Niara yang sangat percaya dengan cinta dan kesetiaan kekasihnya Reino, sangat terkejut ketika mendapati kabar jika kekasihnya akan menikahi wanita lain. Kata putus yang selalu jadi ucapan Niara ketika keduanya bertengkar, menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Reino yang di paksa nikah, ternyata masih sangat mencintai Niara.
Sedangkan, Niara menerima lamaran seorang Pria yang sudah ia kenal sejak lama untuk melupakan Reino. Namun, sebuah tragedi terjadi ketika Reino datang ke acara pernikahan Niara. Reino menunjukkan beberapa video tak pantas saat menjalin hubungan bersama Niara di masa lalu. Bahkan, mengancam akan bunuh diri di tempat Pernikahan.
Akankah calon suami Niara masih mempertahankan pernikahan ini?
🍁jangan lupa like, coment, vote dan bintang 🌟🌟🌟🌟🌟 ya 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Menolak seperti nya sudah tak bisa. Aku sudah disudutkan dengan berbagai hal. Reino yang terusan menerorku, Pak Ridwan yang sudah blak-blakan mengatakan jika aku calon istrinya, Ibu dan Ayahku yang sangat antusias menyusun acara pernikahan. Lagipula, setelah aku jujur dengan Pak Ridwan tentang kekuranganku, dia bahkan tak mundur sejengkal pun. Dia masih ingin menikah denganku. Aku hanya perlu meluluhkan hati anak sulungnya, yang mungkin bila nantinya sudah terbiasa bersama, perlahan bisa menyayangiku.
BAB 22 ( Calon Anak Tiri )
Pernikahan tinggal menghitung hari. Semua surat untuk pengajuan pernikahan sudah disiapkan. Ibuku yang mengurusnya semua. Karena Pak Ridwan dan aku sibuk dengan pekerjaan di Pabrik mengejar deadline pengiriman barang.
Siang ini, Pak Ridwan memintaku untuk segera membuat surat resign. Namun, setelah aku ajukan, seperti biasa Pak Septo menolaknya. Dengan alasan sampai kelar pengurusan barang hingga akhir tahun. Pak Ridwan pun tidak bisa membantah. Meskipun keduanya memiliki jabatan yang sama. Pak Ridwan, tetaplah junior Pak Septo.
Undangan mulai disebar, semua karyawan di Pabrik mendapatkannya. Aku dan Pak Ridwan jadi perbincangan hangat setiap hari di Pabrik. Hingga aku tidak berani makan di kantin, dan membawa bekal dari rumah.
Aku tidak pernah melihat kedatangan Reino lagi di Pabrik. Yang aku dengar dari salah satu temannya, Reino sudah pindah kerja. Aku sedikit lega. Meskipun, setiap hari masih menerorku dengan kisah lama. Tetapi, dengan tidak ada dia di Pabrik, setidaknya aku masih bisa mengabaikannya.
Setelah pulang kerja, rutinitas ku bukan kembali ke rumah sekarang. Pak Ridwan membawaku ke rumahnya, dan menyuruhku untuk dekat dengan calon kedua anak tiriku. Membantu Chika belajar, meskipun anak sulungnya tidak pernah menganggapku ada. Setiap ada kesulitan PR dan dia menanyakan pada Papanya, aku di minta untuk menjawabnya. Chika tetap menulis, jawaban yang aku dikte. Tapi dengan wajah jutek dan masam. Mungkin jika tidak ada Nael, anak keduanya. Aku sudah kabur setiap diminta kerumah ini. Nael menjadi semangatku menjadi Ibu pengganti untuknya. Nael sangat dekat denganku, dan juga tidak rewel.
“Chika, minta tolong ambilin ponsel mama Niara di meja!” ucap Pak Ridwan, memerintah anak sulungnya.
“Dia bukan mamaku,” sahut Chika dengan ketus. Namun, dia tetap melakukan perintah Papanya.
“Kan sebentar lagi akan jadi mamamu, kamu harus terbiasa.” ujar Pak Ridwan. Chika mengernyit, dan menaruh ponselku di pangkuanku. Terkadang gemas juga dengan tingkahnya, dia tidak pernah membangkang. Tetapi, hanya selalu jutek padaku.
Aku menarik tangan Chika hingga jatuh di pangkuanku. Kemudian aku peluk erat. Pak Ridwan tertawa melihat tingkahku. Sedang, Chika memukul tanganku terus menerus. Merengek, memintaku untuk melepaskannya. Aku semakin memeluknya erat. Mencium kedua pipinya.
“Ih, bekas lipstik. Aku nggak suka! Papa!” teriaknya. Pak Ridwan masih terus tertawa, melihat anaknya ditahan olehku.
“Tante sayang Chika,” ucapku. Chika masih mencoba melepaskan diri dari pelukanku. Aku pun akhirnya melepaskannya. Setelah itu, Chika berlari ke arah Papanya. Memukul Papanya berulang kali karena tidak membelanya. Giliran aku yang tertawa melihat Pak Ridwan kelabakan menangkis pukulan dari anak sulungnya.
