Verga Marchetti menyetujui pilihan ayahnya untuk menikahi putri salah satu relasi mereka. Belinda Antolini yang cantik, pendiam dan penurut. Namun di malam pernikahan, Verga menyadari istri barunya tidaklah sediam yang ia kira. Gadis itu penuh rasa ingin tahu, punya gairah yang besar, juga menikmati aktifitas pengantin baru sepenuh hati.
Kegembiraan dan kebahagiaan Verga tidak bertahan lama, karena keesokan hari ketika ia membuka mata, istrinya sudah pergi. Meninggalkan dirinya, juga pernikahan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DIANAZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Verga Calling part 2
Enrico dengan cepat menekan layar ponsel untuk menerima panggilan Verga.
"Halo, pengantin baru," sapa Enrico dengan nada menggoda.
"Halo, Tuan Costra."
"Ah, formal sekali. Apa kabar istri cantikmu, Tuan Verga?"
"... bukan urusanmu, Tuan Costra. Ah ... apa kabar Vivianne? Kurasa dia pasti semakin cantik sejak sudah menjadi ibu?"
Verga tersenyum menang ketika mendengar suara geraman Enrico di ponselnya.
"Bukan urusanmu istriku mau bertambah cantik atau tidak, Verga Marchetti!" ucap Enrico kesal.
"Sayang sekali kalian tidak bisa datang saat hari pernikahanku, padahal aku rindu melihat Vivi," ucap Verga dengan sengaja.
"Rindu katamu? Hakh! Kau tidak dengar ya ucapanku tadi? Jangan tanya-tanya tentang Vivi! Dia bukan urusanmu!" ucap Enrico bertambah jengkel.
"Apa? Kau bilang apa? Kenapa berisik sekali di sana? Bisakah kau keluar dari ruang pesta itu sejenak? Ada yang ingin aku tanyakan."
Verga dengan sengaja berpura-pura tidak mendengar ucapan Enrico.
"Ck! Sebentar. Aku keluar dulu. Memangnya apa yang mau kau tanyakan? Awas saja kalau tentang Vivi!"
Mau tidak mau bibir Verga bergerak menyunggingkan sebuah senyum ketika mendengar rutukan dari Enrico.
Enrico berjalan melewati beberapa orang, mencari pintu keluar terdekat dari tempat tersebut. Ia tiba di sebuah pintu ganda yang terbuka lebar.
"Di sini tidak terlalu banyak orang. Tidak berisik seperti tadi. Ada apa?"
Hening. Verga mengambil napas. Ia sangat terpaksa bertanya tentang Black pada Enrico. Ia tahu apa yang akan pria itu katakan selanjutnya. Enrico Costra tidak akan melepaskan Verga begitu saja. Ia seolah memberi pria itu amunisi untuk mengolok-olok dirinya. Dulu rencana pertunangannya dengan Vivianne gagal, ditikung oleh pemilik perkebunan anggur yang rupanya sedang berburu istri. Vivianne dan Enrico menikah, tapi Verga tidak menyesal, ia tahu Vivi tidak mencintainya. Wanita itu hanya mencintai Enrico. Sekarang, ia menikah dengan Belinda. Cantik, pendiam, penurut, berasal dari keluarga terpandang. Namun, baru sehari, gadis itu melarikan diri.
Verga menyiapkan hati, menyiapkan telinga, juga otaknya agar menerima apapun yang akan dikatakan oleh pemilik Costra Land tersebut. Meskipun semuanya pasti akan terasa sangat memalukan.
"Hei, kau mau bicara atau tidak?" tanya Enrico. Sedikit kebingungan dengan diamnya Verga.
"Aku ... mau bertanya ...."
Hening lagi. Enrico menunggu sekian detik, tapi Verga tidak melanjutkan.
"Tentang apa? Tanya saja! Kenapa kau ragu-ragu?" Enrico mulai terdengar tidak sabar.
"Tentang seseorang."
"Siapa?"
Dengan satu helaan napas yang agak panjang, Verga menyebutkan nama yang seperti tersangkut di kerongkongannya.
"Black," ucap Verga dengan nada datar. Ia menahan napas dan menunggu. Beberapa detik berlalu, kemudian mulai terdengar tawa geli yang makin lama semakin kencang.
"Jadi kau sudah tahu?" ucap Enrico di sela tawanya.
Verga mengernyit, memindahkan ponsel dari telinga kanan ke telinga kiri.
"Tahu ...." Verga berhenti, ia ingin bertanya tahu tentang apa, namun berhati-hati mengucapkan apapun. Ia memutuskan menunggu Enrico yang melanjutkan.
Enrico tertawa semakin keras. "Ini memang bukan rahasia. Black memang Benjamin. Ia mendengar percakapan antara kau, ayahmu dan Juan saat itu di hari pernikahanku. Ia tidak sengaja mendengar tentu saja. Dia berdiri tak jauh dari meja kalian. Kebetulan dia sedang mencari calon suami untuk adiknya. Jadi, ketika kau setuju ayahmu mencarikan pengantin, ia menyimpan informasi itu sampai beberapa bulan kemudian ia meminta padaku untuk diperkenalkan pada Tuan Verone. Tapi, semuanya lancar bukan? Tuan Verone mendapatkan menantu, kau mendapatkan istri, dan Benjamin berhasil menikahkan adiknya."
Enrico berceloteh, tanpa tahu bahwa wajah lawan bicaranya sudah berubah di seberang sana. Verga berusaha mencerna dengan cepat, berusaha menggabungkan setiap informasi dan juga moment sejak ia mengenal keluarga Antolini. Jantungnya berdetak cepat, rasa lesu karena mengira akan mendengar olok-olok dari Enrico berganti kejutan yang membuat tubuhnya waspada.
