memiliki hubungan yang cukup erat dengan keluarga Dewantara, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa rahasia pernikahannya harus tetap terjaga.
Sesampainya di rumah, Alexa dan Bi Atum disambut oleh sosok Angkasa yang sudah menunggu di ruang utama. Tatapannya tajam dan penuh ketidakpuasan.
"Bukankah sudah kubilang kau tetap di rumah? Kenapa harus pergi?" tanyanya dengan suara dingin dan tegas.
Nada suaranya yang tinggi membuat Bi Atum sedikit gelisah, merasa serba salah berada di tengah-tengah ketegangan ini. Alexa menyadari hal itu dan segera maju untuk membela Bi Atum.
"Sudah kubilang, aku tidak bisa hanya berdiam diri di rumah. Pergi belanja juga bukan hal yang buruk," balas Alexa dengan nada tenang, tetapi cukup tegas.
Angkasa menatapnya dalam-dalam, seolah menilai sikapnya. "Kau mau bekerja kan" tanyanya tiba-tiba.
Alexa terdiam, tidak menyangka dengan pertanyaan itu. Mata mereka bertemu, seolah mencari jawaban dalam diam.
Tanpa menunggu lebih lama, Angkasa akhirnya bersuara lagi. "Baiklah. Mulai besok kau bekerja di perusahaan Dewantara Group."
To Be continued..