Ponselku berdering, aku melihat nomor tanpa nama di layar. Aku mendengus kesal. Teror Reino merusak tawaku. Semuanya menjadi hening.
“Siapa?” tanya Pak Ridwan mendekat . Dia mengambil ponselku dan mengangkat telepon itu.
“Hallo!” Pak Ridwan menyahuti dengan lantang. Namun, tidak ada jawaban disana. Aku langsung merebutnya dan mematikan telepon.
“Sudah matikan saja, dia memang selalu menerorku,” ucapku.
“Reino?” tanya Pak Ridwan, aku mengangguk.
“Besok ganti nomor telepon saja!” usul Pak Ridwan. Memberikan ponsel di sakunya. “pake hp yang ini, yang lama biar aku urus!” imbuh Pak Ridwan. Akupun menurutinya.
Pukul 10 malam, Pak Ridwan mengantarku pulang. Tulang-tulang di pinggang rasanya mau patah. Terbiasa, pulang kerja langsung rebahan. Sekarang, bolak-balik ke rumah Pak Ridwan.
“Besok kita datangi rumahnya,” ucap Pak Ridwan yang tiba-tiba.
“Rumah siapa?”
“Rumah Reino, katakan pada istrinya jika suaminya mengganggu,” Pak Ridwan terlihat masih kesal. Aku hanya mengangguk, tak bisa berkata-kata.
Setelah sampai di depan pintu pagar rumahku, Pak Ridwan melarangku untuk keluar dari mobil. Menahanku dengan memelukku erat.
“Aku capek, belum juga mandi.” keluhku, mendorong dadanya. Pak Ridwan semakin memelukku erat.
“Aku ingin seperti ini sebentar lagi,” ucapnya.
“Sebentar lagi juga menikah, kamu nantinya juga akan bosan melihatku setiap hari,” ujarku.
“Nggak juga, aku bukan tipikal yang mudah bosan,” sanggahnya.
“Besok juga ketemu lagi, kamu nggak capek seharian kerja. Antar jemput aku, belum ngurusin anak-anak. Lebih baik kamu segera pulang dan istirahat,” ucapku.
“Kalau sampai dirumah, aku merasa kesepian.” Pak Ridwan, mencium kedua pipiku. Aku mencoba mengelak. Namun, tangannya terlalu kuat untuk menahanku.
Pada akhirnya, dia tetap mencapai tujuannya. Tidak melepaskan bibirku. Aku jadi terbawa suasana dan tidak bisa mengelak lagi.
PYAARRRR
Suara pecahan di kaca jendela mobil kursi belakang mengagetkan kami. Sontak Pak Ridwan langsung melepaskan tanganku. Terlihat seorang Pria dengan motor hitam, berjaket hitam dan berhelm gelap baru saja melempar sesuatu ke kaca mobil Pak Ridwan. Aku sampai ketakutan, dan segera keluar dari mobil. Begitupun, Pak Ridwan.
Aku langsung masuk kedalam rumah, memanggil Ayahku meminta bantuan. Ayahku berlari segera melihat apa yang terjadi. Pak Ridwan membuka pintu belakang, dan melihat sebuah batu besar yang terbungkus koran. Pak Ridwan langsung membuangnya. Rasa khawatir kami sedikit hilang. Takut jika itu b*m.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Ayahku. Aku menggeleng karena tidak tahu. Sedang Pak Ridwan sibuk menelpon seseorang.
Beberapa saat kemudian mobil hitam datang. Dua orang teman Pak Ridwan mendekat. Pak Ridwan menunjukkan kondisi mobilnya. Setelah itu, mobil derek datang membawa mobil Pak Ridwan ke bengkel.
“Aku pulang dulu,” pamit Pak Ridwan. Dia bersalaman dengan Ayahku, lalu masuk kedalam mobil temannya.
Jantungku masih berdebar. Aku sangat shock dengan kejadian tadi. Aku lekas masuk kedalam, dan mengunci pagar.
“Apa mungkin Reino yang melakukannya?” aku menggumam. Pikiranku tak tenang saat ini. Mungkin karena Reino tahu, ponselku tidak ada di tanganku. Jadi dia mencari cara lain untuk menerorku. Aku takut jika Reino semakin menggila dan akan melakukan hal lebih dari ini.
Belum 10 menit Pak Ridwan pergi. Aku sudah menelponnya berulang kali. Cemas dengan keselamatannya. Namun, tidak ada jawaban.
mana main!!!!
tarik atuh!
nanti giliran di tinggal istri baru sesak nafas.
Kau yang lebih terluka.
gak bisa diginiin:(
bunga for you nael
btw bikin Reno mati atuh Thor
Thor...bawa reoni kesini!!
gak bisa gak bisa!
apaan baru baca udah ada yang mati:>
ihh pengen cubit ginjal nya
thor cerita mu tak bisa d tebak.
kerenn bangeettt 👍👍👍