NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suami Sialan dan Bantuan Diam - Diam...

Mobil jemputan proyek berhenti di depan rumah. Rania turun pelan-pelan, masih pucat. Kepala sedikit pening. Ia bahkan tak sanggup menyetir sendiri hari ini. Beruntung Pak Rudi menawarkan untuk diantar mobil jemputan, mengantarkan hingga ke depan rumah.

Selesai memastikan Rania sudah turun dengan selamat, supir proyek itu pamit, meninggalkannya sendirian.

Udara malam terasa pekat. Sepatu haknya beradu dengan lantai teras yang dingin.Tangannya sempat ragu memutar kunci. Tapi ia tetap harus masuk. Mau Tak mau.

Di dalam rumah, sunyi.

Hanya suara jam dinding berdetak pelan.

Rania melangkah pelan ke ruang tengah. Pandangannya langsung jatuh ke meja makan.

Piring-piring kotor menumpuk. Ada sisa lauk mewah di sana: rendang, sate ayam, sayur gurih. Aroma yang seharusnya membuat lapar, justru membuat hatinya nyeri.

"Lucu sekali", batinnya."Seharian aku tidak makan apa-apa. Perutku melilit sampai jatuh pingsan. Tapi di rumah ini… rumah ini selalu penuh wangi makanan. Wangi yang bukan untukku."

Ia berdiri mematung beberapa detik. Menelan ludah, mencoba menahan getir yang menggenang di tenggorokan. Diagnosa dokter berputar di kepala. Kurang gizi dan nutrisi, kontras dengan kondisi rumahnya yang banyak sisa makanan. Kontras dengan statusnya yang menantu orang kaya. Ironis.

Tak lama, suara langkah terdengar dari arah kamar. Niko keluar sambil menguap. Rambutnya acak-acakan, memakai kaos tidur. Wangi parfum samar masih menempel.

“Tumben pulang cepat,?” tanyanya datar. Tatapannya turun-naik, menilai penampilan istrinya.

“Izin pulang duluan, capek,” jawab Rania singkat, membuka tasnya dan meletakkannya di kursi. Tak payah memberi tahu suaminya itu bahwa dia pingsan untuk yang kedua kalinya di tempat kerja.

Niko menoleh ke meja, lalu kembali menatap Rania. “Kamu kucel, kayak nggak keurus." ucapnya, Nadanya ketus.

Rania berhenti di tempat. Menoleh pelan. “Kamu emang nggak ngurus aku kan? Makanya aku nggak keurus” balas Rania tidak kalah ketus. "Tapi jangan khawatir, nanti aku urus diriku sendiri."

“Punya duit dari mana?” Niko menyandarkan bahu di dinding, menyilangkan tangan di dada. ”Jangan - jangan kamu mau merangkap jadi tukang ya?" ejeknya.

Rania tertawa miris, “Lantas?" Wanita itu menatap dingin suaminya. "Apa hubungannya denganmu?... Selama aku tidak meminta darimu, kamu tidak perlu tahu uangnya darimana, kan?"

Niko menyipitkan mata, mendekat. Dari dekat, ia memandang Rania dari atas sampai bawah. “Ya ampun, Ran… ya tetap aja. Mau serapi apa pun kamu tetap aja bau proyek, bau keringat." ucap Niko, memandang Rania remeh. "Kamu tuh… udah nggak kayak perempuan. Lihat Wulan tuh, udah wangi, rapih. Enak dilihat.”

Ucapan itu seperti pisau. Menyayat.

Tapi Rania hanya tersenyum tipis, dingin. “Wangi?” ulang Rania pelan. "Apanya yang wangi? Parfumnya yang wangi… atau tubuhnya, Nik? Kamu bisa bedain nggak?”

Wajah Niko langsung memerah. “Rani, jaga mulutmu!”

“Kenapa? Tersinggung,?” Nada suara Rania datar. Tatapannya tak bergeming. “Aku capek, Nik. Kalau memang kamu mau perempuan yang cantik, wangi, ngurus rumah, ya udah… gantian kamu aja yang kerja di proyek. Biar aku yang duduk di rumah, masak, dandan.”

Niko mendengus, tertawa sinis. “Halah… alasan.”

Rania sinis menatap Niko, "Alasan katamu?" tanyanya dengan gigi gemeretak. "Aku panas - panasan di proyek itu gara - gara ulah siapa?... kamu yang makan duit haramnya dengan Wulan, dan aku yang harus menerima semua tanggung jawabnya. Lalu.... sekarang kamu mempermasalahkan bau keringatku?"

