Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..
yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Bab 22
Hujan malam itu turun seperti amarah langit yang tak bisa lagi ditahan. Suara gemericiknya menutupi semua kebisingan, namun bagi Yasmin, hanya ada satu suara yang terdengar jelas—derap langkah Ziyad menjauh di antara dingin dan kabut.
Ia berlari keluar dari balai desa, selendang coklatnya terlepas dari kepala dan jatuh ke tanah yang becek. Orang-orang memanggilnya, tapi ia tak peduli. Hatinya berdenyut hebat, dadanya sesak oleh perasaan yang sudah terlalu lama dipendam.
“Ziyad! Tunggu!” serunya keras dengan nada putus asa.
Ziyad berhenti di ujung jalan setapak yang mengarah ke sungai kecil di tepi desa. Tubuhnya basah kuyup, namun ia tidak berbalik.
“Untuk apa kau kejar aku lagi, Yasmin?” ucapnya pelan dengan nada lirih.
Yasmin mendekat perlahan, langkahnya berat di atas lumpur. “Kau pikir aku akan diam saat kau pergi begitu saja?” jawabnya dengan nada penuh getir.
Ziyad menunduk. Air hujan mengalir dari rambutnya ke pipi, menyatu dengan air mata yang tidak sempat ia hapus. “Aku tidak ingin menambah luka untukmu. Cukup aku yang menanggung masa lalu itu,” ucapnya tenang dengan nada pasrah.
“Bodoh!” seru Yasmin sambil menatapnya tajam dengan nada marah. “Kau pikir aku ingin hidup dalam kebohongan, berpura-pura seolah aku bisa melupakanmu? Aku sudah menanggung semua ini karena aku percaya padamu,” lanjutnya keras dengan nada bergetar.
Ziyad terdiam. Ia akhirnya menatapnya, mata mereka bertemu di bawah hujan yang semakin deras. Ada perih di sana, tapi juga kasih yang tak bisa lagi disembunyikan.
“Yasmin, aku mencintaimu. Tapi cinta kadang harus tahu kapan berhenti agar tidak membakar semua yang disentuhnya,” ucap Ziyad pelan dengan nada getir.
“Tidak ada cinta yang harus berhenti jika masih jujur,” balas Yasmin cepat dengan nada tegas.
Hujan menenggelamkan suara mereka, tapi hati keduanya bicara lebih lantang dari apa pun. Yasmin menggenggam lengan Ziyad, erat, seolah dunia bisa runtuh jika ia melepaskannya.
“Aku sudah kehilangan ayahku karena kecelakaan itu. Aku tidak akan kehilanganmu juga karena rasa takut,” ucap Yasmin pelan dengan nada getir.
Ziyad menatapnya lama, pandangannya bergetar. “Kau tidak mengerti, Yasmin. Aku sudah menanggung dosa yang bahkan bukan seluruhnya milikku. Ibuku… dia yang memintaku untuk pergi agar nama keluargaku tidak semakin hancur,” ucapnya berat dengan nada sedih.
Yasmin menggeleng kuat. “Kau terlalu banyak menuruti permintaan orang lain, Ziyad. Sekali saja, turuti hatimu sendiri,” ucapnya keras dengan nada menekan.
Ziyad menatapnya, lalu tersenyum samar—senyum yang justru membuat Yasmin semakin menangis.
“Aku ingin sekali, Yasmin. Tapi setiap kali aku melihatmu, aku hanya ingat rasa bersalah itu. Aku tidak bisa mencintaimu tanpa merasa berdosa,” ucap Ziyad lirih dengan nada hancur.
Yasmin menutup wajahnya, menangis tanpa suara. “Kau pikir aku butuh cinta yang sempurna? Aku hanya butuh kau tetap di sini,” ucapnya pelan dengan nada tersendat.
Suara petir menggelegar di langit. Hujan semakin lebat. Di balik pohon waru besar, Ridho berdiri diam, menyaksikan semuanya tanpa sepatah kata. Wajahnya datar, tapi matanya basah.
Ia tahu, pada detik itu, Yasmin sudah tidak bisa dimiliki siapa pun selain Ziyad—meski dunia menentangnya.
Ziyad akhirnya memegang kedua tangan Yasmin. Genggamannya kuat, namun terasa gemetar. “Jika waktu bisa kembali, aku akan memilih malam itu tidak ada. Aku akan memilih untuk tetap hidup, bukan hanya bernapas dengan penyesalan,” ucapnya lirih dengan nada penuh sesal.
Yasmin menggenggam balik, air mata dan hujan bercampur jadi satu di wajahnya. “Lalu jangan biarkan penyesalan yang mengatur hidupmu sekarang,” ucapnya tegas dengan nada lembut.
