Rabella membenci Alvaro, adik angkatnya!
Semua orang tau itu, tapi apa jadinya kalau Rabella malah jadi istri kedua Alvaro karena kecerobohannya sendiri? Setelahnya, Rabella harus menanggung nasib paling buruk yang tak pernah dia impikan!
Apa yang terjadi sebenarnya?
Yuk simak cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alnayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelakuan Alvaro
Rabella menggeram kesal, bukan karena cemburu karena Alvaro terus melanjutkan cumbuannya dengan Mika, si istri pertama.
Tapi, dia kesal karena harus menonton hal menjijikkan seperti ini. Apalagi diejek oleh Mika, adik dari laki-laki yang dicintainya.
Mika menatapnya seolah dirinya ini adalah wanita murahan yang mendambakan Alvaro.
Padahal yang sebenarnya adalah sebaliknya, Rabella saja enggan berada di atap yang sama dengan Alvaro.
Segera, memalingkan wajahnya. Rabella beranjak dari sana, cepat-cepat pergi karena malas menonton hal menjijikkan yang tak pantas dipertontonkan seperti ini.
Sepeninggal Rabella, pasangan suami istri muda itu akhirnya menjauhkan diri sejenak.
Nafas keduanya saling bersahutan, seolah berebut oksigen sebanyak-banyaknya.
Mata Alvaro menajam, menatap wanita cantik yang ada di depannya. Tak lain adalah Mika, istri pertamanya.
Mika tersenyum senang, masih dengan nafas yang tersengal akibat aktivitas mereka beberapa waktu tadi.
Selain karena dia senang bisa mengejek Rabella, Mika juga senang karena Alvaro kembali bersikap romantis padanya.
Padahal beberapa waktu lalu, Mika ketakutan karena Alvaro mengabaikannya.
Namun, pria itu akhirnya luluh setelah dirayu beberapa saat. Masih mengalungkan kedua lengannya ke leher Alvaro, Mika mendekatkan wajahnya ke leher sang suami.
"Masih mau lanjut di sini?" bisiknya dengan suara yang dibuat sen\*sual.
Alvaro terkekeh, mendapatkan bisikan yang menggelikan di daun telinganya.
"Tentu saja, tapi kita tidak bisa melanjutkannya di sini, Sayang." Segera, setelah berkata demikian, Alvaro langsung menarik Mika merapat ke tubuhnya, lantas menggendong tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.
Mereka berdua tertawa kecil, lalu kembali ke kamar mereka sendiri guna melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi.
Tak peduli lagi dengan respon Rabella tadi.
\*
Pagi hari, Rabella menjalani aktivitasnya seperti biasa. Tak ada yang istimewa di rumah ini, hanya ada papanya, lalu pasangan suami istri yang membuatnya jengkel sejak semalam.
Rabella tidak cemburu, serius. Buat apa dia cemburu pada Alvaro dan Mika? Dia cuma kesal saja, karena Lyan masih menjaga jarak, lalu dirinya masih terikat dengan Alvaro sebagai istri kedua.
Wanita manapun yang ada di posisi Rabella juga akan jengkel setengah mati, melihat bagaimana orang yang membuat hidupnya menderita, malah tertawa senang dengan kebahagiaan sendiri.
Sedangkan Rabella malah harus dibenci oleh orang yang dicintainya.
Sama seperti kemarin, Rabella melewatkan sarapan bersama dengan keluarganya di mansion. Langsung ke kantor dan sarapan di sana.
Mengabaikan Alvaro yang masih fokus pada Mika. Masih mesra-mesraaan, sama seperti kemarin malam.
Sampai di kantor.
Kening Rabella mengernyit, menyadari meja yang ada di depan ruangan Alvaro tidak ada.
Itu mejanya, meja kerja Rabella. Tapi, kenapa meja itu tidak ada?
"Eh, Pak Parjo... Ke sini bentar deh," panggil Rabella ke salah satu office boy yang kebetulan lewat di sekitarnya.
"Iya, ada apa ya Bu Rabella?" Office boy yang sudah tahu siapa Rabella di kantor ini, jelas langsung mendekat dan bertanya sopan tentang keperluan Rabella yang memanggilnya barusan.
"Ini, kemana meja saya? Kok gak ada sih? Siapa yang bawa meja saya, Pak? Kemarin masih ada loh di sini, Pak." Rabella menunjuk ke tempat asal mejanya yang sudah hilang itu, tempat itu bersih. Seolah tak ada jejak bahwa di sana adalah tempat Rabella.
