Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Panggilan Tak Terjawab dan Kekacauan di Rumah
Di ruang meeting-nya, Sergio duduk gelisah, ponselnya tergeletak di meja. Sejak pertemuannya dengan Karin, pikirannya benar-benar kacau. Ia terus-terusan menelepon Shannara, mengirim pesan, tetapi semuanya diabaikan.
Rasa frustrasi itu mencekiknya. Pernikahan sialan ini terasa seperti rantai baja yang mengikatnya. Ia tak bisa bergerak bebas, bahkan untuk sekadar memastikan keadaan wanita yang ia sayangi. Akhirnya, ia menyerah pada egonya.
"Davin," panggil Sergio, suaranya pelan tapi tegas. "Coba kamu hubungi Shannara sekarang. Pakai nomor pribadimu. Bilang kamu teman lama. Dia harus mengangkat teleponnya."
Di saat yang sama, Shannara baru saja tiba di rumahnya. Rumah yang terasa dingin dan bisu, tak seperti rumah Lisa yang penuh kehangatan.
Di saat yang sama, Shannara baru saja tiba di rumahnya. Ia melihat Ibunya di sofa, terpaku pada berita infotainment yang menayangkan kemesraan palsu Sergio dan Karina.
"Oh, kamu sudah pulang?" sapa Ibunya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Nada suaranya dingin, menusuk. "Lihat. Dulu kamu pacaran sama Sergio, akhirnya tetap ditinggal juga. Dia milih yang selevel."
Ibunya mendengus. "Seharusnya kamu tahu diri, Nara. Nggak usah punya angan-angan punya masa depan kalau pacaran sama konglomerat. Ujungnya, ya kamu cuma dijadikan gundik saja."
Rasa sakit yang menusuk itu membuat Shannara terdiam. Ia menahan napas, berusaha keras untuk tidak membalas. "Aku masuk kamar dulu, Bu," ujarnya singkat, langsung berlari masuk.
Belum sempat ia menarik napas lega, ketukan pintu yang panik diikuti teriakan Ibunya memecah keheningan. Shannara langsung lari keluar. Ibunya sudah ambruk. Dua temannya Aldi, adiknya, berdiri tegang di ambang pintu.
"Ada apa ini? Kenapa Ibu?" Shannara panik, berteriak. "Kenapa Ibu pingsan?!"
Teman-teman adiknya saling pandang. Salah satunya tergagap, "Aldi, Kak Nara ... Aldi ditangkap polisi."
Shannara memejamkan mata. Lagi. "Tolong aku, bantu angkat Ibu ke sofa!" pintanya putus asa.
Setelah Ibunya terbaring, ia kembali mendesak. "Kasus apa lagi? Kasus kekerasan? Jawab aku!"
Kedua teman itu tidak menjawab. Mereka hanya memberi tahu polsek mana yang menahan Aldi, lalu buru-buru pamit pergi, seolah ingin melarikan diri dari masalah itu.
Shannara berusaha membangunkan Ibunya dengan minyak kayu putih. Ibunya membuka mata, tapi hanya menangis histeris. "Dadaku sakit, Nara! Sakit sekali!" rintih Ibunya sambil memukul dadanya.
"Jangan dipukul, Bu! Ayo kita ke rumah sakit, Bu! Ya? Kita ke rumah sakit." Shannara memohon. Ibunya hanya menangis, tidak menjawab.
Shannara panik. Bagaimana dia bisa membawa Ibunya ke rumah sakit dalam kondisi begini? Meminta tolong tetangga adalah pilihan terakhir yang mustahil. Hubungan Ibunya dengan tetangga sangat buruk. Isu-isu miring tentang Ibunya sebagai mantan pekerja malam dan dirinya sebagai anak di luar nikah, ditambah tingkah Aldi yang selalu terjerat hukum, membuat tetangga selalu bersikap tidak mau tahu.
Ayah tirinya pria yang hingga kini masih Shannara panggil 'Om' tidak bisa diandalkan. Ia mencoba menelepon suaminya itu, tetapi tidak ada respon. Pekerjaan suami ibunya hanyalah memancing ikan, dan sisanya hanya bermain judi kartu, sama seperti Aldi. Keduanya hanya beban keluarga.
Tepat saat keputusasaan mencekiknya, sebuah telepon masuk. Itu adalah nomor asing, tapi Shannara mengangkatnya tanpa pikir panjang.
> "Hallo"
> "Nona Shannara? Ini saya Davin," terdengar suara di ujung telepon.
> "Davin? Syukurlah!" Shannara tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Dalam keadaan terdesak, ia membuang semua rasa gengsi dan tidak enak hati. "Davin, tolong! Aku mohon! Ibuku pingsan, dia kesakitan. Aku nggak tahu gimana bawa dia ke rumah sakit. Bisakah kamu ... tolong bantu kami?"
Di ujung telepon, sebenarnya yang menjawab adalah Sergio. Ia mengambil alih telepon Davin tepat saat panggilan tersambung.
Mendengar suara Shannara yang panik, hati Sergio mencelos. "Shannara? Ini aku, Sergio. Tunggu, jangan panik. Aku akan segera ke sana."
"Nggak!" tolak Shannara dengan nada yang sangat lantang. "Tolong jangan kamu! Tolong yang datang Davin saja! Kalau kamu yang datang, akan terlalu mencolok, Sergio. Itu cuma akan jadi biang gosip bagi banyak orang!"
Sergio mengerti, meski hatinya kesal karena tidak bisa langsung datang. Ia memaksakan dirinya untuk mengangguk dalam diam. "Baik. Davin akan segera ke sana. Kamu tenang ya, Nara. Jangan gerakkan Ibumu. Davin akan cepat sampai."
Sergio mengakhiri panggilan. Ia menoleh ke Davin, wajahnya tegang. "Davin, sekarang! Cepat ke alamat Shannara. Urus ibunya, bawa ke rumah sakit. Pastikan semuanya beres. Keep me updated!" Davin mengangguk dan bergegas pergi, meninggalkan Sergio yang hanya bisa mondar-mandir dalam kegelisahan yang menyiksa.
