Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan Terakhir
Kami semua berdiri terdiam, saling menatap satu sama lain dengan perasaan yang semakin berat. Keputusan yang menggantung di atas kepala kami terasa semakin mencekam. Pasar ini telah memaksa kami untuk membuat pilihan yang tak terbayangkan—memilih siapa di antara kami yang harus tetap tinggal, terperangkap di dalamnya untuk selamanya. Semua upaya kami untuk melarikan diri, semua pencarian kami untuk jalan keluar, berakhir pada satu titik: keputusan yang harus diambil.
Suasana semakin tegang. Kami sudah lelah, baik fisik maupun mental. Ketakutan yang kami rasakan semakin nyata. Setiap kata yang keluar dari mulut kami terasa semakin berat. Kami tidak tahu siapa yang harus memilih. Semua dari kami merasa terikat dengan rasa kemanusiaan yang sama. Tidak ada yang siap untuk mengorbankan diri.
“Apa yang kita lakukan?” tanya Fandi, suaranya hampir tidak terdengar. “Siapa yang harus tetap di sini? Kita nggak bisa memilih siapa yang harus tinggal.”
Fandi tampak lebih cemas daripada sebelumnya. Wajahnya pucat, matanya kosong, seakan-akan ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Kami bisa merasakan ketegangan yang semakin menguasai dirinya, dan kami semua merasakannya. Kami tidak tahu apa yang harus dipilih. Semua jalan yang kami coba berakhir dengan kebingungannya. Tidak ada satu pun dari kami yang bisa mengungkapkan apa yang harus dilakukan.
“Ini nggak adil!” teriak Danang dengan suara penuh amarah. “Kenapa hanya satu orang yang bisa keluar? Kita semua berhak keluar dari sini!”
Namun, pria tua itu hanya menatap kami dengan tatapan kosong, senyumnya yang sinis tidak pernah hilang. “Adil atau tidak, itu bukan urusan kalian,” katanya, suaranya tetap tenang. “Kalian hanya punya satu pilihan. Dan pilihan itu akan menentukan siapa yang bisa keluar.”
Kami terdiam lagi. Kata-kata itu menggema di kepala kami, seperti racun yang menyebar perlahan. Kami semua tahu, tak ada jalan keluar dari sini tanpa membuat keputusan yang tak terhindarkan. Pasar ini telah memutuskan takdir kami, dan sekarang, kami hanya bisa menunggu keputusan siapa yang akan dipilih.
“Apa kita harus memilih secara acak?” tanya Indra, suaranya pelan. “Mungkin itu cara yang adil, kan? Kita semua nggak bisa saling memilih.”
“Tidak ada pilihan yang acak di sini,” jawab pria tua itu dengan suara tegas. “Hanya satu jiwa yang tidak bisa keluar atau semua akan terjebak selamanya di pasar ini.”
Kami mulai merasa semakin terhimpit. Setiap pilihan terasa salah. Tidak ada jalan yang benar. Kami sudah berjuang keras untuk sampai sejauh ini, tetapi pada akhirnya, pasar ini memaksa kami untuk memilih siapa yang harus terperangkap, siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati.
“Gue nggak bisa,” kata Rudi, wajahnya semakin pucat. “Gue nggak bisa memilih siapa yang harus tinggal di sini. Kita semua ingin keluar.”
Kami semua merasakannya. Rasa takut, rasa cemas, dan kebingungannya semakin mencekam. Kami merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak ada ujungnya. Pilihan yang kami hadapi begitu berat, dan kami tak tahu bagaimana cara menghadapinya. Seperti berada di persimpangan jalan yang gelap, kami tak tahu arah mana yang harus dipilih.
“Apa lo rasa kita harus coba jujur satu sama lain?” tanya Fandi dengan suara pelan, tampak seperti mencoba mencari jalan keluar dari kebingungannya. “Gue nggak bisa memilih, tapi mungkin kita bisa saling memberi kesempatan.”
