Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Maaf Dari Tragedi
Wajah pucat yang berusaha ditutupi dibalik masker, tangan yang menegang kaku mengenggam setir mobil, juga keringat dingin yang sesekali berkilauan pada pelipis serta area rambut.
Siapapun yang melihatnya, pasti akan tahu betapa takutnya pria ini pada sesuatu yang entah apa itu. Airi juga menyadari suasana aneh tersebut.
“Aku harus melupakannya, aku harus mengalahkan traumaku, aku tak boleh melakukan kesalahan yang sama, aku… aku.. aku takut.. bagaimana ini? Aku tak ingin ia melihatku seperti ini…” gumam Ryuka tanpa henti.
Airi mampu menyadari rasa takutnya, namun tidak cukup untuk mendengar gumam dibalik masker Ryuka. Merasa khawatir, ia pun mencoba menenangkannya.
“Ryuka? Ada apa? Wajahmu pucat sekali, apa kau sakit?” tanya Airi lembut, sembari menyentuh tangan Ryuka.
Sontak pria yang disentuh terbelalak, ia membanting setirnya ke area jalan yang sepi, lalu menginjak rem secara tiba-tiba.
“Argh! Jangan sentuh aku ketika sedang menyetir!” teriaknya ketakutan, napasnya tak beraturan. Ia menatap tajam pada gadis disebelahnya.
Airi menatapnya penuh tanya, terkejut diperlakukan kasar oleh Ryuka. Pria itu memang sempat kasar padanya kala kali pertama pertemuan, namun belum pernah dengan sorot mata yang begitu mengerikan seperti ini.
Setelah beberapa saat, Ryuka menyadari bahwa tindakannya membuat Airi ketakutan. Ia menenangkan diri lalu menatap Airi dengan lembut.
“Maaf membuatmu takut. Padahal aku sudah berjanji takkan pernah menyakitimu lagi. Tapi tolong ya, saat aku sedang menyetir jangan ganggu konsentrasiku. Ini demi keselamatan kita berdua.” ucap Ryuka dengan penuh penyesalan, sedikit memberi permohonan.
“Maaf, bukan maksudku mengganggumu. Tapi, aku hanya.. aku.. khawatir padamu. Wajahmu begitu pucat, dan tanganmu keras sekali menggenggam setir. Ada apa, Ryuka?” decit Airi hampir menangis, merasa bersalah.
Ryuka sedikit tertegun mendengar pernyataan itu. Ia tak menyadari bahwa tingkah anehnya dapat disadari oleh Airi. Padahal wajahnya sudah tertutup masker.
Perlahan tangannya tergerak secara otomatis mengusap rambut Airi dengan penuh kelembutan. Meski terhalang masker, kehangatan senyumannya terlihat jelas dari sorot mata.
“Maaf membuatmu khawatir. Tapi aku baik-baik saja. Hanya… sedikit belum terbiasa. Kau tahu, sejak tragedi itu aku sudah tak pernah mengendarai mobil lagi.” ungkap Ryuka dengan jujur.
Tanpa perlu diperjelas, Airi mampu memahaminya dengan mudah. Ryuka, dia.. menyimpan banyak trauma. Tentang musik, tentang perempuan, juga tentang kendaraan. Mungkin masih banyak trauma lagi yang belum Airi ketahui.
Airi dengan hangat menyentuh pipi Ryuka, tersenyum ramah.
“Tak apa, Ryuka. Tak perlu dipaksakan. Kita bisa istirahat dulu di sini hingga rasa takutmu mereda.” ucapnya menenangkan.
Ryuka mengangguk singkat.
“Terima kasih sudah memahami perasaanku,” ucapnya lembut.
“Aku beruntung mengenal perempuan sepertimu,” lanjutnya bergumam dengan suara yang hampir tak terdengar.
Airi tersenyum gemas melihat perilaku Ryuka.
“Jangan berbicara dengan suara kecil, saat mengenakan masker. Aku kan, jadi tak bisa mendengarmu.”
Kali ini Ryuka yang tersenyum gemas.
“Memang itu niatku,” ungkapnya dengan santai.
“Ih, Ryuka menyebalkan!” sentak Airi kesal.
Ryuka tertawa lepas sambil bersandar pada pintu mobil di belakangnya.
“Awas ya kau!” ancam Airi, lalu menyudutkan Ryuka, hendak membuka paksa maskernya.
Ryuka yang tersudut, hanya terpaku menatap Airi. Posisi mereka begitu dekat, tampak jelas paras cantik juga lekuk tubuh Airi yang indah.
