"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22.
Aruna menatap Norman dengan tatapan sulit diartikan, hatinya masih bergejolak. Ia melihat wajah pucat Norman, mendengar pengakuan tantenya tentang penyakitnya.
Logikanya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan bagi Norman untuk menebus dosa-dosanya, terutama kepada Anara. Namun, emosi yang membara karena luka lama membuatnya sulit untuk menerima begitu saja.
"Sakit atau tidak, dia tetap pergi, Ami," ucap Aruna, suaranya kini lebih tenang namun menyimpan kepedihan. "Dia meninggalkan Ami sendirian, membiarkan Ami berjuang. Dan aku... aku juga ditinggalkan."
Norman menunduk, tidak berani menatap mata Aruna. "Ayah tahu, Aruna. Ayah tahu. Tidak ada kata-kata yang bisa membenarkan tindakanku. Ayah pengecut, dan ayah menyesalinya setiap hari."
"Naila kembali mendekat, mengusap punggung Aruna. "Aruna, Ami tahu ini berat bagimu. Tapi Ami juga sudah memikirkan ini masak-masak. Setidaknya, biarkan Anara mengenal ayahnya. Dia tidak akan punya banyak waktu."
Aruna menghela napas, menoleh ke arah Arza. Arza masih memegang tangannya, memberikan kekuatan. Tatapan mata Arza menenangkan, seolah berkata, "Aku di sini bersamamu." Aruna tahu Arza tidak akan menghakiminya, apa pun keputusannya.
"Anara... apakah dia tahu?" tanya Aruna pelan, suaranya melunak saat menyebut nama adiknya.
Naila mengangguk. "Anara tahu. Dia... dia butuh waktu untuk menerima. Tapi Ami rasa, dia juga memiliki hak untuk mengenal ayahnya."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Aruna menatap Norman, melihat penyesalan di wajah laki-laki itu. Ia juga menatap Ami, melihat ketulusan dalam keputusannya untuk memaafkan. Rasa sakit itu masih ada, namun perlahan, amarahnya mulai mereda, digantikan oleh rasa lelah dan kebingungan.
Saat suasana masih terasa berat, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki kecil dari arah dalam rumah.
"mama... ada siapa?"
Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua muncul dari balik pintu kamar. Matanya mengerjap polos, menatap Aruna dan Arza dengan rasa ingin tahu. Itu Anara.
Melihat Anara, seketika Aruna melupakan sejenak konflik batinnya. Ia melepaskan tangan Arza dan berlutut, merentangkan tangan. "Anara!"
Anara awalnya tampak ragu, namun begitu mengenali Aruna, senyum lebar merekah di wajahnya. "Kak Aruna!" serunya riang, lalu berlari memeluk kakaknya erat.
Aruna memeluk Anara, menyalurkan semua kerinduan yang ia pendam. Air mata kembali mengalir, kali ini air mata kebahagiaan dan kelegaan. Ia menciumi puncak kepala Anara berkali-kali.
"Kakak kangen sekali, Anara," bisik Aruna.
Anara mendongak, matanya berbinar. "Anara juga kangen Kakak! Kakak janji tidak pergi lagi, kan?"
Aruna tersenyum, mengusap pipi Anara. "Tidak, Kakak tidak akan pergi. Kakak akan sering-sering datang ke sini."
Arza yang melihat pemandangan itu tersenyum tipis. Ia lega melihat Aruna tersenyum. Pandangannya kemudian beralih ke
Norman, yang hanya berdiri diam memperhatikan interaksi mereka, dengan tatapan penuh penyesalan dan kerinduan yang tersembunyi. Seolah sadar akan pandangan Arza, Norman buru-buru memalingkan wajahnya.
Naila yang melihat kehangatan antara kedua saudara itu juga menghela napas lega. Setidaknya, pertemuan ini tidak sepenuhnya buruk. Namun, ia tahu, masih banyak yang harus dijelaskan kepada Aruna, terutama tentang keberadaan Norman di rumahnya.
Aruna masih berlutut, memeluk Anara erat. Ia mencium pipi Anara, merasakan kebahagiaan yang meluap-luap.
Kehadiran Anara seolah menjadi obat untuk luka yang baru saja terkoyak. Arza mendekat, ikut berlutut di samping Aruna.
"Hai, Anara," sapa Arza lembut.
Anara menoleh, dia melepaskan pelukannya dari Aruna sejenak dan menatap arza. "Ini siapa?"
Arza tersenyum, mengusap puncak kepala Anara. "Kenalkan, saya dokter arza, kamu bisa memanggil kakak seperti memanggil kak aruna." Anara tidak menjawab,dia berbalik menatap kembali Aruna,Aruna mengangguk dengan mantap.
