Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Halwa membuka matanya perlahan-lahan. Kelopak matanya terasa berat, dan cahaya ruangan ICU terasa menusuk. Pandangannya perlahan menjadi fokus.
Ia melihat lelaki yang sedang duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat dengan pakaian khusus rumah sakit. Athar segera menyadari Halwa sadar.
"Dokter! Dokter!" panggil Athar dengan suara panik, tetapi penuh kelegaan.
Dokter dan perawat segera masuk ke ruangan. Mereka langsung memeriksa vital sign Halwa.
Dokter membungkuk ke arah Halwa. "Nyonya Halwa, syukurlah Anda sadar. Bisakah Anda sebutkan nama Anda?"
Halwa menatap dokter itu, lalu pandangannya beralih ke Athar yang berdiri di sampingnya dengan wajah penuh harap.
Halwa mencoba menjawab, tetapi ia tidak bisa. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
Kebahagiaan Athar langsung terenggut. Ia melihat dengan tatapan kosong saat Halwa tidak bisa mengingat namanya sendiri.
Dokter mencatat sesuatu dengan cemas. "Tuan Athar, Nyonya Halwa mungkin mengalami amnesia sementara karena trauma di kepala dan tekanan di dalam air. Kita akan melakukan tes lebih lanjut."
Athar dipersilakan keluar. Ia berdiri di luar, di balik kaca ruang ICU.
Ia melihat istrinya, yang sudah sadar, tetapi tidak bisa mengingat dirinya.
Hatinya kembali hancur. Athar hanya bisa melihat Halwa dari kejauhan, sementara dunia terasa berputar. Halwa selamat, tetapi ingatannya hilang.
Beberapa jam kemudian, Halwa dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Ia berbaring, mencoba memproses segalanya.
Halwa terdiam saat melihat seorang lelaki tampan yang berbrewok tipis, berpakaian rapi, sedang berdiri di dekat jendela, memandang wajahnya dengan tatapan penuh kerinduan.
Athar duduk di kursi samping ranjang, tersenyum kecil ke arahnya.
"Kamu siapa?" tanya Halwa, suaranya lemah dan ragu.
"Aku suamimu," jawab Athar, suaranya lembut, penuh kehangatan.
Halwa mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari Athar. "Suami?"
Ia menatap tubuhnya yang masih terpasang infus dan kemudian ke Athar.
"Tuan, aku masih sekolah kelas satu. Aku belum lulus. Dan kamu bilang kalau kamu suamiku?"
Ia menatap Athar dengan curiga. "Apakah kamu menculikku?"
Athar terdiam sejenak. Mendengar Halwa kembali ke versi dirinya yang lugu, sebelum semua masalah terjadi, membuat hatinya sakit sekaligus sedikit terhibur.
Athar tertawa kecil saat mendengar tuduhan dan perkataan polos dari istrinya.
"Kamu lucu sekali, Sayang," kata Athar.
"Jangan panggil aku Sayang! Aku bahkan tidak tahu namamu!" balas Halwa. Lalu, tiba-tiba sebuah nama yang familiar muncul di benaknya.
"Di mana Kak Afrain? Apa dia tahu aku di sini?"
Halwa yang amnesia, benar-benar tidak ingat apa yang terjadi, siapa yang menikahinya, siapa yang melukainya, dan siapa Afrain yang sebenarnya.
Wajah Athar berubah muram mendengar nama itu.
"Jangan cari dia lagi. Dia yang sudah membuatmu seperti ini," ucap Athar, nadanya tegas.
Halwa menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Kak Afrain sangat baik padaku. Dia... dia pacarku," ucap Halwa polos, tanpa menyadari rasa sakit yang ia tanamkan pada hati Athar.
Halwa yang masih percaya pada gambaran Afrain di masa lalunya, menatap Athar dengan mata memelas.
"Tolong, Tuan. Jangan menjelekkan Kak Afrain. Dia orang baik. Dia selalu membantuku di sekolah," pinta Halwa, suaranya terdengar tulus.
Athar menarik napas dalam-dalam. Rasa cemburu, amarah, dan rasa sakit karena Halwa melupakan semua pengorbanannya kembali muncul. Ini adalah ujian yang sangat berat baginya.
Athar menghela napas panjang saat mendengar nama Afrain disebut lagi, terutama sebagai 'orang baik' dan 'pacar'.
"Dengar, Sayang, Halwa," Athar memaksakan dirinya untuk tenang.
"Jangan sebut nama itu lagi. Jangan pernah. Dia bukan orang yang kamu pikirkan. Fokus pada kesembuhanmu, ya. Aku akan menjagamu."
Halwa terdiam, merasa bingung dengan penolakan keras Athar.
Ia tidak mengerti mengapa pria tampan ini begitu marah dan protektif, tetapi ia memilih untuk diam, tidak ingin memperpanjang perdebatan di tengah kondisinya yang lemah. Ia hanya menatap Athar dengan tatapan penuh tanda tanya.
