Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Kedua telapak tangan Nisa saling menggenggam di pangkuannya, dingin dan bergetar. Nafasnya pendek-pendek, wajahnya pucat pasi. Hatinya campur aduk antara panik, takut, dan cemas.
“Ya Allah, lindungi kami. Jangan sampai apa yang barusan kami lakukan ketahuan. Aku nggak sanggup kalau karier Mas Azhar jadi taruhannya gara-gara aku,” batinnya Nisa dengan hati meringis.
Azhar melirik sekilas, pandangannya penuh sesal. Dia menangkap jelas kegugupan istrinya itu. “Maafkan aku, sayang. Harusnya aku bisa lebih menahan diri. Tapi aku gagal. Aku yang bikin kamu ada di situasi ini,” gumamnya dalam hati, menunduk dalam rasa bersalah.
Hafsah menoleh, senyumnya mengembang melihat sosok Nisa. “Syukur alhamdulillah, sekarang ada yang bisa dipercaya untuk jagain Berliana dan Bilqis. Akhirnya ada pengganti Bu Retno,” ujarnya Hafsah tulus.
Akbar ikut menimpali sambil menaruh kotak kue ke meja kecil. “Semoga dengan Mbak Nisa, anak-anak jadi lebih terurus. Maaf Abang, tapi jujur aja, Bu Retno dan Mbak Dian dari dulu kayaknya memang nggak cocok ngurus mereka,” katanya tenang tapi menohok.
Azhar terdiam. Ujung lidahnya kelu. Dia tahu itu benar, tapi hatinya tertusuk.
Hafsah menatap kakaknya, suaranya tegas. “Aku nggak bermaksud kasar, Bang. Tapi dari dulu kita semua udah lihat, Mbak Dian itu sibuk sama dunianya sendiri. Anak sakit pun masih mikirin kerjaan. Sedih banget rasanya lihat keponakan sendiri kayak dianaktirikan.”
Akbar mengangguk. “Betul. Aku bahkan sering lihat sendiri. Nggak ada empati sama sekali. Jujur aku kecewa banget sama sikapnya,” imbuhnya.
Nisa yang sejak tadi duduk menunduk akhirnya angkat suara, meski lirih. “Insya Allah aku akan jaga mereka seperti anakku sendiri. Terima kasih kalian percaya. Aku cuma bisa janji semampuku, tapi hatiku tulus untuk merawat mereka,” ucapnya dengan mata berkaca.
Azhar menoleh sekilas, dadanya sedikit lega. Perasaan takutnya pelan-pelan mereda, apalagi melihat Hafsah dan Akbar sama sekali nggak mencurigai hubungan rahasia mereka.
Obrolan mengalir makin panjang. Mereka tertawa kecil, saling berbagi cerita hingga lupa waktu. Baru sadar jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana hangat itu membuat mereka seolah keluarga yang sudah lama akrab, padahal malam itu baru pertama kali benar-benar duduk bersama.
Namun di balik senyum tipisnya, Nisa merasakan hatinya bergetar. “Entah bagaimana reaksi mereka kalau tahu aku sebenarnya istri sirinya Mas Azhar. Pasti mereka bakal anggap aku wanita perusak rumah tangga,” batinnya getir.
Azhar pun membatin hal serupa. “Kalau rahasia ini terbongkar, aku takut banget mereka marah. Aku bisa kehilangan segalanya, bukan cuma keluarga tapi juga kepercayaan,” katanya dalam hati.
Hafsah sempat melirik sekilas ke arah keduanya. Gerak-gerik kecil tidak luput dari matanya. “Apa perasaanku salah? Atau memang ada sesuatu antara Abang Azhar dan Mbak Nisa? Kalau pun iya, jujur aku lebih ikhlas kalau Mbak Nisa yang dampingi Abang, bukan Mbak Dian. Setidaknya Nisa jauh lebih baik,” gumamnya pelan.
Akbar yang duduk di sampingnya ikut berpikir hal sama. Dia sudah terlalu sering melihat bukti buruknya perilaku Dian. “Kalau ini disebut affair, mungkin pertama kalinya aku mendukung. Karena jujur, Mbak Nisa punya akhlak lebih mulia dibanding istri sah yang tega selingkuh,” cicitnya dalam hati.
Setelah Hafsah dan Akbar pamit pulang, ruangan kembali sepi. Hanya tersisa Azhar, Nisa, dan suara napas halus Berliana yang sudah terlelap.
Nisa membuka kotak kue, memotong sepotong kecil, lalu tersenyum tipis menikmati rasa manisnya. Azhar tak berkedip memandangi wajah istrinya. Matanya teduh, penuh cinta.
“Kalau kamu itu buku, aku nggak akan pernah bosan baca setiap halamannya,” ucap Azhar tiba-tiba, suaranya dalam tapi lembut.
Nisa menunduk, pipinya merona. “Setiap hari aku juga merasa beruntung bisa berbagi suka duka denganmu, Mas. Kamu bukan cuma suami, tapi juga penopang hidupku,” balasnya lirih sambil memainkan ujung hijabnya.
Azhar mengangkat dagunya perlahan, menatap matanya. “Ketika hati aku hancur, kamu selalu datang bawa obat lewat kata-kata. Aku nggak bisa bayangin kalau kamu nggak ada.”
Nisa menelan ludah, air matanya menetes tipis. “Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu selalu bikin aku merasa dicintai sepenuh hati,” ucapnya.
Azhar mendekat, menghadiahkan ciuman lembut di bibir mungilnya. Suara berdebar memenuhi dada keduanya. Nisa mengalungkan tangan ke lehernya, membalas penuh rasa. Dunia seperti berhenti berputar, hanya mereka berdua yang ada malam itu.
