📢📢WELCOME DI ZONA BUCIN NGGAK ADA OBAT😛😛
Memiliki segalanya tak membuat Lengkara Ayudia merasa hidupnya sempurna. Paras cantik, otak cerdas, orang tua kaya raya namun jodoh yang sudah ia dapatkan sejak lahir tak pernah melihatnya sebagai wanita. Bukan karena lelaki itu tak menyukainya, tapi di mata Dirga dia seperti adik yang harus selalu dilindungi. Naas bukan? saat lelaki lain mati-matian mengejarnya dia malah repot-repot menggapai cinta tetangga depan rumah.
"Dirga, My Dirgantara.... udah cinta belum sama Kara?"
"Seperti arti nama lo, Kara. Jatuh cinta sama lo tuh Lengkara banget. Mustahil."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman rumah
“Pegangin dulu bonekanya, Ga. Gue mau turun.” Ucap Kara saat motor yang dikendarai Dirga sudah berhenti sempurna di halaman rumahnya.
“Ribet lo ah! Turun tinggal turun aja susah amat.”
“Ya kan motor lo tinggi, kaki gue kagak nyampe lah. Pegangin bentar jangan sampe jatuh.” Dirga jadi terpaksa menuruti permintaan Kara, memindahkan boneka besar itu ke depan. Namun bukannya turun si santan sasetan itu justru memeluknya dari belakang.
“Tau gini nggak usah beli boneka tadi, kan bisa nemplok lama.” Gumam Kara.
“Apa-apaan sih, Ra? Turun! Nanti diliat mami Jesi dikira kita macam-macam.”
“Biarin aja. Supaya kita cepet dikawinin.” Balas Kara.
“Eh nikah maksudnya.” Lanjutnya seraya tertawa.
“Eh nikah sama kawin apa bedanya sih? Sama aja kan yah?” Kara terus berceloteh di belakang sana.
“Turun atau gue lempar ini boneka!” kesal Dirga.
“Ish pelit banget sih, peluk dikit aja langsung kumat galaknya.” Gerutu Kara, dia langsung turun dari motor Dirga.
“Hei punggung! Awas aja kalo ada yang berani nemplok selain gue.” Lanjutnya seraya menepuk punggung Dirga setelah benar-benar turun.
“Tiap malem si Sasa nemplok di punggung gue kok.” Ucap Dirga, hampir setiap malam ia menggendong adiknya ke dalam kamar karena ketiduran di ruang TV.
“Kalo si micin pengecualian, dia kan adek gue juga.” Balas Kara.
“Terserah lo deh, Ra. Nih boneka lo.” Dirga memberikan boneka pink jumbo itu dengan sedikit melempar. Dia sudah ingin buru-buru balik kanan ke rumahnya sendiri. Beberapa jam bersama Kara membuat telinganya panas, gadis itu benar-benar cerewet. Melebihi adiknya yang menurutnya sudah sangat-sangat cerewet, di tambah lagi sifat tak mau kalahnya yang selalu membuat Dirga kesal.
“Jangan kasar dong sama cooky, Ga.” Kara memeluk bonekanya, sesekali mencium telinga berdiri boneka itu.
“Ini kan hadiah pertama dari lo, jadi bakal gue jaga sepenuh hati. Makasih yah, Ga.” Setiap ulang tahun Kara selalu mendapat hadiah atas nama Dirga yang diberikan oleh mommy Miya, tapi ia tau betul semua benda itu dibeli oleh mommy Miya bukan Dirga.
“Hei cooky mulai sekarang lo gue kasih nama Dirdiran. Bagus nggak Ga namanya?” tanyanya pada Dirga.
Dirga menahan senyum melihat tingkah Kara yang sejak tadi berbicara dengan bonekanya.