Kosong melompong.
Pak Parjo mencoba mengingat sesuatu, baru setelah itu ekspresi wajahnya berubah.
"Oh, iya. Saya ingat, Bu Rabella. Kemarin, pas sift terakhir. Pak Alvaro minta beberapa teman saya buat mindahin meja Bu Rabella ke dalam ruangan Pak Alvaro," ucap Pak Parjo, yang kemudian membuka ruangan milik Alvaro, dengan wajah serius.
Begitu pintu terbuka, benar saja meja milik Rabella berada di sana.
Jadi semua ini ulah Alvaro?
Begitu pikir Rabella saat ini, tiba-tiba kepalanya jadi berat hanya karena memikirkan kelakuan Alvaro yang memindahkan meja kerja miliknya ke dalam ruangan Direktur Utama, yang tak lain adalah ruangan pria itu sendiri.
"Kok dipindahin ke situ sih, Pak? Itu kan meja kerja saya, kalau mejanya ditaruh di dalam sana, gimana saya mau kerja, Pak?" Rabella jelas tak bisa membendung berbagai macam pertanyaan yang ada di otaknya sekarang.
Kenapa meja miliknya harus dipindah ke dalam ruangan?
Apa yang sebenarnya direncanakan Alvaro?
Buat apa meja itu ada di ruangan Alvaro?
Dan masih banyak pertanyaan lainnya lagi.
"Eh, kalau itu saya kurang tahu, Bu Rabella. Saya dan teman-teman cuma disuruh mindahin saja. M-mungkin Bu Rabella bisa tanya langsung alasan Pak Alvaro mindahin meja kerja Bu Rabella ke dalam, saya malah kiranya Bu Rabella udah tau soal masalah ini."
Hanya itu yang bisa Pak Parjo berikan sebagai jawaban untuk Rabella, jawaban yang jelas belum bisa memuaskan Rabella.
Menyugar rambut panjangnya dengan asal, Rabella hanya bisa berdecak kesal. Wajahnya jelas menampilkan raut tak senang, hingga membuat Pak Parjo khawatir, takut kena marah oleh wanita yang merupakan anak pemiliki perusahaan.
Mereka yang bekerja di kantor ini jelas tahu watak Rabella yang katanya kurang baik, suka marah dan membenci semua hal yang berhubungan dengan Alvaro.
Tapi, mereka yang hanya pekerja biasa dan tak punya wewenang, mana bisa menolak perintah satu pihak seperti saat diperintahkan Alvaro untuk memindahkan meja kerja Rabella.
Pak Parjo menunduk dalam-dalam.
"Aisssh, si\*al. Mau tuh anak sebenarnya apa sih?" gumamnya kesal, lantas pandangannya beralih ke Pak Parjo.
"Kalau gitu, sekarang Pak Parjo sama yang lain buruan pindahin lagi meja saya ke tempatnya. Bentar lagi udah masuk jam aktif kantor, saya harus kerja loh, Pak. Buruan ya," titah Rabella tak sabar, langsung memberikan intruksi.
Jika Alvaro bisa bertindak demikian, kenapa Rabella tak bisa kan? Hanya memindahkan meja saja, apa susahnya?
Pak Parjo sedikit gugup, tapi pada akhirnya dia mengangguk, mengiyakan perintah Rabella barusan.
Bagaimana pun juga, posisi Rabella juga sama pentingnya dengan Alvaro. Jadi, dia juga tak bisa menolaknya begitu saja.
"Ba-baik, Bu. Saya panggil teman-teman dulu ya," kata Pak Parjo, kemudian segera meninggalkan Rabella.
Rabella masih berdiri di samping pintu ruangan Alvaro yang terbuka.
Memejamkan mata sejenak, sembari bersandar di pinggiran pintu.
Menunggu Pak Parjo kembali bersama dengan office boy lainnya.
Tak butuh waktu lama bagi Pak Parjo dan office boy lainnya kembali ke tempat Rabella.
Tapi, sosok yang sangat Rabella benci juga datang.
"Kenapa banyak OB di sini?" tanya pria itu dengan wajah santainya, seolah tak merasakan ada yang salah.
Rabella juga langsung berdiri tegap, saat mendengar suara itu.
Suara milik Alvaro. Matanya langsung menatap sengit ke arah pria itu.
"Harusnya gue yang tanya gitu ke lo, ya!! Kenapa lo mindahin meja kerja gue ke dalam ruangan, hah?"