Niko berdecih, memalingkan muka.

Rania tak melanjutkan. Ia berbalik, melangkah ke dapur. Membuka lemari, mencari sesuatu...apa pun, untuk dimakan.

Tak ada. Hanya ada gula.

Akhirnya ia menuang sedikit ke cangkir, dicampur teh dan air panas, membuat teh manis seadanya.

Sambil menunggu sedikit hangat, ia bersandar di meja dapur. Matanya panas. Tapi ia tak mau menangis di depan Niko.

Setelah meminum habis tehnya, Rania pergi mandi. Tubuhnya yang letih seperti dihempaskan air.

Keluar dari kamar mandi, ia tak masuk ke kamar utama. Ia justru melangkah ke kamar Ibra. Kosong. Sunyi. Anak tirinya itu sedang menginap di rumah ibunya. Ibra sempat mengirimkan pesan padanya tadi.

Ia merebahkan tubuh di sana, memeluk bantal kecil Ibra, berharap rasa sakit di dadanya reda.

Sebelum tidur, ia mengecek saldo rekening. Nol. Tak ada satu rupiah pun. Napasnya sesak. Wanita itu menghela napas dalam. Lelah.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, tak lama kemudian bel rumah berbunyi. Kencang.

“Ran! Bukain pintu!” teriak Niko dari ruang tengah.

Dengan malas, Rania turun. Membuka pintu. Di depan, berdiri seorang kurir membawa dua kotak besar berisi makanan.

“Permisi, Bu. Kiriman untuk Bu Rania,” katanya sopan.

“Untuk saya?” Rania memandang bingung.

“Iya, Bu. Dari proyek Atmadja Holdings,” jelas kurir itu.

Rania tercekat. Atmadja?

“Oh, iya. Terima kasih.” Ia mengambil kotak-kotak itu, menahan senyum yang nyaris pecah.

Begitu pintu ditutup, Niko yang menyusul langsung bertanya, “Makanan mahal ya... dari siapa itu?”

Rania menoleh, datar. “Dari kantor. Buat aku.”

“Ya bagi lah,” pinta Niko, wajahnya berbinar.

“Tidak." Jawaban Rania tegas. “Ini untukku.”

Ia membawa kotak itu masuk ke kamar Ibra. Duduk di lantai, membuka kotak satu per satu. Aroma hangat masakan memenuhi ruangan.

Tangannya gemetar ketika mengambil suapan pertama. Bibirnya tersenyum. Tapi di saat yang sama, air matanya jatuh, diam-diam.

Askara…

Nama itu semakin menancap di hatinya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malam itu Rania tertidur dengan perut kenyang, tapi hatinya entah kenapa terasa berat.

Ia tidak tahu kapan terakhir kali merasakan kenyang seperti itu. Tidak ada doa panjang, tidak ada harapan muluk. Hanya tidur. Tubuhnya terlalu lelah.

Pagi datang menjelang.

Matahari bahkan belum tinggi ketika suara ponselnya bergetar di meja kecil kamar Ibra.

Nomor tak dikenal. Rania mengerjap pelan sebelum mengangkat.

“Bu Rania? Saya Rudi. Ada mobil jemputan proyek yang akan menjemput Ibu pagi ini. Kita semua diminta datang ke kantor pusat untuk rapat.” ucap Pak Rudi di seberang.

Rania sempat terdiam, mencoba mencerna. “Kantor pusat?”

“Iya, Bu. Rapat dadakan. Tapi jangan khawatir, mobil jemputannya sudah di jalan, mungkin sebentar lagi sudah sampai .”

Panggilan itu tak lama, Pak Rudi mengucapkan terima kasih singkat, lalu memutuskan panggilan.

Rania duduk di tepi ranjang. Menatap kosong. Dalam hati ia lega, tak perlu pusing memikirkan bensin mobil atau ongkos. Uangnya benar-benar tidak ada. Dompetnya kosong melompong.

Mobil jemputan datang tak lama kemudian.

Rania mengenakan kemeja sederhana yang sudah disetrika malam sebelumnya. Rambut dikuncir rapi. Tak ada make-up selain bedak tipis.

Sepanjang perjalanan ia hanya diam, menatap keluar jendela. Dalam hati ia berusaha keras untuk tidak berharap apa pun.

Tapi sesekali, nama itu muncul juga. Askara.

Sampai di kantor pusat Atmadja Holdings, Rania diturunkan tepat di depan pintu lobi.

