Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Pagi itu suasana di rumah Arabella terasa hangat.
Mentari menembus tirai jendela, menyoroti ruang tamu yang rapi dengan aroma roti panggang dan susu hangat.
Sudah seminggu mereka menempati rumah baru itu, dan kini Arabella mulai terbiasa menjalani hidup mandiri bersama ketiga anaknya Dimitri, Michael, dan Michelle.
Hari ini hari Minggu, tidak ada sekolah, dan Arabella pun memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak nya.
“Kita ke taman hiburan ya hari ini,” katanya sambil menata rambut Michelle yang duduk manis di kursi makan, memeluk boneka kelincinya.
Michelle hanya menatap ibunya tanpa suara, matanya bening dan polos.
Arabella tersenyum lembut, lalu mengecup kening putrinya.
“Mama tahu kamu senang naik komedi putar, iya kan sayang?”
Michelle mengangguk pelan satu gerakan kecil, tapi cukup untuk membuat Arabella tersenyum bahagia.
Sementara Dimitri, si sulung, sibuk memastikan botol minum dan bekal sudah masuk ke tas.
“Mama, jangan lupa tiket masuknya ya, nanti kita ribet di gerbang lagi.”
Michael yang duduk di sofa menimpali dengan nada santai,
“Iya, Kak Dimitri itu kayak manajer perjalanan aja.”
Arabella terkekeh kecil. “Bagus dong, Mama jadi punya asisten pribadi.”
Tak lama kemudian, mereka semua keluar rumah. Di garasi terparkir mobil Mercedes-Benz oranye metalik, satu-satunya mobil Arabella hadiah kecil yang di berikan Leo saat kepulangannya dari Tiongkok
Ia membuka pintu depan, menatap anak-anaknya satu per satu, lalu berkata lembut,
“Yuk, pasukan kecil Mama, kita berangkat.”
Tiga anak itu segera naik ke dalam mobil. Michelle duduk di kursi belakang dengan bonekanya, sementara dua kakaknya mulai berdebat ringan soal lagu mana yang akan diputar selama perjalanan.
Arabella tersenyum dalam diam sambil menyalakan mesin. Mobil itu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah menuju jalan raya.
Hari itu mereka akan pergi ke taman hiburan, makan siang bersama, dan membeli mainan baru
Bagi Arabella, kebersamaan seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai.
Ia tak lagi butuh pujian, atau pengakuan dari siapa pun.
Asalkan bisa melihat senyum anak-anaknya terutama Michelle yang kini mulai lebih sering menatap mata ibunya itu sudah cukup.
Begitu mobil Mercedes oranye metalik itu berhenti di area parkir taman hiburan, suara riuh tawa anak-anak dan musik permainan langsung menyambut mereka.
Hari itu benar-benar ramai langit cerah, balon-balon berwarna beterbangan, dan aroma popcorn bercampur manisnya gula kapas.
Dimitri dan Michael langsung menatap takjub.
“Wow, Mama! Lihat! Ada roller coaster besar banget!”
“Dan itu… komedi putar!” seru Michael bersemangat.
Arabella tersenyum melihat tingkah dua putranya yang tak bisa diam.
Namun di sisi lain, Michelle tampak menempel erat di pinggang ibunya.
Keramaian dan suara bising membuat gadis kecil itu gelisah.
Ia memeluk Arabella semakin kuat, tubuhnya sedikit bergetar.
Arabella segera berjongkok dan menatap lembut wajah putrinya.
“Tenang sayang… mama ada di sini,” bisiknya sambil mengusap punggung Michelle pelan.
“Kita tidak harus ke mana-mana kalau Michelle tidak mau. Tapi mama janji, kita naik komedi putar bersama, ya?”
Michelle menatap wajah ibunya lama, lalu mengangguk kecil sebuah bentuk kepercayaan yang hanya bisa dipahami oleh seorang ibu.
Dimitri menghampiri dan berkata,
“Mama, aku sama Michael jalan ke area permainan dulu ya. Nanti kita ketemu di komedi putar!”
