NovelToon NovelToon
Penebusan Ratu Malam

Penebusan Ratu Malam

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Cintapertama
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.

Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.

Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.

Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.

Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.

Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Lantai ruang jenazah yang bisu itu terasa kian mencekam, namun Ayesha seolah telah mati rasa. Ia bersimpuh di samping ranjang besi, menggenggam tangan Ibu Ratih yang kian mendingin di balik kain kafan yang baru saja disiapkan. Isak tangisnya kini telah berubah menjadi gumaman lirih, sebuah dialog satu arah yang terputus oleh maut.

Di ruangan ini, hanya ada aroma obat-obatan yang tajam dan dingin yang menusuk tulang, namun bagi Ayesha, seluruh dunianya telah membeku bersama napas terakhir ibunya.

​Arsha berdiri beberapa langkah di belakangnya. Kemeja tipis yang ia kenakan tampak kontras dengan pencahayaan neon yang pucat, memantulkan bayangan seorang pria yang memikul beban empati yang amat berat.

Sebagai seorang Gus, putra dari pengasuh pesantren besar, Arsha dididik untuk tegar. Namun menatap punggung Ayesha yang berguncang hebat, ia merasakan setiap sayatan duka itu seolah merobek hatinya sendiri.

​Bagi Arsha, pemandangan ini adalah ujian batin yang teramat berat. Ia mengenal Ayesha sebagai jiwa yang tegar, seorang wanita yang selama ini berjuang sendirian merawat ibunya di tengah perbedaan keyakinan yang sering kali membuatnya terasing. Kini, wanita itu tampak seperti sehelai daun kering yang terlepas dari dahan satu-satunya. Tanpa Ibu Ratih, Ayesha kehilangan dunianya.

​"Ibu... bagaimana aku bisa pulang kalau Ibu tidak ada?" bisik Ayesha dengan suara yang hampir habis. "Rumah kita... tidak akan pernah hangat lagi tanpa Ibu."

​Arsha memejamkan mata sejenak, bibirnya tak henti melantunkan zikir tanpa suara. Ada rasa pedih yang menyeruak, bukan karena amarah, melainkan karena rasa empati dan kasih yang begitu mendalam. Ia merasa bertanggung jawab atas takdir wanita di depannya. Di bawah lampu neon yang berkedip, Arsha mematri sebuah janji yang melampaui batas kewajiban manusia biasa.

​Dengan langkah tenang dan santun, Arsha mendekat. Ia tidak menyentuh Ayesha, menjaga jarak yang terhormat sesuai dengan adab yang dijunjungnya sebagai seorang Gus. Namun, kehadirannya memberikan ketenangan yang tak kasat mata. Ia berdiri seperti sebuah pilar yang kokoh, siap menopang langit Ayesha yang sedang runtuh.

​"Aku akan menjadi rumahmu, Ayesha," janji Arsha dalam keheningan batinnya.

​Ia menatap wajah tenang almarhumah Ibu Ratih dengan tatapan penuh hormat dan takzim. Di dalam hatinya, sebuah ikrar suci terpahat dengan sangat kuat.

"Tidurlah dengan tenang, Ibu," bisik Arsha tulus. "Demi Allah, aku berjanji akan menjaganya. Aku akan menikahinya, memuliakannya dengan namaku, dan menjadikannya bagian dari hidupku. Tidak akan aku biarkan sepi atau kesulitan menyentuhnya lagi selama aku masih hidup."

​Arsha kemudian berlutut di belakang Ayesha, memberikan jarak yang sopan namun cukup dekat agar suaranya yang lembut dapat menembus kabut duka wanita itu. "Ayesha... mari kita antarkan Ibu dengan doa terbaik. Beliau sudah tenang di sana," ucapnya dengan nada yang begitu menyejukkan.

​Suasana hening di ruang jenazah itu perlahan beralih menjadi kesibukan yang khidmat. Arsha, dengan ketenangan yang luar biasa, mengambil alih seluruh pengurusan jenazah Ibu Ratih. Ia berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan pengurus jenazah setempat.

