Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Api dalam Kegelapan
Malam Sebelum Penyerangan
Malam itu langit Linzhou diliputi awan pekat. Angin dingin berembus dari pegunungan utara, membawa kabar buruk dan udara penuh ketegangan.
Di dalam sebuah rumah tua di pinggir kota, Qianru berdiri menghadap peta strategi yang digelar di lantai, dikelilingi oleh anggota Pasukan Bayangan dan beberapa warga lokal yang diam-diam menentang kekuasaan Gu Yong’an.
“Gudang utama senjata berada di sisi barat kota. Tapi jalurnya dijaga ketat oleh para tentara bayaran,” kata Rui Lan, pemimpin Pasukan Bayangan, sambil menunjuk peta.
Qianru menatap tajam. “Kalau begitu, kita buat dua tim. Tim pertama menyusup dan membakar gudang. Tim kedua menciptakan keributan di sisi timur kota untuk mengalihkan perhatian.”
Semua menoleh padanya. Rencana itu berani, namun berisiko tinggi. Tapi keberanian Qianru tak terbantahkan.
Dulu ia adalah selir yang tak diperhitungkan. Kini, setiap kata-katanya bagaikan perintah jenderal perang.
Saat menyiapkan peralatan, Qianru melihat pantulan wajahnya dalam cermin tua. Luka di pipinya belum sepenuhnya sembuh. Namun matanya... penuh cahaya perlawanan.
Kilasan masa lalu menghampiri—saat dirinya masih bernama Mila. Gadis biasa dari dunia modern yang takut darah dan sering pingsan hanya karena disuntik. Tapi sekarang? Ia memimpin pasukan untuk membakar gudang senjata pengkhianat kerajaan.
"Kalau aku dulu bisa bangkit dari keterpurukan karena cinta yang salah, maka untuk keadilan ini... aku pasti bisa bertahan," gumamnya pelan.
Saat jam pasir menunjukkan tengah malam, dua tim mulai bergerak. Qianru memimpin sendiri tim penyusup. Mereka mengenakan jubah hitam, menyusup melalui kanal air yang melintasi bawah tanah kota Linzhou.
Saat tiba di dekat gudang senjata, mereka melihat penjagaan berlapis. Qianru mengangkat tangan, memberi isyarat.
Tiga orang pemanah diam-diam menjatuhkan penjaga dari kejauhan, sementara yang lain menyebar mengelilingi bangunan.
Dengan kecepatan dan ketepatan, mereka masuk ke dalam gudang dan mulai menabur bubuk mesiu yang dicampur minyak ikan—kombinasi pembakar paling cepat di malam dingin.
Namun belum sempat mereka selesai, suara teriakan terdengar.
“SERBU! ADA PENYUSUP!”
Mereka ketahuan
Pertempuran sengit pun terjadi. Qianru bertarung dengan dua penjaga bersenjata panjang. Gerakannya lincah, matanya tajam. Ia menangkis, berputar, dan menghantam dengan kekuatan yang mengejutkan musuh.
Rui Lan dan tim pengalihan juga berhasil memancing pasukan utama keluar dari pos barat, membuka celah untuk melarikan diri. Tapi Qianru tidak mundur.
“Bakar sekarang!” teriaknya sambil menendang lentera ke arah dinding yang telah disiram minyak.
Dalam sekejap, api menyala hebat. Gudang meledak, membakar persenjataan milik Gu Yong’an.
Sementara itu, di dalam istana, Kaisar Liu menerima laporan dari utusan rahasia bahwa pasukan Gu Yong’an mulai bergerak ke utara, menyusul kepergian Qianru yang kabarnya masih hidup.
“Dia pasti panik,” kata Kaisar. “Saat dia sadar semuanya sudah terbakar, dia akan kembali. Dan saat itu, kita siap menangkapnya.”
Namun Permaisuri tampak gelisah. Di kamarnya yang penuh bunga plum, ia meremas cangkir tehnya.
“Aku sudah kehilangan kendali...” bisiknya. “Gu Yong’an... kau bilang semuanya akan beres…”
Qianru Selamat, Tapi Tidak Tanpa Luka
Qianru berhasil melarikan diri bersama timnya melalui hutan bambu. Namun satu anak muda dari timnya, Xiao Fei, terkena panah dan terluka parah. Di dalam pelarian, Qianru memeluk tubuh bocah itu yang penuh darah.
“Maaf, ini salahku...” ucapnya lirih.
Xiao Fei tersenyum lemah. “Tidak, Nona Qianru. Aku... bangga... ikut bersamamu...”
Itu adalah kata-kata terakhirnya.
Qianru menutup mata anak itu dan menguburkannya dengan tangannya sendiri. Di bawah sinar bulan, ia bersumpah:
“Tidak akan ada lagi nyawa sia-sia. Semua akan kubayar... dengan kebenaran.”
Gudang senjata musuh telah dibakar. Satu langkah kemenangan sudah di tangan. Namun harga yang harus dibayar pun tinggi. Qianru kehilangan anak buah, dan Gu Yong’an kini akan bertindak lebih ganas.