"Mak-" Verga berdeham, suaranya sendiri terdengar sangat aneh. Ia terkejut setengah mati, ia bersyukur Enrico tidak bisa melihat wajahnya saat ini.
"Maksudmu ... Black memang sudah merencanakan ini sejak awal?" tanya Verga.
"Hmmm, kurasa iya. Saat ia memintaku mengenalkannya pada ayahmu, dia bilang tidak sengaja mendengar kalau Tuan Verone mencari seorang menantu. Dia punya adik yang dalam usia akan menikah."
"Dia mendengarnya tidak sengaja? Di hari pernikahanmu?"
"Iya. Sepertinya kau tidak tahu, Benjamin punya perusahaan yang ia bangun sendiri. Bergerak di bidang jasa pengamanan. Aku sering memakai orangnya untuk kebutuhanku. Kau ingat saat Vivi hilang dulu? Black menemukannya dalam hitungan jam! Ia hanya turun langsung untuk orang-orang tertentu. Tentu saja saat bekerja ia tidak menggunakan nama Antolini. Dia hanya 'Black'."
Verga menggenggam erat ponselnya sambil memposisikan dirinya duduk ke atas sofa. Sebelah tangannya meremas bahan bludru sofa tersebut, melampiaskan rasa geram yang menguasai hatinya.
"Kenapa kau diam saja, Verga? Hei, beritahu aku, kau tahu darimana tentang Black?"
Kau baru saja memberitahuku! Verga hanya menjawab dalam hati. Ia sengaja tidak menjawab pertanyaan Enrico. Sambil menahan geretakan gerahamnya, ia menjauhkan ponsel dari telinga agar suara Enrico tidak terdengar. Memberi otaknya ketenangan sejenak untuk berpikir.
"Enrico, Benjamin datang ke sana?" tanya Verga kemudian.
"Ada. Aku barusan bicara dengannya, juga ayahmu."
"Baiklah. Terimakasih. Hanya itu yang mau aku tanyakan."
"Kau meneleponku cuma mau memastikan tentang ini? Hahhh ... tidak mau titip salam untuk kakak iparmu itu?" goda Enrico.
"Tidak. Aku akan sampaikan sendiri. Jangan katakan apapun padanya!"
"Kalau begitu untuk ayah mertuamu? Dia dan istrinya juga datang."
Verga tidak menanggapi, ia dengan sengaja mengalihkan percakapan pada Vivianne. "Titipkan salamku untuk Vivianne, Enrico. Katakan padanya a-"
Sambungan itu berakhir, nada terputus terdengar dari ponsel, sesuai perkiraan Verga, Enrico pasti mematikan telepon bila ia kembali menyinggung Vivianne.
"Dasar pria pencemburu! Istrimu sudah seperti adik bagiku, Bodoh!" umpat Verga pada ponselnya.
"Tu-tuan?" Juan yang duduk di salah satu sofa menatap tuannya dengan mata penasaran. Sejak tadi ia menahan diri untuk bicara, menunggu Verga selesai.
Verga menoleh, mata birunya berkilat, sebuah senyum miring menyeruak di bibirnya.
"Aku bersyukur tidak perlu membuat diriku sendiri malu dengan memohon pada Enrico untuk mengetahui siapa Black. Kau tahu siapa Black, Juan?"
Juan menggelengkan kepalanya. "Siapa, Tuan?'
"Benjamin Antolini!"
Mata Juan terbelalak, kemudian keningnya berkerut seperti berpikir. "Setelah dipikirkan dan dicocokkan dengan bayangan Black saat saya melihatnya di Costra Land dulu, sosok tubuhnya pas. Tentu saja Black yang saat itu tidak akan mengenakan setelan jas formal seperti Tuan Benjamin. Sayangnya, wajah Black terhalang bayang-bayang, saya tidak melihat jelas."
"Apa rencana sebenarnya dari Benjamin ... Sejak awal, dia menemui ayah memang berniat menjadikan aku target sebagai suami adiknya."
"Padahal saat itu ia beralasan meminta Tuan Verone mengerjakan proyek sebuah galeri seni,"
"Itu hanyalah alasan. Perantara. Maksud sebenarnya adalah mendekati Keluarga Marchetti ...."
Juan menganggukkan kepala. "Apa ... yang akan kita lakukan selanjutnya, Tuan?"
Verga menyipit menatap Juan. "Tentu saja menemui Benjamin, Juan. Aku ingin tahu ... apakah ia tahu perihal adiknya yang melarikan diri. Jika iya, maka ia bermaksud mempermalukan keluarga Marchetti sejak awal! Aku akan memastikan dia menyesal karena melakukannya!" Verga mengucapkannya dengan nada marah, namun di dalam hatinya sendiri entah kenapa ia ragu kalau Benjamin bermaksud demikian.
Juan mengangguk pelan.
"Dan ... kalau dia tidak tahu, maka sebagai Black, tentu tidak sulit baginya untuk memburu gadis nakal yang sudah dia sodorkan padaku itu!"
NEXT >>>>>
********
From Author,
Jangan lupa dukung author dengan tekan like, love, bintang lima , komentar dan vote hadiah poin atau koinnya ya. Sebelumnya author mengucapkan terima kasih banyak.
Salam. DIANAZ.
suka sekali gaya tulisan kak Di, enak dibaca, detail seolah kita melihat bukan membayangkan ❤️❤️❤️❤️❤️
terima kasih ya kak , ditunggu karya2 selanjutnya 😍😍😍😍