“Childish banget sih lo, Ra. Boneka aja lo kasih nama. Tapi kok lo lucu, ngegemesin banget kalo lagi kayak gitu sih?” batinnya seraya melihat Kara yang masih memeluk boneka jumbonya, bahkan ia sampai tak sadar ikut tersenyum saat gadis di hadapannya tersenyum manis memamerkan deretan gigi putihnya.
“Berarti setuju yah namanya Dirdiran, Ga? Bakal gue peluk tiap tidur.” Kara makin erat memeluk bonekanya.
“Biar berasa tidur sama lo haha.” Lanjutnya yang kemudian tertawa sendiri.
“Terserah lo deh, Ra. Gue mau balik, masuk sana.” Ucap Dirga.
Kara menarik ujung baju Dirga saat lelaki jangkung itu hendak menaikan standar motornya.
“Apa lagi?”
“Laper.” Ucap Kara dengan cemberut.
Dirga berdecak kesal, dia kembali menurunkan standar motornya.
“Lo laper?” tanyanya dan Kara mengangguk.
“Ya udah tinggal balik kanan masuk rumah, terus makan.” Ucapnya seraya mendorong tubuh Kara supaya cepat masuk rumah, namun gadis itu masih saja mematung di tempatnya dan kian memanyunkan bibir.
“Apa lagi sih, Ra? Gue udah cape nih.”
“Katanya tadi mau bikinin gue seblak. Mana? Gue laper nih.” Ucap Kara.
Andai tak sedang memakai helm, Dirga pasti sudah menjambak rambutnya sendiri karena kesal. Seblak? Astaga masih inget aja itu bocah.
“Lain kali gue bikinin, sekarang lo makan nasi aja gih. Mami Jesi pasti udah masak makan siang. Lagian lo lagi dapet, nggak boleh makan pedes.”
“Tapi katanya tadi mau dibikinin seblak yang nggak pedes?”
“Iya iya iya.” Akhirnya Dirga memilih mengiyakan permintaan Kara.
“Tapi gue balik dulu ntar kesini lagi.” Lanjutnya.
Kara mencabut kunci motor Dirga dan memasukannya ke dalam saku, “sekarang aja. Kalo pulang dulu ntar lo nggak balik lagi. Tukang PHP!”
“Terserah lo aja deh, Ra. Lagian rumah gue deket. Gue jalan kaki juga bisa.” Ejek Dirga yang melepas helm kemudian turun dari motornya.
“Titip motor gue yah, jangan lupa masukin garasi. Kalo lo nggak bisa minta tolong Ridwan.” Ucapnya seraya melenggang meninggalkan rumah Kara.
“Dirgantara!!” teriak Kara geram. Ia sudah membuka sepatu kirinya dan langsung melemparkannya pada Dirga.
“Kena lo! Syukurin.” Dia tertawa puas di belakang sana.
“Santan sachetan nggak ada akhlak dasar!” Dirga mengambil sepatu yang baru saja mengenai punggungnya untuk di lempar lebih jauh, namun brio hitam yang berhenti tepat di hadapannya membuat dia mengurungkan niat.
“Lo?” ucapnya saat mendapati lelaki dibalik kemudi yang baru saja menurunkan kaca mobilnya.
“Siang, Bang. Wah ternyata bener ini rumahnya yah.” Tama tersenyum ramah.
“Abang mau kemana bawa-bawa sepatu cuma sebelah?” Tanya Tama yang melihat ada sepatu di tangan kanan Dirga.
“Abang abang abang!” gerutu Dirga, kesal sekali hari ini dirinya terus-terusan di panggil abang. Tadi Lengkara dan sekarang si murid baru menyebalkan.
“Gue bukan abang lo!” ketusnya.
“Yah kan kakaknya Lengkara, jadi abang gue juga dong. Secara gue kan calon pacarnya Kara.” Ucap Tama.
“Dirga sepatu gue.” Teriak Kara dari belakang sana. Dirga hanya menengok sekilas, gadis itu sedang berjalan dengan sedikit berjinjit menghampirinya.