Jantungnya berdegup kencang, terutama ketika Airi mulai menyentuhkan hidungnya pada hidung Ryuka. Fokus pria bermarga Yakuma, teralihkan pada tahi lalat kecil dibawah bibir indah Airi.
Tentu saja Ryuka terkejut dengan aksi Airi yang terlalu terang-terangan, ini kali pertama perempuan itu berani melakukannya. Namun Ryuka juga mulai menikmatinya, tak sabar menanti adegan yang paling seru.
Ketika mereka bisa saling merasakan napas satu sama lain, juga ketika bibir mereka hampir saling bersentuhan, Ryuka perlahan menyentuh pinggang Airi sudah siap untuk menerimanya.
Namun, tanpa disengaja atensi Airi teralihkan pada pemandangan diluar jendela mobil. Sebuah toko kue yang familiar baginya, ia sangat mengingat toko tersebut.
Sontak Airi memperbaiki posisi duduknya, matanya berkelana melihat lingkungan sekitar, lalu pupilnya membesar ketika menyadari satu hal.
Airi menutupi kedua mata juga telinganya dengan erat, wajahnya memucat dengan bibir yang mulai biru. Ryuka merasa heran bercampur khawatir melihat aksi Airi yang tiba-tiba.
“Airi? Ada apa? Mengapa tiba-tiba begini?” tanyanya dengan penuh kepedulian. Tangannya hendak menyentuh puncak kepala perempuan yang sedang ketakutan dihadapannya.
“Ayah! Ibu! Toko kue.. darah!” ucap Airi ketakutan.
Sontak tangan Ryuka yang belum sampai pada puncak kepala Airi, berhenti bergerak. Ia mengamati lingkungan sekitar, dan terkejut ketika menyadari hal yang sama.
Kue dan darah yang berceceran di jalan, gadis cantik yang menangisi jasad kedua orang tuanya. Jadi itu Airi!? Pantas saja tahi lalat dibawah bibirnya terasa begitu familiar.
Ryuka menyadarinya sekarang, bahwa ia adalah pelaku yang telah menancapkan trauma dalam kehidupan gadis yang ia cintai, Airi.
Betapa terkejutnya ia ketika menyadari fakta itu. Jujur saja, ia ingin mengakuinya dan meminta maaf. Namun ia takut Airi justru akan membenci dan meninggalkannya.
Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menenangkan Airi, sebagai bentuk permintaan maaf yang tak mampu terucap. Ia memeluk gadis itu dengan lembut, lalu mengusap rambut juga punggungnya.
“Airi, tenang. Ada aku di sini, kau tidak sendirian. Mari kita berjuang melawan trauma bersama.” ucapnya menenangkan.
Airi membalas dekapannya dengan amat erat, menangis di dada bidangnya. Sementara itu, Ryuka diam-diam menyembunyikan rasa pilu bercampur penyesalan.
Hatinya berulang kali menjerit minta maaf, namun tak ada satupun yang mampu ia suarakan. Ia paham betul bahwa ia telah mengingkari janji, dengan menyembunyikan fakta ini.
Sungguh menakutkan memang, mengakui kebenarannya pada gadis yang ia cinta. Menyakitkan juga disadarkan akan satu fakta, bahwa sumber trauma mereka sama. Tragedi itu.
Hanya saja yang membedakannya adalah sudut pandang mereka, Airi sebagai korban sedangkan Ryuka sebagai pelaku.
“Ryuka, maaf,” ucap Airi tiba-tiba ditengah tangisnya.
“Tadi aku menyuruhmu istirahat di sini, tapi..” lanjutnya, sedikit terpotong isak.
“Bisakah kita segera pergi dari sini?” tanyanya dengan suara yang hampir hilang.
Mendengar permintaan Airi, Ryuka tersadar bahwa dia harus melawan rasa traumanya untuk menyembuhkan trauma gadis yang ia cintai, sebagai bentuk permintaan maaf tanpa suara.
Ryuka menganggukkan kepalanya singkat, mengembalikan Airi pada posisi duduk ternyaman, memperbaiki posisi duduknya, mengenakan kembali masker hitamnya, lalu melajukan mobil setelah menghela napas memberanikan diri.
Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju toko sepatu dengan hening dan canggung, larut dalam lamunan juga perasaan masing-masing.
Airi yang masih terisak mencoba menenangkan diri, sedangkan Ryuka yang terus tenggelam akan perasaan bersalahnya. Apakah kisah cinta mereka bisa dilanjutkan? Sebelum sempat terungkapkan?