NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Kamu... Itu lebih pantas menjadi pembantu saya, bukan menantu saya!

Kalimat Hilda masih terngiang di kepalanya, menggema tanpa henti seolah menolak pergi. Di tepi ranjang, Amira duduk terpaku dengan bahu yang gemetar. Ia menyeka kasar wajahnya, namun air mata terus saja jatuh, membasahi jemari yang berulang kali mengusap pipinya yang memerah. Sesekali bibirnya bergetar, mencoba menahan isak yang nyaris pecah, tetapi yang tersisa hanya helaan napas panjang yang terdengar putus asa.

Memang, ini bukan sekali dua kali Hilda melontarkan kata-kata pedas. Namun kali ini terasa jauh lebih menusuk, seolah menembus dinding pertahanan hati Amira yang sudah rapuh. Ada getir yang menyesak di dada, membuatnya sulit bernapas, seakan setiap huruf yang diucapkan Hilda tadi masih menggantung di udara, menghakiminya tanpa ampun.

Entah alasan apa yang membuat wanita itu hingga kini begitu membencinya, menolak untuk sekadar menerima keberadaannya. Amira tak pernah benar-benar tahu, meski berulang kali ia mencoba menebak dan mencari kesalahan yang mungkin pernah ia perbuat. Namun setiap kali ia mengingat kembali sikap Hilda, yang ia temukan hanyalah dingin yang membeku di balik tatapan mata wanita itu, seolah ada luka lama yang tak pernah diungkapkan namun terus diarahkan padanya.

Lagi, Amira buru-buru beranjak dari tepi ranjang sambil menyeka kasar wajahnya begitu mendengar suara pintu kamar terbuka. Ia menahan napas, berusaha menyembunyikan sisa air mata di sudut mata yang masih basah. Angga muncul di ambang pintu, langkahnya terdengar berat, sorot matanya dingin seperti biasa.

"Ma-maaf, Mas. Aku gak sengaja duduk di tempat tidur kamu." Ucap Amira, nadanya bergetar nyaris berbisik. "Aku sudah siapkan kamu makan malam. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu, Mas?"

Angga membuang wajahnya, seolah tak peduli. Ia tak menoleh sedikit pun pada Amira, tak peduli pada wajah perempuan itu yang masih lembab oleh sisa tangis, juga tak peduli pada kata-kata yang mungkin ingin terucap darinya. Gerak-geriknya datar, dingin, seakan kehadiran Amira hanyalah bayang-bayang yang tak layak diperhatikan.

Angga melepas jas kantor yang sedari tadi dikenakannya lalu berjalan menuju wardrobe. Ia membuka lemari mewah itu. Aroma khas kayu jati bercampur parfum khas miliknya tercium samar saat pintu lemari dibuka. Jemarinya meraih gantungan baju, menarik keluar kemeja putih polos yang masih rapi terlipat di dalam.

Tanpa banyak pikir, ia menanggalkan kemeja kerja berwarna biru tua yang sudah agak kusut di bagian lengan. Gerakannya tenang dan terlihat lelah, seolah energi hari ini terkuras habis. Namun ia tetap bergerak hingga kemeja kotak abu berhasil melekat di tubuh bidangnya. Tak berhenti di situ, sedikit semprotan parfum ia arahkan ke leher dan pergelangan tangan—aroma maskulin yang lembut segera menyebar, menambah kesan rapi meski penampilannya kini jauh lebih santai.

"Ka-Kamu mau kemana, Mas?" Tanya Amira mendekat, mencoba menangkap wajah suaminya. "Ka-Kamu kan baru pulang kerja,"

Angga menepuk pelan bagian dada kemejanya, memastikan tidak ada lipatan yang mengganggu, lalu menarik napas panjang seolah hendak melepaskan sisa penat yang menumpuk seharian. Pandangannya sempat terhenti pada pantulan diri di cermin besar yang menempel di pintu lemari; sorot matanya redup, namun tetap memancarkan ketegasan khas yang sulit diabaikan.

Yang lebih menyakitkan bagi Amira, mata itu sama sekali tak berusaha menoleh ke arahnya—seakan kehadirannya sama sekali tak berharga.

Tanpa sepatah kata pun, Angga berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kamar, meninggalkan keheningan yang terasa semakin menyesakkan.

“Mas, tunggu…” Ucap Amira dengan suara lirih namun tergesa, berusaha mengejar langkah Angga.

Pria itu berhenti hanya sejenak, tanpa benar-benar menoleh. Bahunya yang lebar tampak sedikit menegang, namun ia tetap diam, seakan menahan diri untuk tidak bereaksi.

Amira meraih ujung kemeja Angga dengan ragu, jemarinya bergetar. “Aku cuma mau bicara sebentar…” Lanjutnya, hampir berbisik, takut jika suaranya memicu amarah. "Kamu baru pulang kerja, terus sekarang mau pergi lagi. Memangnya kamu mau kemana, Mas?"

Angga membisu. Pandangannya lurus, sorot matanya dingin dan tajam, seolah tembus menembus dinding di hadapannya. Tidak ada sedikit pun gerakan untuk menoleh pada Amira, bahkan kelopak matanya nyaris tak berkedip.

Amira menggigit bibir bawahnya, merasakan jemari yang menggenggam ujung kemeja Angga mulai kehilangan tenaga. Hanya suara napas mereka yang terdengar, berat dan tertahan, membuat jarak di antara keduanya terasa semakin lebar meski berdiri begitu dekat.

"Mas..."

"Untuk apa kamu menanyakan hal itu?" Kata Angga akhirnya. Matanya masih enggan menatap Amira.

"Mas, aku—”

"Istri aku?" Potong Angga. "Kamu udah bilang ini ratusan kali. Dan sampai kapanpun, kamu tetaplah orang lain. Bukan siapa-siapa aku. Jadi, jangan pernah kamu ikut campur urusan aku!"

"Mas, tapi..."

Angga tidak memberi kesempatan lagi. Ia melangkah melewati Amira tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan aroma parfum yang samar tertinggal di udara. Aroma yang begitu menyayat hati bagi Amira.

Sampai detik ini, Amira terus berusaha menerima Angga sebagai sosok suami—meski dalam hatinya sendiri ia belum benar-benar mampu. Masih ada nama Satria yang tertinggal di sudut terdalam hatinya, menolak dilupakan begitu saja. Namun takdir seolah memaksa Amira untuk menutup rapat pintu masa lalu dan belajar menjalani kenyataan yang ada.

Sakit memang. Demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah, mau tak mau Amira harus menyingkirkan segala ragu dan luka yang masih membekas. Ia harus tetap berada di sisi Angga, meski setiap hari rasanya seperti menahan napas di dalam air—sesak, dingin, dan tak ada tempat untuk bernafas lega. Ia menatap kosong ke arah pintu lantai bawah yang baru saja tertutup oleh Angga, lalu mengusap sudut matanya yang lembab.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!