Kota Linzhou diliputi asap dan kekacauan. Gudang senjata yang terbakar semalam membuat para penjaga kalang kabut. Di salah satu aula rahasia milik Gu Yong’an, suara bantingan terdengar keras. Peta di atas meja terlempar ke lantai, dan wajah Gu Yong’an memerah karena amarah.
“Beraninya mereka menyentuh milik keluarga Gu!” raungnya. “Itu pasti kerjaan wanita itu—Qianru!”
Di sampingnya, Gu Yuwan, keponakan kesayangannya, menggertakkan gigi. “Paman, izinkan aku yang mengurus perempuan itu. Aku akan bawa kepalanya langsung ke istana sebagai hadiah untuk Permaisuri.”
Gu Yong’an menatapnya tajam, kemudian mengangguk.
“Bawa lima puluh orang. Tapi jangan buru-buru membunuhnya. Kita buat dia menderita. Tangkap dia hidup-hidup.” perintah Gu Yong’an
Sementara itu, di dalam istana, Kaisar Liu duduk bersama Jenderal Mo dan Zhen Gong
“Linzhou terbakar. Itu langkah pertama. Tapi perang belum selesai,” ucap Kaisar lirih.
“Yang Mulia, kami mendapat informasi bahwa Gu Yong’an telah mengirim keponakannya ke barat laut,” lapor Jenderal Mo. “Tampaknya dia akan mencoba menjebak Nona Qianru.”
Kaisar mengetukkan jari ke lengan kursinya. “Biarkan mereka. Tapi kirim dua unit Pasukan Bayangan. Kita balik jebakan mereka.”
Zhen Gong tersenyum samar. “Pancingan berdarah, Yang Mulia?”
“Benar,” jawab Kaisar. “Biarkan Qianru memimpin dari depan. Tapi pastikan dia tidak mati.”
Qianru duduk di bawah pohon cemara, mengelus gagang belatinya. Luka-luka di lengannya belum sembuh sepenuhnya, tapi semangatnya tak padam.
Rui Lan datang dengan surat segel dari istana.
“Kaisar memintamu memancing mereka, Nona Qianru. Dia akan kirim pasukan rahasia sebagai cadangan.”
Qianru membaca surat itu, lalu mengangguk pelan.
“Kalau begitu, mari kita beri mereka sesuatu untuk diikuti,” ucapnya dengan senyum tipis yang penuh makna.
Dia tahu misi ini bisa saja jadi akhir hidupnya. Tapi... dia bukan Qianru yang dulu. Bukan Mila yang takut kegagalan. Ia telah menjadi wanita yang menantang badai dengan kepalan tangan.
Lokasi pertempuran dipilih dengan cermat, yaitu di Lembah Bayangan, celah sempit yang dikelilingi tebing. Tempat yang sempurna untuk menyergap. Qianru berdiri di puncak bukit, berpura-pura sedang menyusun rencana pelarian. Gu Yuwan melihatnya dari kejauhan dan mengangkat tangan, memerintahkan anak buahnya menyerang.
Anak-anak panah mulai beterbangan. Qianru melompat turun, berlari ke arah sungai kecil, seolah hendak melarikan diri.
“Itu dia! Kejar!” teriak Gu Yuwan.
Tapi mereka tidak tahu… tebing di sekitar sudah dipenuhi pasukan istana berpakaian hitam. Begitu pasukan Gu masuk ke lembah, suara peluit panjang ditiup.
Jeritan dan suara benturan senjata menggema dari segala arah. Pasukan Gu terjepit dari atas dan bawah. Gu Yuwan yang terlatih, masih berusaha melawan, tapi jumlah mereka kalah jauh.
Qianru memutar tubuhnya, menendang dan menikam tanpa ragu. Tak ada lagi rasa takut di matanya—hanya ketegasan seorang pejuang.
Di antara kabut pertempuran, Qianru dan Gu Yuwan akhirnya saling berhadapan. Gu Yuwan menyerang lebih dulu, pedangnya menghantam keras. Qianru menangkis, berputar, lalu menendang lutut lawannya.
Mereka bertarung sengit selama beberapa menit, tubuh mereka penuh luka dan darah. Tapi pada akhirnya, keberanian dan ketekunan Qianru membuahkan hasil.
Dengan satu tusukan cepat ke bahu dan putaran lutut ke dada, Gu Yuwan jatuh tersungkur.
Qianru berdiri di atasnya, belati terangkat. Tapi ia tak membunuh.
“Bawa dia ke istana,” ucapnya pada pasukan. “Biarkan dia melihat sendiri… bagaimana kehancuran keluarganya.”
" Baik nona " seru semuanya lalu membawa semua penghianat yang tersisa.
Lembah Bayangan menjadi saksi kemenangan Qianru dan kekalahan telak pasukan Gu. Pancingan berdarah berhasil. Tapi Qianru tahu… ini belum akhir. Gu Yong’an pasti menyusun sesuatu yang lebih kejam.
Tapi satu hal sudah pasti—nama Qianru mulai menggema, bukan hanya di medan perang... tetapi juga di jantung istana.
Bersambung