Meski ia tahu ada perbedaan keyakinan yang mendasar, bagi Arsha, memuliakan manusia yang telah tiada adalah bentuk penghambaan tertinggi kepada Sang Pencipta. Ia tidak menunjukkan kecanggungan saat harus mengurus administrasi di gereja atau berdiskusi dengan pendeta terkait prosesi pemakaman.

​Gerimis tipis menyambut kedatangan mobil jenazah di pemakaman umum keesokan harinya. Arsha berdiri paling depan. Saat peti jenazah Ibu Ratih hendak diturunkan, Arsha melepaskan jasnya, hanya mengenakan kemeja koko putih yang kini mulai basah oleh rintik hujan. Ia membantu mengangkat peti itu dengan bahunya yang kokoh.

Ia tidak memedulikan pandangan orang-orang yang mungkin heran melihat seorang Gus berada di barisan terdepan pemakaman nasrani. Baginya, kasih sayang tidak mengenal sekat agama, dan penghormatan terhadap orang tua adalah nilai universal yang melampaui segalanya.

​Saat peti diturunkan ke liang lahat, Arsha tetap berada di sisi lubang. Ia memastikan setiap prosesi berjalan dengan martabat yang tinggi. Ayesha hanya bisa terduduk lemas di tanah yang basah, matanya kosong menatap tanah yang perlahan menutupi satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Tangannya menggenggam erat sebuah kalung salib yang melingkar di lehernya, mencari kekuatan dari iman yang selama ini ia peluk.

​"Selesai, Ayesha," bisik Arsha lembut setelah gundukan tanah itu rapi dengan taburan bunga lili kesukaan almarhumah. "Ibu sudah beristirahat di tempat yang tidak ada lagi rasa sakit. Kamu sudah melakukan yang terbaik baginya."

​Malam harinya, di ruang tamu rumah Ayesha yang terasa luas dan dingin, suasana terasa sangat sunyi. Jam dinding berdetak dengan suara yang seolah menggema di setiap sudut ruangan yang kini terasa kosong. Arsha duduk di sofa tunggal, berseberangan dengan Ayesha yang masih tampak pucat. Ia memberikan ruang bagi wanita itu untuk bernapas, tidak ingin mendesaknya dengan kata-kata penghiburan yang klise.

​Ayesha memecah kesunyian dengan suara yang serak. "Arsha... kenapa kamu melakukan semua ini? Kamu seorang Gus, putra seorang Kyai besar yang sangat dihormati. Mengapa kamu mau kotor-kotoran di pemakaman ibuku? Mengapa kamu mengurus semuanya, padahal kita... kita berbeda, Arsha?"

​Arsha tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh ketulusan, tanpa ada sedikit pun kesan menghakimi. "Karena aku melihat jiwa yang indah di dalam dirimu, Ayesha. Dan karena agamaku mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, tanpa harus bertanya apa warna kulitnya atau apa kitab sucinya."

​Arsha kemudian mulai bercerita. Ia tidak memberikan ceramah yang berat, melainkan berkisah tentang konsep kasih sayang dalam pandangannya. Ia bercerita tentang bagaimana seorang hamba tidak pernah benar-benar sendirian selama ia memiliki keyakinan pada Sang Pencipta. Ia berbicara tentang kedamaian hati yang bisa ditemukan saat seseorang berserah diri sepenuhnya.

​Ayesha menyimak dengan saksama. Meski ia belum sepenuhnya mengerti terminologi yang digunakan Arsha, ada sesuatu yang meresap ke dalam hatinya, sebuah rasa damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa dihargai bukan hanya sebagai seorang wanita, tapi sebagai seorang manusia yang sedang berduka.

