Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 22
Kini pagi yang indah telah tiba, kicauan burung di taman belakang terdengar sangat merdu. Melisa dan suaminya, tengah mengobrol ringan sebelum sarapan pagi tiba. Keduanya duduk di sebuah kursi taman di ujung dekat kolam ikan yang indah.
"Ma, Papa yakin suatu saat Zean pasti akan mencintai Nara," ucap Hendrik tiba-tiba di sela obrolan ringan mereka.
"Benar, seiring berjalannya waktu, mereka pasti akan saling mencintai," timpal Melisa. "Tapi Mama merasa kasihan dengan gadis muda itu yang harus kehilangan masa depannya gara-gara kesalahan putra kita," lanjutnya.
"Sudah, Ma. Tugas kita hanya berdoa yang terbaik untuk mereka. Tapi yang Papa lihat, mereka sangat cocok karena terlihat sangat serasi, berbeda dengan mantan kekasihnya yang dulu" balas Hendrik.
"Mama ju—"
"Ma, Pa," tiba-tiba Nara datang menghampiri keduanya.
"Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Melisa lembut.
"Sudah, Ma. Oh ya, Ma, Pa, ayo masuk, kata Mbah Ima sarapannya sudah siap," ucap Nara lembut.
"Iya, sayang. Yok, Pa," ajak Melisa pada suaminya.
Setelah selesai sarapan pagi, Nara langsung izin pamit ke kamar untuk bersiap-siap ke toko. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi seorang atasan, dan dia ingin menampilkan yang terbaik kepada para karyawannya.
Setelah mandi dan berpakaian lengkap, Nara berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya sendiri. Dengan menghembuskan napas pelan, dia mulai merias wajahnya dengan makeup tipis-tipis.
Nara memakai heels yang tingginya hanya 2 cm saja, sesuai dengan permintaan Melisa. Katanya, agar terlihat sebagai seorang owner yang penuh wibawa dan cantik.
Setelah selesai, Nara keluar dari kamar dan berpapasan dengan Zean. Zean terlihat bingung melihat perubahan pada Nara, tapi dia tidak peduli dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Selamat pagi, Bu," ucap Zoya, asisten Nara, dengan sedikit membungkuk.
"Pagi juga, Zoya. Tidak perlu membungkuk seperti itu," kata Nara, merasa tidak enak karena tidak biasa diperlakukan seperti itu.
"Tidak apa-apa, Bu. Itu bentuk hormat saya," jawab Zoya dengan tersenyum manis.
“Ma, Nara berangkat dulu ya” ucap nara, Tangannya terulur, menyalami Melisa dengan penuh kelembutan. Ia merengkuh wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri dalam sebuah pelukan singkat namun hangat
Melisa tersenyum lembut. “Iya, sayang. Hati-hati di jalan, ya. Semangat terus,” jawabnya sambil menepuk pelan bahu menantunya. Tangannya bahkan sempat membuat gerakan kecil, seolah memberi suntikan energi agar Nara tetap kuat menghadapi hari.
Nara mengangguk. Senyum manis merekah di wajahnya, sebuah senyum tulus yang menunjukkan betapa ia menghargai perhatian dan kasih sayang dari ibu mertuanya itu.
"Ayo, Zoya," ajak Nara, menggandeng tangan Zoya. Zoya terlihat terkejut, tapi Nara tidak peduli.
Melisa, yang melihat kejadian itu, tersenyum bahagia. Kini doanya telah diijabah oleh Tuhan untuk mendapatkan menantu yang baik untuk anaknya.
"Ma, aku berangkat dulu ya," kata Zean, yang tiba-tiba muncul di belakang Melisa. Dia menarik tangan ibunya dan mencium pundak tangannya, lalu memberikan ciuman hangat di pipi Melisa.
"Iya, sayang. Hati-hati ya," jawab Melisa dengan hangat.
Kini semua telah berangkat ke aktivitasnya masing-masing, meninggalkan Melisa sendirian di rumah dengan para pekerja.
Hari ini, Melisa memutuskan untuk tidak pergi ke butiknya sendiri karena dia bisa membereskan beberapa pekerjaan dari rumah.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Setelah menyelesaikan pekerjaan ringan di butiknya, tepat pukul dua belas siang, waktu istirahat pun tiba. Nara dan Zoya memutuskan untuk pergi makan siang di sebuah restoran.
Sejak mengetahui dirinya hamil, Nara memang jadi lebih sering merasa lapar. Entah kenapa, rasa laparnya datang tiba-tiba dan sulit sekali ditahan.
Setibanya di restoran, Nara memilih untuk duduk di ruangan VIP. Ia ingin menikmati makan siangnya dengan tenang, tanpa hiruk-pikuk suara orang lain yang biasanya ramai di siang hari.
“Zoya, kamu kenapa berdiri di situ?” tanya Nara bingung. Ia menoleh ke belakang dan melihat Zoya hanya berdiri di ambang pintu, tak mengikuti masuk.
“Saya akan menunggu Anda di sini, Bu,” jawab Zoya ramah. Ia merasa tak pantas duduk bersama majikannya yang belum lama ia kenal.
“Hei! Jangan begitu. Aku nggak suka diperlakukan seperti itu. Ayo, ikut aku ke dalam. Kita makan bereng,” ucap Nara, sedikit sensitif.
“Baik,” sahut Zoya pelan, tak ingin membantah.
Tak lama setelah mereka duduk, sekitar tiga puluh menit kemudian, berbagai hidangan lezat mulai terhidang rapi di atas meja kaca yang mengilap di hadapan mereka. Zoya tertegun. Makanan yang disajikan begitu banyak, seolah akan dihidangkan untuk pesta, padahal hanya mereka berdua yang makan.
“Ughh, enak sekali!” seru Nara sambil menyantap makanannya dengan penuh semangat.
Zoya hanya tersenyum kecil, melihat tingkah Nara yang begitu polos dan menggemaskan. Gadis muda itu terlihat sangat menikmati makan siangnya, tanpa beban.
Setelah menyantap hampir semua makanannya, Nara tiba-tiba bersendawa pelan. Ia menutup mulut buru-buru, lalu tertawa kecil, malu sendiri.
“Maaf,” ucapnya lirih, menahan malu.
“Tidak apa-apa, Bu. Anda tak perlu sungkan dengan saya,” jawab Zoya dengan senyum hangat.
Walaupun usia Nara jauh lebih muda darinya, Zoya tetap menghormati gadis itu sebagai atasannya. Ia tahu, tak peduli seberapa muda usia seseorang, jika sudah dipercaya sebagai pemimpin, maka ia pantas diberi penghormatan.
Setelah selesai makan siang, Nara dan Zoya meninggalkan restoran dengan perut kenyang dan hati senang. Nara tersenyum puas sambil mengelus perutnya pelan. Walaupun perut itu masih terlihat rata.
Baru saja mereka keluar dari pintu VIP, seorang wanita berjalan masuk bersama dua temannya. Langkah wanita itu berhenti sejenak saat matanya menangkap sosok Nara. Ia tersenyum tipis, namun tatapannya dingin.
"Nara?" sapa wanita itu dengan nada datar, namun penuh penekanan.