Naila tersenyum melihat interaksi mereka. "Ayo, masuk ke dalam, kita duduk. Ada banyak yang perlu kita bicarakan."
Mereka berempat, Arza, Aruna, Naila, dan Anara, duduk di sofa ruang tamu. Norman masih berdiri agak jauh, di dekat pintu dapur, seolah enggan bergabung. Aruna sesekali meliriknya, rasa tidak nyaman masih menyelimuti hatinya.
"Maaf Dokter Arza, kejadian hari ini pasti membuatmu terkejut," kata Naila, menatap Arza dan Aruna bergantian."maaf membuat mu menyaksikan kerumitan keluarga kami"
Arza mengangguk. "Tidak apa-apa, ami. Saya bisa mengerti. Lagian,,, keluarga Aruna adalah keluarga saya juga."
Naila tampak penasaran dengan perkataan arza."maksud dokter arza?"
Arza tampak gugup,tapi dia memberanikan diri untuk mengatakan semua nya."sebenarnya,saya sama Aruna sudah menikah".
"Apa?" Naila terkejut, begitu pula dengan Norman,dia tidak kalah terkejut nya, bahkan gelas yang di pegang ditangan nya terjatuh. naila,arza dan Aruna hanya menoleh sebentar kearah norman,setelah itu mereka kembali melanjutkan pembicaraan mereka.
"maaf ami, berita ini pasti membuat mu terkejut"Aruna memegang tangan ami nya,dia berusaha meyakinkan Naila.
"iya,Ami memang sangat terkejut,tapi... bagaimana ini bisa terjadi,Aruna. Apakah kamu di..."
"ami jangan salah paham, kami menikah bukan karena kecelakaan atau karena dipaksa,tapi kami menikah secara baik baik dan dengan keputusan bersama" Aruna mencoba menjelaskan.
"benar,Ami. Saya sangat mencintai Aruna" mendengar perkataan mereka, Naila menghela nafas berat,dia merasa lega.
"Ami senang mendengar nya, asalkan kamu bahagia Aruna, lakukan apa yang kamu inginkan,asal tidak seperti yang Ami lakukan"Naila menunduk,dia merasa malu.
"saya janji akan menjaga Aruna sepenuh hati saya,Ami. kami meminta restu mu" Naila mengangguk,"Ami merestui kalian"
Mereka terdiam sebentar,mencerna setiap kejadian yang sangat mengejutkan ini, hingga akhirnya Naila mencoba membuka pembicaraan lagi.
"Aruna... Tentang ayah mu," Ami menghela napas. "mas Norman datang empat hari yang lalu setelah kejadian hari itu. Dia... dia bilang dia kena penyakit serius, dan umurnya tidak akan lama lagi. Dia ingin bertemu Anara, ingin meminta maaf kepada Ami dan juga kamu aruna Aruna."
"Lalu Ami langsung menerima dia?" tanya Aruna lembut.
"Tidak, Aruna. Ami tidak langsung menerima," jawab Naila ,menatap Norman yang masih berdiri mematung. "Ami mengusirnya. Tapi dia terus datang, setiap hari. Dia terlihat sangat sakit, dan dia bersikeras ingin menebus kesalahannya."
Naila melanjutkan, "Ami melihat ketulusan di matanya, Aruna. Dia sangat menyesal. Dan... Ami pikir, Anara juga berhak tahu siapa ayahnya, meski itu hanya sebentar saja. Dia selalu bertanya tentang ayahnya, dan Ami tidak punya jawaban yang memuaskan."
"Dia berjanji akan memberikan semua yang dia miliki untuk Anara, agar Anara tidak kekurangan apa pun di masa depan," tambah Naila, matanya berkaca-kaca. "Dia ingin memastikan Anara memiliki kehidupan yang lebih baik."
Aruna terdiam, mencerna semua perkataan Ami. Ada rasa pahit yang tertinggal, namun juga setitik rasa kasihan melihat kondisi Norman dan keinginan Ami untuk memaafkan. Ia melirik Norman yang kini menunduk, tidak lagi melihat ke arah mereka. Entah mengapa, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya, meskipun belum sepenuhnya hilang.
Ada keganjilan di hati nya yang harus di ungkapkan sekarang juga.
Aruna menatap Anara yang kini tertawa riang di sampingnya. Sulit membayangkan Anara harus menghadapi kenyataan ini.
"Ami," Aruna memulai, suaranya pelan namun tegas, menoleh ke arah Naila yang duduk di depannya. "Apakah Ami dan ayah... akan menikah?"