> “Baik, jangan jauh-jauh dan jangan lupa saat makan siang, ya,” jawab Arabella sambil melambaikan tangan.
Sementara dua bocah itu berlari kegirangan, Arabella menggandeng Michelle menuju area komedi putar.
Lampu-lampu warna pastel berputar lembut, musik klasik anak-anak terdengar menenangkan.
Arabella mengangkat Michelle dan mendudukkannya di atas kuda putih berpelana emas.
“Lihat, sayang… cantik sekali, kan?”
Michelle menatap sekeliling, matanya yang bening mulai memantulkan cahaya lampu. Bibirnya terbuka sedikit bukan bicara, tapi ada senyum samar yang muncul.
Saat musik mulai diputar dan komedi putar berputar perlahan, Arabella memegang tangan putrinya erat.
Angin hari itu berhembus lembut, membawa tawa kecil Michelle yang akhirnya terdengar.
Bagi Arabella, suara itu lebih berharga dari apa pun di dunia ini.
Setelah puas bermain di komedi putar, Arabella menggandeng tangan kecil Michelle menuju area makan. Dimitri dan Michael sudah menunggu di sana, masing-masing memegang balon dan boneka hasil menang di permainan tadi.
“Mamaaa! Kami menang dua boneka besar!” seru Michael bangga sambil menyerahkan boneka itu untuk michelle
"Hadiah untuk kamu" ucap Michael
“Aku yang lempar paling banyak tepat sasaran!” tambah Dimitri sambil tertawa.
Arabella tersenyum melihat wajah anak-anaknya yang dipenuhi tawa.
“Hebat sekali anak-anak mama. Tapi sekarang waktunya makan siang,bonekanya di simpan dulu ya sayang, nanti bisa main lagi.”
Mereka memilih duduk di sebuah kafe taman dengan payung-payung besar berwarna pastel. Aroma ayam panggang dan kentang goreng menyebar di udara.
Michelle duduk di pangkuan Arabella, tampak lebih tenang setelah suasana tidak seramai tadi.
Arabella menyuapinya perlahan dengan potongan kecil sandwich dan jus jeruk.
“Enak, sayang?”
Michelle tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil memeluk boneka kelinci kecil yang di bawanya dari rumah.
Sementara itu, Dimitri dan Michael sibuk berebut es krim rasa cokelat.
“Mamaaa, Michael makan lebih banyak!”
“Tidak ah, kakak Dimitri duluan tadi!”
Arabella hanya menggeleng dan tertawa kecil.
"Baiklah, nanti mama beli satu lagi supaya adil, ya.”
Tawa mereka bercampur dengan musik taman dan riuh suara anak-anak lain yang bermain.
Untuk sesaat, hidup terasa begitu damai bagi Arabella. Tidak ada tekanan, tidak ada masa lalu yang menghantui.
Hanya dirinya… dan tiga malaikat kecil yang menjadi seluruh dunia baginya.
Setelah makan siang, mereka berjalan ke toko mainan besar di sisi taman. Rak-rak penuh boneka, mobil-mobilan, dan robot membuat mata Dimitri dan Michael berbinar.
“Mama, boleh yang ini?”
“Dan aku mau mobil balap warna merah!”
“Baiklah, tapi hanya satu untuk masing-masing, ya,” ucap Arabella tersenyum lembut.
Michelle berhenti di depan deretan boneka musik, matanya tertuju pada satu kotak musik berbentuk bulan sabit. Ia menunjuk benda itu tanpa bicara.
Arabella mengerti dan mengambilnya.
“Yang ini untuk Michelle, ya. Supaya bisa bantu Michelle tidur nanti malam.”
Michelle memeluk kotak musik itu dengan senyum kecil di wajahnya.
Sebelum pulang, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati es krim vanila.
Angin sore berhembus lembut, matahari mulai condong ke barat.
Arabella menatap ketiga anaknya Dimitri, Michael, dan Michelle dengan tatapan penuh cinta.