Halwa menatap wajah Athar. Selain brewok tipis dan matanya yang lelah, ia melihat ada sedikit memar di area pipi dan leher Athar yang tidak tertutup bekas ikatan tali dan pukulan Afrain.
"Kenapa dengan wajahmu?" tanya Halwa, menyentuh pipi Athar dengan ujung jarinya.
Athar menghela napas. "Ada seseorang yang menculikku dan membuangku ke danau." Athar memutuskan untuk menceritakan kebenaran, berharap itu bisa memicu ingatan Halwa. "Dan kamu yang menyelamatkan aku."
Halwa mengernyitkan keningnya. Otaknya berusaha keras memproses informasi itu: danau, menculik, menyelamatkan. Ia tidak bisa mencocokkan kata-kata itu dengan memori apa pun.
Ia kembali merasakan pusing yang menusuk, seolah ada dinding besar di kepalanya yang tidak bisa ia tembus.
"Danau? Aku menyelamatkanmu?" Halwa memegangi kepalanya.
Wajahnya mendadak pucat, dan napasnya mulai tersengal-sengal.
Athar yang panik melihat reaksi fisik istrinya, segera menjatuhkan sendok bubur.
"Halwa! Ada apa, Sayang?" Athar meraih tangannya dan menekan tombol darurat di samping ranjang.
"Dokter! Dokter! Tolong periksa istriku!" Athar berteriak, kembali diliputi rasa takut kehilangan. Ia menyesal telah terlalu cepat menceritakan kebenaran itu.
Dokter dan perawat segera bergegas masuk ke ruangan.
Melihat kondisi Halwa yang tegang dan memegangi kepalanya, dokter segera meminta Athar keluar ruangan agar Halwa bisa tenang.
"Tuan Athar, silakan tunggu di luar. Nyonya Halwa sedang kelelahan mental!" pinta Dokter dengan nada tegas.
Athar yang khawatir menolak pergi, tetapi Yunus yang sudah menunggu di luar segera menariknya mundur.
Dokter kembali memasang selang oksigen ke hidung Halwa untuk menstabilkan pernapasan dan detak jantungnya yang melonjak.
Setelah itu, dokter menyuntikkan obat penenang ringan ke infus Halwa.
Perlahan, tubuh Halwa mulai rileks. Ia kembali terlelap, tetapi kali ini bukan tidur yang nyenyak, melainkan tidur akibat obat.
Athar hanya bisa melihat Halwa dari jendela kaca. Ia menyadari bahwa ia harus sangat berhati-hati dengan kata-katanya. Ingatan Halwa adalah bom waktu.
Dokter keluar dari ruangan perawatan, wajahnya tampak lelah dan serius.
Ia langsung menghampiri Athar yang berdiri gelisah.
"Tuan Athar, saya mohon Anda dengarkan saya baik-baik," ujar Dokter.
"Nyonya Halwa mengalami amnesia disosiatif akibat trauma berat. Ketika Anda mencoba memaksanya mengingat kejadian traumatis seperti penusukan atau tenggelam di danau, otaknya mencoba melawan rasa sakit itu."
Dokter itu menatap Athar dengan tatapan memperingatkan.
"Kondisinya masih sangat rapuh. Stres mental yang ekstrem dapat memicu syok sistemik yang parah. Anda harus menahan diri, Tuan. Jangan membuka apa pun yang terjadi pada Nyonya Halwa."
Dokter itu mengakhiri kalimatnya dengan penekanan yang membuat Athar merinding.
"Jika ini terjadi lagi, Anda bisa kehilangan nyawanya."
Athar menundukkan kepalanya, menyadari betapa berbahayanya ambisinya untuk membuat Halwa mengingatnya.
Ia tahu, mulai sekarang, ia harus menjadi orang asing yang paling sabar dan lembut bagi Halwa.
"Saya mengerti, Dokter. Saya tidak akan mengulanginya," jawab Athar, suaranya pelan dan penuh penyesalan.
Athar menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang karena ketakutan.
Setelah diberi izin oleh perawat, Athar kembali masuk ke ruang perawatan.
Ia melangkah pelan, lalu duduk di kursi samping tempat tidur istrinya.
Halwa kembali memejamkan matanya akibat obat penenang. Wajahnya terlihat damai, namun pucat.
Athar menatap Halwa lama. Ia menggenggam tangan Halwa, tetapi kali ini tanpa bicara, tanpa ada tuntutan untuk mengingat, hanya memberikan kehangatan dan kehadirannya.
Ia tahu, tugasnya sekarang bukan lagi sebagai suami yang menuntut haknya, tetapi sebagai pelindung yang sabar, yang harus membangun kembali kepercayaan Halwa dari nol.
Ia mencium punggung tangan Halwa. "Aku akan menunggumu, Halwa. Berapa pun lamanya," bisik Athar, berjanji pada dirinya sendiri.