Ziyad menarik napas panjang. “Kau tahu kenapa aku jatuh cinta padamu, Yasmin?” ucapnya tenang dengan nada lembut.
Yasmin menatapnya samar di bawah tirai hujan. “Kenapa?” tanyanya pelan dengan nada penuh harap.
“Karena di matamu, aku masih dilihat sebagai manusia. Bukan dosa,” ucap Ziyad jujur dengan nada tulus.
Tangisan Yasmin pecah. Ia memeluk Ziyad tanpa peduli siapa yang melihat. Hujan menjadi saksi betapa dua jiwa yang terluka saling berpegangan di ujung kehancuran.
Namun dari kejauhan, suara langkah kaki cepat terdengar. Ridho akhirnya berjalan mendekat, menembus hujan yang dingin. Ia berdiri beberapa meter dari mereka, wajahnya tenang meski suaranya parau.
“Ziyad,” panggilnya datar dengan nada berat.
Ziyad menoleh. Yasmin pun terkejut melihat Ridho di sana.
“Aku tahu sekarang kenapa Yasmin tidak pernah bisa menerima lamaranku,” ucap Ridho dengan nada getir. “Karena hatinya sudah diikat oleh seseorang yang tidak bisa ia lepaskan, meski luka itu masih berdarah.”
Ziyad menunduk. “Maafkan aku, Ridho. Aku tidak bermaksud merebut apa pun darimu,” ucapnya tulus dengan nada menyesal.
Ridho tersenyum lemah. “Tidak ada yang direbut. Cinta tidak bisa direbut, hanya bisa dimiliki oleh yang sanggup bertahan,” ucapnya pelan dengan nada pasrah.
Ia menatap Yasmin, matanya bergetar. “Jaga dia, Ziyad. Tapi kalau suatu hari kau menyakitinya lagi, ingatlah malam ini—di mana kau diberi kesempatan kedua oleh orang yang kehilangan,” ucapnya tegas dengan nada getir.
Ziyad mengangguk perlahan. “Aku berjanji,” ucapnya mantap dengan nada serius.
Ridho berjalan menjauh perlahan. Hujan menelan sosoknya dalam kabut. Yasmin menatap punggungnya dengan mata yang sembab.
“Dia terlalu baik,” ucap Yasmin lirih dengan nada sedih.
“Dan itu membuatku semakin merasa berdosa,” jawab Ziyad pelan dengan nada getir.
Mereka berdiri lama dalam diam, hanya hujan yang berbicara.
Ketika hujan mulai reda, Yasmin membantu Ziyad berjalan ke rumah Nek Wan. Lampu di beranda masih menyala redup. Nek Wan yang sejak sore belum tidur menunggu di kursi kayu tua.
Begitu melihat mereka datang basah kuyup, ia menatap tajam namun matanya berair.
“Dunia sudah heboh, dan kalian malah memilih beradu di bawah hujan?” ucap Nek Wan datar dengan nada kesal.
Yasmin tertunduk. “Maaf, Nek,” ucapnya pelan dengan nada menyesal.
Ziyad ikut menunduk. “Semua salah saya, Nek,” ucapnya sopan dengan nada rendah.
Nek Wan menarik napas panjang. “Kau memang salah, Ziyad. Tapi kau juga manusia. Kalau cinta kalian bisa membawa kedamaian, maka jangan biarkan omongan orang menghancurkannya,” ucapnya lembut dengan nada bijak.
Yasmin memeluk neneknya sambil menangis. “Terima kasih, Nek,” ucapnya haru dengan nada lega.
Ziyad hanya bisa menatap, hatinya seperti diremukkan tapi juga hangat oleh penerimaan itu.
Nek Wan menatapnya tajam lagi. “Tapi ingat, Ziyad. Cinta itu bukan cuma tentang bertahan di hujan. Besok pagi, matahari akan muncul, dan di bawah terang itu, semua harus punya arah,” ucapnya tenang dengan nada dalam.
Ziyad menunduk dalam-dalam. “Saya mengerti, Nek,” ucapnya pelan dengan nada hormat.
Malam itu Yasmin menatap langit dari jendela, melihat sisa-sisa hujan di dedaunan. Ia tahu besok dunia mungkin masih menentangnya, tapi malam ini—setidaknya—ia tidak lagi sendiri.
Dan di luar, di bawah sinar lampu jalan yang temaram, Ziyad berdiri diam. Ia menatap rumah itu lama, lalu berbisik pelan, “Untuk pertama kalinya, aku ingin tetap tinggal,” ucapnya lirih dengan nada tenang.
Suara jangkrik mulai terdengar di kejauhan, membawa ketenangan sementara sebelum badai berikutnya datang.
Bersambung.