Gedung tinggi itu terlihat semakin menjulang, dingin, megah. Rania menunduk saat masuk, seolah tak ingin menonjol.

Belum sempat ia ke ruang rapat yang menjadi tujuan, telepon di saku bergetar lagi. Nomor internal kantor.

“Halo, Bu Rania?” suara perempuan ramah di seberang. “Mohon Ibu ke bagian keuangan dulu ya. Ada dokumen yang harus ditandatangani.”

“Sekarang?”

“Iya, Bu. Di lantai tiga. Saya tunggu.", lalu klik. Panggilan itu di akhiri, menempatkan Rania dalam posisi kebingungan. Entah untuk apa ia dipanggil oleh bagian keuangan.

Rania sampai beberapa menit kemudian. Ruang keuangan terasa sunyi dan dingin.

Seorang staf wanita menyambut Rania dengan senyum sopan.

“Silakan duduk, Bu.” ujarnya

Di atas meja ada beberapa berkas. “Ini dokumen kontrak dan gaji pertama Ibu. Tolong dibaca dan ditandatangani.”, terang wanita itu.

Rania mengernyit. “Maaf… gaji?”

“Iya, Bu. Mulai hari ini Ibu sudah resmi terdaftar sebagai pegawai kontrak proyek Atmadja Holdings. Jadi gaji bulanan akan langsung ditransfer setiap akhir bulan.”

Rania mematung. Ia bahkan belum genap seminggu bekerja. “Tapi… saya kan belum… saya pikir… saya cuma…”

Staf itu tersenyum lagi, sabar. “Tidak apa-apa, Bu. Ini sudah keputusan manajemen. Tolong tanda tangan di sini.”

Dengan tangan sedikit bergetar, Rania menandatangani. Ia menyerahkan dokumen, lalu diminta menunggu sebentar.

“Gaji Ibu akan masuk sekitar tiga puluh menit lagi,” jelas staf itu. “Kalau berkenan, Ibu bisa cek di ATM depan lobi.”

Rania mengangguk paham, berterima kasih, lalu pamit dengan dahi berkerut. Terlalu pagi untuk kejutan semanis ini... gaji?

Setengah jam kemudian, Rania berdiri di depan mesin ATM yang menempel di dinding kaca, menghadap ke jalan raya.

Begitu angka saldo muncul di layar, dadanya bergemuruh. Jumlah itu… jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan untuk pegawai kontrak.

Tangannya menutup mulut. Ada rasa hangat, campur haru. Sudah lama sekali ia tidak memegang uang sebanyak ini. Rasanya seperti diberi napas setelah tenggelam terlalu lama.

Askara.

Ia tahu siapa yang ada di balik semua ini. Tidak ada orang lain.

Sambil memasukkan beberapa lembar uang ke dompet lusuh yang sudah lama kosong, ia keluar dari area ATM. Langkahnya ringan.

Tapi detik berikutnya, langkahnya terhenti.

Di bawah rindang pohon depan lobi, ia melihat sosok yang familiar, sopir yang beberapa kali menolongnya.

Sopir itu sedang duduk di bangku, memegang kertas catatan. Masih dengan setelan jas rapi sama seperti kali pertama dan kedua mereka bertemu. Mobil hitam besar parkir tak jauh darinya.

Rania ragu sebentar, lalu memberanikan diri mendekat. “Pak…”

Sopir itu menoleh, terkejut, lalu tersenyum ramah. “Bu Rania.”

“Sedang apa di sini?” tanya Rania pelan.

“Menunggu Pak Askara. Beliau masih rapat di atas,” jawab sopir itu sopan.

Tatapan Rania kemudian jatuh pada mobil hitam di dekat mereka. Mobil yang tidak asing. Ingatannya langsung melompat ke malam beberapa minggu lalu, saat mobilnya mogok di jalan, saat sebuah mobil berhenti menolong. Lalu pada saat di minimarket, saat itu.

Mobil yang sama.

“Pak…” suara Rania pelan, tercekat, “… mobil ini…”

Sopir itu menatapnya, seperti mengerti.

“Jangan bilang…” Rania menelan ludah. “Jangan bilang… selama ini yang menolong saya itu…”

Sopir itu tersenyum, mengangguk kecil. “Iya, Bu. Pak Askara sendiri yang minta saya untuk menolong Ibu waktu itu. Bapak belum pernah cerita?”

Rania terdiam. Bagian dadanya seperti diikat kuat.

Jadi benar… semua bantuan diam-diam itu… berasal dari Askara.

(Bersambung)...

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!