Malam semakin larut, cinta mereka kian larut dalam satu pelukan panjang.
Azhar menarik napas panjang, wajahnya menunduk di antara helai rambut istrinya. Kehangatan tubuh mereka saling merapat, sementara detak jantungnya berpacu lebih kencang.
“Kamu tahu nggak, Nis,” ujarnya pelan dengan senyum nakal, “kalau aku dilahirkan lagi, aku nggak mau jadi tentara aku maunya jadi cincin kawin, biar tiap hari nempel terus di jari manismu.”
Nisa tertawa kecil, pipinya memerah. “Mas ini bisa aja… aku jadi nggak bisa ngomong apa-apa,” balasnya sambil memejamkan mata, menahan rasa haru bercampur bahagia.
Azhar kembali berbisik, “Kamu itu kayak kopi hitam tanpa gula. Pahit kalau dipikir, tapi bikin aku candu. Aku nggak bisa sehari pun hidup tanpa kamu.”
Nisa menatapnya, mata beningnya bergetar. “Kalau aku kopi, berarti Mas air panasnya. Kamu yang bikin aku hidup, yang bikin aku berarti.”
Azhar tersenyum, mengusap lembut pipi istrinya. “Aku sering dikira keras di medan tugas, tapi di depan kamu, aku lemah banget. Kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku jatuh berulang kali… jatuh cinta maksudnya.”
Nisa tersenyum malu, suaranya bergetar penuh rasa. “Aku juga Mas… walau aku cuma istri kedua yang nggak pernah kelihatan di mata orang lain, tapi di sisimu aku merasa paling berharga.”
Azhar menggeleng, menggenggam erat jemari halus istrinya. “Jangan pernah sebut dirimu cuma yang kedua. Di hatiku, kamu selalu nomor satu. Allah yang tahu seberapa syukurnya aku karena ditakdirkan ketemu kamu.”
Air mata Nisa jatuh, tapi kali ini bukan karena sedih melainkan karena bahagia. Ia mendekap Azhar lebih erat, suaranya lirih. “Aku janji, aku akan terus ada di sisimu, meski dunia nggak pernah tahu aku siapa.”
Azhar membalas dekapannya, sembari berbisik penuh rasa syukur. “Terima kasih, istriku. Malam ini aku merasa lengkap kamu bukan cuma bidadari tanpa sayap, kamu rumah tempat aku pulang.”
Dalam keheningan malam itu, cinta mereka meluap tanpa batas. Ucapan nyeleneh Azhar justru menambah kehangatan, membuat Nisa tersenyum di tengah tangis haru.
Mereka larut dalam pelukan panjang, seakan dunia berhenti berputar, menyisakan hanya dua hati yang saling mencintai dalam rahasia.
Azhar masih memeluk Nisa erat, dadanya naik turun menahan gejolak yang tak kunjung reda. Helaan nafasnya terdengar berat, namun penuh syukur. Ia menutup mata, kemudian menempelkan keningnya ke kening istrinya.
“Ya Allah…” ucapnya pelan, suaranya parau, “Kalau boleh aku minta satu hal lagi, izinkan aku dan Nisa punya buah hati dari darah daging kami. Biar ada titipan kecil yang lahir dari cinta yang Engkau restui dalam diam.”
Nisa terdiam, matanya kembali berkaca. Jemarinya menggenggam lengan suaminya, hangat tapi bergetar.
“Mas…” bisiknya, “Aku takut, kalau itu terjadi orang-orang makin menganggap aku perusak rumah tangga.”
Azhar menggeleng cepat, menatapnya sungguh-sungguh. “Jangan pernah merasa begitu. Anak itu bukan aib, Nis. Dia amanah, bukti cinta kita. Kalau Allah kasih, berarti Allah percaya kita mampu menjaganya.”
Nisa terisak kecil, menutup wajah di dada Azhar. “Aku nggak pernah minta lebih dari yang aku punya sekarang, Mas. Bisa jadi istrimu aja udah terlalu besar buatku. Tapi kalau Allah kasih rezeki itu aku janji bakal jaga dengan seluruh hidupku.”
Azhar mengecup ubun-ubunnya, matanya ikut basah. “Aku pengen ada bayi kecil yang manggil kamu Mama dan manggil aku Papa. Biar Berliana dan Bilqis juga punya adik yang lahir dari rahimmu. Aku yakin mereka bakal sayang sama adiknya, karena mereka sayang banget sama kamu.”
Nisa tersenyum di balik tangisnya, hatinya menghangat. “Mas selalu bisa bikin aku kuat, padahal barusan aku rapuh banget.”
Azhar meraih tangannya, meletakkannya di atas dadanya yang berdetak kencang.
“Dengar ini setiap detak jantungku, isinya doa buat kamu. Aku pengen lihat kamu hamil, pengen temani kamu lewat tiap bulan, tiap ngidam, sampai kita bisa azanin bayi kita bareng.”
Suasana hening sesaat, hanya terdengar napas beriringan. Nisa menatap mata suaminya, bibirnya bergetar. “Kalau Allah kasih kepercayaan itu, aku mau janin itu tumbuh dalam doa, lahir dalam cinta, dan besar dalam kasih sayang kita.”
Azhar tersenyum lebar meski matanya berkaca. “Amin, ya Rabb. Semoga doa kita ini didengar. Kalau nanti benar terjadi, aku janji akan jaga kamu lebih dari nyawaku sendiri.”
Nisa menutup mata, dadanya terasa lega. Di tengah sunyi malam, doa mereka menggantung di langit, seolah malaikat ikut mengaminkan harapan cinta yang tulus itu.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor