Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Kerumunan orang yang ingin tahu kini sudah hilang entah kemana. Tinggal aku dan Mada saja. Dilihat dari apa yang dia lakukan membuat aku senang, tapi aku kembali teringat dengan wanita bernama Leona itu..
Aku menunduk dan melepas genggaman tangan Mada. Entah kenapa rasa cemburu itu benar-benar membakar diriku. Mau bertanya, tapi rasanya sangat aneh. Diam saja, aku merasa tersiksa.
Aku menatap pada Mada. Pria itu tengah sibuk dengan ponselnya. Baru saja aku akan membuka suara. Sebuah panggilan nyaring terdengar.
Gadis bernama Leona itu tengah berlari kecil ke arah Mada. Dia membawa dua buah es krim di tangannya. Matanya berbinar saat memandang Mada, tapi saat menoleh padaku dia terlihat merubah tatapan itu. Bahkan dia mencoba menusukku dengan tatapan itu.
"Kak Mada. Aku beli es krim untukmu," kata Leona dengan nada manja dan dibuat-buat.
"Terima kasih."
Tentu saja dengan senang hati Mada menerimanya. Jika ada yang melihat, tentu aku terlihat seperti nyamuk diantara pasangan ini. Aku menghela nafas panjang dan memilih berbalik pergi, tapi Mada menahan diriku.
"Leona. Kenalkan, dia Heera. Istriku."
Aku menatap Mada. Dia memperkenalkan aku sebagai istrinya di depan Leona. Wajah gadis itu langsung berubah kecewa. Namun di luar dugaanku. Dia justru menggandeng tangan Mada dengan tenang di depanku. Wajahnya berubah ceria begitu saja.
"Jadi kamu kakak ipar. Aku Leona."
"Heera."
Kami berjabat tangan cukup lama sampai aku memilih melepaskannya. Itu bukan jabat tangan biasa karena Leona jelas menekan tanganku. Dia pikir aku bisa di tekan begitu saja.
"Kak Heera. Aku baru saja pulang dari luar negri. Sebelum ini, aku hanya tahu tentang Kak Mada. Jadi, aku akan mengganggu kalian selama ada di sini."
Dengan terang-terangan dia melakukannya. Mada bahkan tidak paham dan hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja. Padahal aku mencium hal yang jelas menyebalkan dari seorang Leona ini.
"Kak Heera tidak keberatan bukan?"
Dia menyebut namaku, tapi tatapan matanya ada pada Mada. Mada merangkul diriku dan berkata, "Tentu tidak keberatan. Apartemen kami juga ada kamar tamu di lantai satu."
Aku tidak menyangka dia akan tinggal satu apartemen denganku. Apa aku harus menyetok rasa sabar yang banyak. Jika iya, bagaimana aku akan bertahan dengan bibit pelakor ini.
"Kak Heera."
"Ya?"
"Hari ini aku dan Kak Mada mau menonton film terbaru. Apa kakak mau ikut?"
"Tidak. Aku ada hal lain."
"Begitu ya. Sayang sekali," lirih Leona di buat-buat.
"Sudah jangan sedih. Ayo kita pergi nonton dan biarkan Heera belanja semaunya."
Tanpa menoleh kembali. Mada membawa Leona pergi dari hadapanku. Namun, Leona menoleh ke arahku dengan senyum penuh arti. Aku hanya diam dan mencoba tetap tenang.
Kembali pada tujuanku. Aku berkeliling mall itu sendirian. Mencari-cari barang yang cocok untuk di jadikan hadiah buat Pak Arga. Sampai lelah, aku masih belum menemukannya. Menyerah, tentu tidak. Aku kembali berkeliling sampai melihat sebuah bunga yang di awetkan. Bunga edelwais yang memiliki arti keabadian.
Aku masuk ke toko itu dan melihatnya. Selama ini, aku belum pernah melihat bunga yang di awetkan secantik ini. Aku memilihnya karena selama ini Pak Arga masih begitu mencintai Ibu Heni. Meski mereka tidak bisa bersama kembali karena sudah beda dunia. Bunga ini sebagai lambang keabadian cinta mereka.
