Aku memang perempuan bodoh soal cinta, pacaran 5 tahun tapi menikah hanya 8 bulan. Tak pernah mendengar nasehat dari orang tua dan sahabatku, perkara pacarku itu. Aku nekad saja menikah dengannya. dalihku karena sudah lama kenal dengannya aku yakin dia akan berubah saat menikah nanti.
Ternyata aku salah, aku serasa teman tidur saja, bahkan aku tak diberi nafkah lahir, ditinggal dikontrakan sendiri, keluarganya tidak pernah baik padaku, tapi aku masih bodoh menerima dan sabar menghadapi tingkahnya. Bahkan cicilan dan biaya rumah sakit aku yang meng-cover. Gila gak? bodoh banget otakku, hingga aku di KDRT, dan itulah titik balikku berpisah dengannya, hingga menemukan kebahagiaan bersama seseorang yang sama sekali tak kukenal, tapi bisa mewujudkan impian pernimahan yang aku inginkan, hanya karena apa? restu orang tua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DRAMATIS
"Maya!" sebut Fabian saat aku bertanya alasan dia mau menerima perjodohan ini, dan getol meyakinkan padaku bahwa dia bersih, dia layak menjadi pasanganku. Jujur aku aneh saja, karena kita tidak kenal dan dia langsung setuju dengan perjodohan ini setelah mengetahui aku janda pula. Ternyata ada perempuan lain yang menjadi alasan dia menerima perjodohan ini.
"Aku dan Maya dulu adalah sepasang kekasih yang saling cinta di bangku kuliah. Ya aku mengenal hubungan intim ya sama dia. Bahkan kita melakukan hampir tiap hari di kos dia," jelasnya yang membuatku melongo. Ternyata pergaulan sebebas itu juga dari dulu ya, ada juga kos bebas, hingga pelakunya jujur begini.
"Terus?"
"Dia hamil karena aku pikir kita gempur terus," aku sebal sekali mendengar penuturan vulgar Fabian ini. Bisa gak sih, cukup bilang dia hamil. Heran deh, gak punya malu atau gimana umbar aib sendiri. Aku juga bodoh mau saja mendengarnya. Aku sendiri heran kenapa mau juga mendengar pengakuannya. Bisa saja dia bohong kan. Tapi ya sudahlah.
"Tapi ternyata dia mengaku kalau bayi dalam kandungannya bukan anakku. Sinting gak?"
"Waow? Kok bisa?" tanyaku, obrolan kita semakin jauh, apalagi ada pembahasan yang vulgar juga tentang perjalanan cinta Fabian di masa lalu. Ternyata meski dia berhubungan dengan Maya, ada kalanya dia pakai pengaman. Sebelum Maya hamil, ia malah hampir tiap main pakai pengaman. Makanya Maya bisa memastikan siapa ayah anak dalam kandungnya yang tak lain adalah kakak tingkat keduanya. Brengsek setengah mati. Fabian sampai stress kapan mereka berbuat, padahal Maya juga seharian dengan Fabian.
Cewek murah berkedok cewek manis dan penurut adalah sisi Maya yang sebenarnya. Sejak saat itu, Maya tidak pernah datang di area kampus mengikuti jejak kakak tingkat yang memang sudah lulus kuliah.
"Aku memang berkali-kali gonta ganti cewek tapi gak ada yang special di hati seperti Maya."
Aku tersenyum saja. "Setia berkedok playboy?" sindirku dan dia mengangguk saja. Memang kenyataannya seperti itu. "Terus kalau memang cinta sama Maya, bisa juga main sama perempuan?"
"Bisa lah, cowok kalau udah merasakan kayak gitu, bikin nagih."
"Sinting! Kasihan istri kamu."
"Ya makanya aku pilih janda saja, sama-sama gak ori."
"Dan janda itu bukan aku!" ujarku kekeh. Fabian tersenyum saja. "Aku gak bakal siap punya suami dengan latar belakang mantan teman tidurnya banyak. Setiap jalan bisa bertemu dan kalian bisa saja reuni kapan pun."
"Kan aku belum merasakan punya istri, siapa tahu kalau punya istri aku sudah selesai dan bosan jajan."
"Gak mungkin. Jiwa petualang akan berlanjut sampai kapan pun."
"Dih, sok tahu!"
"Ya iyalah, udah ketebak."
"Saingan dong ya sama dukun cinta," sindir Fabian.
"Lagian kenapa sih harus aku?" tanyaku untuk sekian kalinya.
"Janda, dan direstui mamaku. Jadi aku tak perlu pusing adaptasi. Kalau mama kasih restu aku tinggal jalan, karena aku butuh cuma buat penyaluran doang."
"Hyper kamu!" Fabian tertawa ngakak, karena sedang mengobrol dengan janda, dia lebih leluasa dan jujur saja.
"Setiap punya cewek, aku selalu ajak bertemu dengan mama, dan mama gak pernah setuju. Jadi ya gak lama."
"Dih, habis gitu tetap kamu pakai?"
"Iya, tapi gak ada paksaan kok. Selama ini cewek yang dekat sama aku kebanyakan butuh duit juga, barter lah!" aku menggelengkan kepala, melihat sisi dunia kelam lain yang begitu bebas tanpa takut dosa. Bukan duniaku sama sekali, dan aku tak berniat masuk ke hidup Fabian. Itu tekadku. Mau sebaik ada pencitraan Fabian, aku akan tetap no.
Tapi siapa sangka, saat aku keluar cafe tak berniat menunggu Fabian yang sedang membayar di kasir, aku ingin pulang dulu, karena sudah lewat maghrib juga, kebetulan aku halangan jadi tak pusing mencari mushola. Fabian sepertinya bukan laki-laki yang ingat untuk beribadah. Aku melihat sosok Akbar bersembunyi di tembok samping cafe.
Aku yakin sih itu Akbar, dan firasatku biasanya tak pernah meleset. Aku pun masuk kembali ke cafe, lebih baik dekat dengan Fabian. Aku lebih takut pada Akbar daripada Fabian. Akbar bisa saja melukai atau memperkosaku. Dia nekad dan tak berpikir panjang.
"Aku nebeng kamu!" ucapku sembari berdiri di depan Fabian. Dia tertawa sembari mengangguk saja. Kemudian kita berjalan menuju parkiran mobil, dan aku melihat belakang, biasanya kalau lagi diintai akan terasa bukan..
"Sadar kalau ada Akbar?" tanya Fabian tiba-tiba. Aku langsung menahan lengannya.
"Kok tahu?"
"Dari tadi dia di cafe, lihatin kita." Aku melongo, kaget saja.
"Kok kamu gak bilang?"
"Buat apa?" ujarnya sembari masuk mobil, aku pun mengikutinya. Gerak cepat saja. Aku terus melihat kaca spion dan memang benar dia menguntit, Fabian sih santai bahkan ia menyetir dengan kecepatan lambat, sembari mengelus dagunya.
"Dia kalau gak dikasih shock terapi bakal buntuti kamu terus," ujar Fabian memprediksi. Ia paham lah, cowok kalau belum move on bagaimana. Tepat di jalan menuju perumahanku itu melewati area sepi, dan Akbar terlihat melaju kencang. Aku pikir aman, ternyata dia menghadang di depan mobil Fabian, dan terpaksa rem mendadak.
Sumpah, aku gemetar seketika saat Akbar membawa tongkat kasti, dan berjalan mendekati mobil. "Kak, tabrak aja motornya, nanti aku yang ganti baretnya di bengkel," ujarku gugup. Aku takut kalau Fabian sampai dilukai, Akbar sangat nekad.
"Kasih pelajaran dulu lah," jawab Fabian santai. Aku menatapnya bingung, mau ngapain sih ada pelajaran juga, pikirku. Mungkin posisi Akbar kurang 100 meter, Fabian menarik tengkukku dan ya, bibirku dilahap habis oleh Fabian. Aku mendelik kaget, dia melumatku beberapa kali, tapi aku yakin ekor matanya melirik Akbar, dan segera melepas tautan bibirnya dan injak gas, saat Akbar hendak memukul mobilnya dengan tongkat. Motor Akbar ditabrak oleh Fabian, aku melongo untuk kedua kalinya. Fabian juga mengeluarkan jari jempolnya lewat jendela mobil, seolah memberi isyarat pada Akbar bahwa kejadian ini sangat menyenangkan.
"Kak!" panggilku.
"Keren kan aku?" Aku menunduk lalu menggelengkan kepala. Tak tahu harus merespon seperti apa yang jelas, aku shock. "Gimana ciuman kita?" Aku memejamkan mata setelah ditanya begitu. Nih, cowok konyol banget sih, masih berpikir soal ciuman, padahal mobil depan pasti penyok.
"Gak ingat, horor sekali saat tabrak motor si Akbar!" ucapku masih kaget saja, dan Fabian tertawa saja. Sampai di rumahku, segera aku lihat mobil depan Fabian, dan sesuai dugaan baret dan sedikit penyok saja. Aku menghela nafas lega, pasalnya aku juga memikirkan uangku untuk membawa mobil ini di bengkel.
"Kenapa sih?"
"Baretnya dikit, uangku gak keluar banyak," ucapku polos, dan itu membuat Fabian tertawa ngakak.
"Ada asuransi kali, santai saja! Cuma yang kamu harus tanggung jawab."
"Apa?" tanyaku bingung.
"Bibir kamu bikin candu," bisik Fabian membuat tubuhku menegang seketika.
up teros sampe pagi