“Balikin ih!” Kara merebut sepatunya.
“Makanya jangan suka lempar-lempar sepatu. Kebiasaan banget!” ucap Dirga.
“Ya maaf, abis lo ngeselin.” Balas Kara yang meletakan sepatunya di bawah dan memakainya dengan asal.
“Tumben nggak langsung cabut, ngobrol sama siapa sih?”
“Lengkara hai…” Sapa Tama.
“Tama?” ucap Kara.
“Iya gue.” Balas Tama seraya turun dan bersandar di mobilnya.
“Jaket, celana olahraga sama helm lo ketinggalan di mobil gue. Jadi gue kesini nganterin.”
“Bentar gue ambil yah.” Tama membuka pintu belakang mobilnya dan mengambil barang-barang Kara.
“Wah makasih, Tama. Padahal besok aja di sekolah nggak apa-apa. Malah jadi ngerepotin lo sampe harus nganterin kesini.” Ucap Kara, dia hendak menyusul Tama dan mengambil barang-barangnya namun Dirga sudah lebih dulu merangkul bahunya.
“Nggak usah kecentilan. Diem!” bisiknya.
“Nggak apa-apa, Ra. Selow aja, tadi gue nyusul ke kelas lo udah nggak ada. Jadi gue Tanya alamat rumah lo aja ke Dila terus gue anterin ke sini. Lumayan sekalian kenalan sama calon mertua.” Ucap Tama.
“Calon mertua? Jangan ngarep. Papinya galak.” Ucap Dirga.
“Iya Bang. Gue yakin papinya galak, lah kakaknya aja galak.” Balas Tama.
“Tapi nggak apa-apa, gue nggak bakal mundur. Ya kan, Ra?” lanjutnya seraya mengedipkan mata pada Kara.
“Nih barang-barang lo.” Tama memberikan helm dan lainnya.
“Makasih.” Bukan Kara yang menerimanya justru Dirga yang lebih dulu mengambilnya.
“Sama-sama, Bang.” Jawab Tama.
“Btw ini gue nggak di suruh masuk dulu, bang?” lanjutnya.
“Nggak! Lo balik aja sana.” Ketus Dirga.
“Eh tapi kan…” ucap Kara lirih.
“Diem!” ucap Dirga dengan tatapan tajamnya yang seketika membuat Kara bungkam.
“Makasih yah Tama, udah nganterin barang-barang gue.” Alih-alih membiarkan Tama masuk untuk sekedar minum jus, hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir Kara.
“Sama-sama, Ra. Gue balik dulu, besok berangkat gue jemput yah.” Pamitnya.
“Bang, titip calon pacar gue yah. Jangan sampe ada yang ngapel selain gue.” Lanjutnya pada Dirga.
“Adek gue dilarang pacaran! Nggak usah jemput-jemput!” ucapnya pada Tama yang hanya dibalas dengan senyuman kemudian melajukan mobilnya.
“Asik besok ada yang jemput, jadi nggak usah nebeng ke tetangga yang suka PHP.” Ucap Kara dengan senyum mengejek.
“Awas aja…”
“Apa? Apa?” sela Kara, ia berjinjit berusaha menyamakan tingginya dengan Dirga.
“Mau bilang awas aja kalo gue berani berangkat bareng Tama?”
“Atau gue sebagai kakak nggak ngasih ijin?” Kara benar-benar menirukan cara bicara Dirga.
“Lengkara!!”
.
.
.
Bonus visual abang dirdiran
Yang ini si ganteng calon suami cadangan, Tamarin.
Jangan tanya visual santan sachetan karena dia adalah author😛😛
jangan lupa tampol jempol, komen sama lopenya!!!
karya²nya kak othor bagus dan menarik trs ceritanya ga bertele² singkat tp ga trburu² sesuai alurnya, the best kak othor trs berkarya.👍