Aku melihat Fandi yang tampak semakin terpuruk. Matanya yang kosong, suaranya yang nyaris tak terdengar, dan ekspresinya yang tampak hilang. Kami tahu bahwa Fandi merasa terperangkap dalam kebingungannya, seperti kami semua. Tidak ada satu pun dari kami yang merasa siap untuk membuat keputusan ini. Kami hanya ingin keluar, tapi pasar ini seakan tidak memberi kami pilihan.
“Gue rasa kita semua harus siap,” kata Danang dengan suara berat. “Kita nggak bisa terus begini. Siapa pun yang harus tetap tinggal, kita harus terima. Kita nggak punya pilihan.”
Tapi kata-kata itu tidak memberi kami kenyamanan. Kami masih merasa terhimpit. Kami tidak tahu bagaimana harus memilih satu dari kami. Tidak ada yang bisa membuat keputusan ini dengan tenang. Kami berusaha berbicara, tetapi semakin kami berbicara, semakin besar rasa takut yang menguasai kami.
“Gue nggak siap,” kata Indra dengan suara lirih. “Gue nggak siap kehilangan siapa pun dari kita. Kita udah saling berjuang, tapi sekarang kita harus memilih? Itu nggak bisa diterima.”
Kami semua terdiam. Kami tidak bisa memaksa diri kami untuk membuat pilihan yang mengerikan ini. Kami saling melihat, mencoba mencari tahu siapa yang akan mengorbankan dirinya, tetapi kami tahu bahwa itu tidak akan terjadi. Tidak ada satu pun dari kami yang bisa melakukan itu. Kami tidak bisa memilih siapa yang harus tinggal di sini, siapa yang harus terperangkap.
Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sangat kecil, tapi cukup kuat untuk mengguncang pikiranku. Seperti ada sesuatu yang berubah di udara, sesuatu yang sepertinya mengancam kami. Aku merasakan ketegangan yang semakin meningkat, dan tiba-tiba, aku tahu. Aku tahu bahwa kami tidak bisa terus berlarian dari kenyataan. Kami harus membuat keputusan.
“Gue... gue nggak bisa terus berlari,” kataku, mencoba mengendalikan suara yang mulai gemetar. “Kita harus memilih.”
Semua mata tertuju padaku. Kami semua terdiam, mencoba mencerna kata-kataku. Kami semua merasa takut, tetapi pada akhirnya, kami tahu. Kami harus memilih. Mungkin ini adalah takdir kami. Pasar ini, dengan segala misterinya, telah menahan kami terlalu lama. Kami harus menghadapi kenyataan bahwa hanya satu dari kami yang bisa keluar. Hanya satu orang yang bisa hidup.
“Siapa yang akan memilih?” tanya Danang, suaranya pelan, hampir tidak terdengar. “Gue nggak tahu siapa yang harus tetap tinggal di sini. Gue nggak siap.”
Aku bisa merasakan rasa takut yang ada di setiap kata yang diucapkan. Kami semua merasa terperangkap. Tidak ada pilihan yang benar. Tidak ada jalan keluar yang mudah. Kami harus menghadapi kenyataan yang tidak bisa kami hindari.
“Gue... gue pilih...” Fandi akhirnya berbicara dengan suara pelan. “Mungkin, salah satu dari kita harus melepaskan. Bukan karena kita ingin, tapi karena kita nggak punya pilihan lain. Kita harus keluar dari sini.”
Kami semua terdiam, merasa terhimpit oleh kata-kata itu. Fandi berbicara dengan suara yang sangat berat, seakan dia telah menerima kenyataan yang mengerikan ini. Kami semua tahu bahwa kami harus memilih, tetapi tidak ada satu pun dari kami yang bisa benar-benar melakukannya. Tidak ada yang siap.
Kami berdiri di sana, di tengah-tengah pasar yang tak pernah berakhir, menunggu keputusan yang harus kami ambil. Setiap detik terasa semakin berat. Kami tahu bahwa pasar ini sudah menjerat kami, dan kami harus memilih siapa yang akan pergi dan siapa yang akan tetap tinggal. Namun, di dalam hati kami, ada perasaan yang tak bisa diungkapkan—kami tidak tahu siapa yang akan dipilih.
Kami hanya bisa menunggu, menunggu saat yang akan datang, dan berharap takdir ini bisa membebaskan kami dari pasar yang mengerikan ini.