[ Bisa bertemu? Aku Mira. ]
Selesai membeli kado itu. Sebuah restoran di samping mall menjadi tujuanku. Di mana Tante Mira sudah menungguku di sana. Aku kembali berpapasan dengan Leona, tapi dia sendiri tidak dengan Mada.
Mataku memindai sekeliling tapi tidak terlihat juga suamiku itu. Niatku menghindar, tapi Leona mendekat padaku. Sisi lembut dan ceria yang dia tunjukan di depan Mada sudah hilang entah kemana.
"Aku akan merebutnya darimu."
"Silahkan saja jika bisa."
"Kau begitu sombong. Benar kata Seli, kau tidak tahu malu dan hanya bisa menjadi benalu bagi pria di sisimu."
Mendengar nama Seli disebut oleh Leona membuat aku tersenyum. Memang circle pertemanan sangat berpengaruh pada sifat seseorang. Seli dan Leona sama, sama-sama suka dengan pria kaya dan tampan. Meski pun pria itu sudah memiliki istri.
"Kalian di sini?"
Kami menoleh ke arah yang sama di mana Mada baru saja datang dengan sebuah tas belanja. Jika dari merek, itu adalah tas belanja dari butik ternama.
"Terima kasih sudah membelikannya untukku," kata Leona yang langsung mengambil tas belanja dari tangan Mada.
"Sama-sama. Heera, apa kita bisa pulang sekarang?"
"Kalian pulang saja dulu. Aku masih ada janji. Aku permisi."
Tanpa peduli dengan panggilan Mada. Aku terus berjalan menjauh. Aku tidak ingin Mada sampai melihat jika mataku sudah berair dan siap ditumpahkan kapan saja.
Di dalam toilet aku duduk sembari terdiam dengan air mata yang mulai menetes. Aku tidak bisa terus menerus merasa kuat. Apa lagi aku memang tidak kuat menahan rasa ini.
Baru saja aku merasa diterima dan dicintai, kini aku harus merasakan semua ini. Ini bukan akhir, ini awal yang akan sangat menyakitkan bagiku. Leona akan tinggal di apartemen kami entah sampai kapan. Apa aku kuat atau tidak, aku hanya bisa berharap jika cinta itu benar-benar ada diantara aku dan Mada.
Tante Mira duduk di kafe dengan satu cangkir kopi menemaninya. Dia membawa sebuah kotak berwarna hitam di sisinya. Entah apa isinya, aku tidak mungkin menanyakannya.
"Kamu habis menangis?" tanya Tante Mira saat dia melepas pelukannya dariku.
"Tidak. Aku hanya kelilipan."
Aku tidak tahu tante Mira akan tahu secepat ini jika aku baru saja menangis.
"Jika ada apa-apa katakan saja. Jangan disimpan sendiri."
"Baik, Tante."
"Kamu bisa menganggap aku seperti ibumu."
Kalimat itu hampir saja membuat aku menangis. Kasih sayang seorang ibu, di mana aku belum pernah mendapatkannya. Tante Mira menggenggam tanganku dengan erat.
"Kamu anak hebat."
"Biasa saja tante."
Aku kira ada hal apa tante Mira meminta bertemu. Ternyata dia hanya ingin menikmati waktu bersama denganku. Banyak hal tentang ibu Heni yang tante Mira ceritakan. Terasa begitu nyata dan aku ada di sana, padahal aku belum pernah bertemu dengan ibu Heni secara langsung.
Obrolan hangat itu terus berlanjut. Bahkan aku sampai lupa akan rasa sakit yang baru saja aku rasakan karena Leona dan Mada. Ternyata keluarga bisa menjadi penguat hati itu memang benar.
"Aku bawakan ini. Ini gaun yang sangat disukai oleh ibumu."
"Kenapa tante memberikan ini padaku?"
"Memang seharusnya ini jadi milikmu. Terimalah."
"Terima kasih, Tante."
"Jangan sungkan."
Tante Mira melihat jam tangannya.
"Maaf sekali Heera. Pertemuan ini harus berakhir. Tante ada jam praktek setelah ini."
"Tidak apa-apa tante. Kita bisa bertemu lain kali."
"Benar juga. Aku akan merindukan kamu."