​Arsha melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sebagai seorang yang menjaga martabat dan syariat, ia tahu bahwa ia tidak boleh berlama-lama di sana. Ia ingin memberikan satu ruang bagi Ayesha untuk merenungkan diri, untuk benar-benar merasakan duka itu agar nantinya ia bisa bangkit dengan lebih kuat.

​"Ayesha," panggil Arsha lembut, "malam sudah semakin larut. Aku rasa, kamu butuh waktu untuk sendirian, untuk beristirahat dan membiarkan hatimu mencerna semua kejadian hari ini."

​Ayesha mendongak, ada gurat kecemasan yang sempat melintas di matanya. Ia takut akan kesunyian rumah ini. Namun, ia melihat ketegasan dan perlindungan di mata Arsha.

​"Aku akan kembali ke apartemen malam ini," lanjut Arsha. "Besok pagi, aku akan ke sini lagi. Kita akan mengurus sisa keperluan Ibu."

​Arsha berdiri, diikuti oleh Ayesha yang langkahnya masih sedikit gontai. Arsha menjaga jarak yang sopan, tidak menyentuh, namun tatapannya seolah mendekap Ayesha dengan kehangatan.

​"Jangan memaksakan dirimu untuk mengerti segalanya malam ini, Ayesha. Jika kamu merasa sedih, menangislah. Jika kamu merasa bimbang, sampaikanlah pada Tuhanmu. Dia adalah pendengar yang paling baik bagi hati yang remuk."

​Sesampainya di ambang pintu, Arsha berhenti sejenak. Ia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah benda kayu kecil. Itu adalah sebuah untaian kayu zaitun sederhana, bukan tasbih, melainkan kenang-kenangan yang pernah ia simpan. Ia meletakkannya di atas meja kecil dekat pintu.

​"Pegang ini jika kamu merasa cemas. Biarkan ini menjadi pengingat bahwa di luar sana, ada orang yang sedang mendoakan keselamatanmu," ujar Arsha dengan senyum tulus.

​Ayesha menatap benda itu, lalu beralih menatap Arsha. "Terima kasih, Arsha. Untuk semuanya... Untuk tidak membiarkanku hancur sendirian malam ini."

​Arsha mengangguk takzim. "Itu sudah menjadi tugasku sebagai manusia. Beristirahatlah. Assalamualaikum, selamat malam"

​"Ya... selamat malam," jawab Ayesha perlahan.

​Arsha melangkah menuju mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin. Dari balik kemudi, ia menatap jendela rumah Ayesha yang masih menyala temaram. Ia tahu perjalanan di depan akan sulit. Membawa Ayesha ke pesantren Abahnya, menjelaskan status Ayesha yang masih beragama Kristen, dan niatnya untuk membimbing serta menikahinya adalah sebuah jalan terjal yang penuh prasangka. Namun, Arsha tidak gentar.

​Baginya, Ayesha adalah amanah yang dikirimkan Tuhan melalui duka. Dan Arsha telah berjanji, bahwa setelah badai ini mereda, ia akan menuntun tangan Ayesha menuju cahaya yang ia yakini, bukan dengan paksaan, melainkan dengan cinta yang paling tulus yang bisa diberikan oleh seorang hamba kepada sesamanya.

​Sedangkan di dalam rumah, Ayesha mengunci pintu dan bersandar di balik kayu jati yang dingin. Ia menggenggam untaian kayu pemberian Arsha. Rumah itu memang masih sepi, tapi untuk pertama kalinya, Ayesha tidak merasa benar-benar ditinggalkan. Ada sebuah harapan yang tumbuh, sekecil biji sawi, bahwa esok hari mungkin akan ada cahaya baru yang menyinari langkahnya.

...----------------...

**Next Episode**....

1
🌹Widianingsih,💐♥️
duhh .. Arsya..jangan jatuh cinta pada Ayesha, nanti akan mendatangkan masalah besar
🌹Widianingsih,💐♥️
benar-benar cobaan berat bagi seorang Gus , bagaimana nanti jika ada yang tau. ...pasti fitnah besar yang datang !
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!