“Mama janji, selama mama masih hidup, tidak akan ada yang bisa memisahkan kita.”
Dimitri menatap mamanya dengan mata polos.
“Mama, kalau ada orang jahat datang, aku akan melindungi mama dan Michelle.”
Arabella tersenyum haru, mengusap rambut anak sulungnya.
“Mama tahu kamu anak yang kuat, sayang.”
Mereka pun pulang dengan hati yang bahagia, mobil Mercedes oranye itu meluncur perlahan meninggalkan taman.
Kotak musik kecil di pelukan Michelle mengeluarkan alunan lembut seperti doa tenang yang menutup hari penuh kebahagiaan itu.
Mobil Mercedes oranye metalik itu berhenti di depan rumah baru mereka.
Arabella baru saja mematikan mesin ketika matanya menangkap mobil hitam terparkir rapi di sisi jalan.
Ia mengernyit, merasa asing sekaligus waspada.
“Mama, itu mobil siapa?” tanya Dimitri dari kursi depan.
“Entahlah, sayang. Mungkin tamu,” jawab Arabella singkat, berusaha tenang.
Ia turun lebih dulu, meminta anak-anaknya tetap di mobil. Tapi belum sempat melangkah, pintu mobil hitam itu terbuka.
Keluar seorang pria berwajah tegas, berpakaian rapi tapi terlihat santai.
Nicholas.
Langkahnya mantap, senyum tipis terukir di wajahnya senyum yang entah kenapa membuat dada Arabella terasa aneh.
“Hai, Bella,” sapanya tenang.
“Nicholas?” Arabella agak terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu alamat rumahku?”
Nicholas tersenyum samar.
“Aku punya banyak cara.”
Arabella menarik napas dalam.
“Kalau kau datang karena urusan kantor, aku akan memberi mu waktu sepuluh menit "
“Aku tahu,” jawab Nicholas pelan. “Aku datang bukan karena urusan kantor. Aku hanya ingin memastikan kau dan anak-anak baik-baik saja.”
Sebelum Arabella sempat menjawab, pintu mobil Mercedes terbuka.
Tiga anak kecil keluar Dimitri, Michael, dan Michelle.
Dimitri menatap Nicholas tajam, melindungi adik-adiknya dengan berdiri di depan.
Michael memegang tangan Arabella erat-erat, wajahnya cemberut.
Tapi Michelle… berbeda.
Gadis kecil itu menatap Nicholas lama, kemudian berjalan pelan mendekat sambil menarik ujung kaus Arabella.
“Ma…” suaranya lembut, hampir tak terdengar.
“Ya, sayang?”
“Papa…” bisik Michelle sambil menunjuk Nicholas.
Arabella tersentak.
Nicholas juga membeku, jantung nya berdebar, jelas tak menyangka.
Hening seketika menyelimuti halaman rumah itu.
“Michelle, sayang, itu bukan papa,” Arabella mencoba menenangkan, tapi gadis kecil itu menggeleng pelan.
“Papa…” ulangnya lagi, lebih yakin.
Michael mendengus pelan.
“Mama, kenapa Michelle panggil dia papa? Aku nggak suka orang itu.”
Nicholas hanya bisa terdiam. Pandangannya bergantian antara Arabella dan ketiga anak itu terutama Michelle, yang kini menatapnya dengan mata yang berbinar dan penuh harapan seperti sebelumnya
Arabella berusaha tetap tegar di tengah rasa bingungnya.
“Kau sudah lihat kami baik-baik saja, Nick. Sekarang sebaiknya kau pergi.”
“Bella…”
“Jangan buat anak-anakku bingung.”
Nada suaranya lembut tapi tegas.
Nicholas akhirnya menunduk, menahan sesuatu di dadanya yang terasa berat.
“Baik. Tapi suatu hari… aku ingin bicara denganmu, dengan tenang.”
Arabella tak menjawab.
Ia hanya menatap punggung Nicholas yang perlahan menjauh sementara Michelle masih berdiri di depan pagar, menatap mobil hitam itu sampai benar-benar hilang dari pandangan.