Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Pagi itu, udara Pondok Nurul Falah masih menyimpan sisa hujan semalam. Tanah yang becek, dedaunan basah, serta aroma khas tanah yang baru disiram air langit menebar memenuhi setiap sudut pondok. Namun, suasana di hati para santri jauh lebih panas dibanding cuaca pagi yang mendung. Semua orang seakan masih bergidik mengingat bagaimana Gus Zizan, putra pemilik pondok yang selama ini dikenal lembut dan penuh sabar, akhirnya meninggikan suara di depan semua santri.
Nama Wulan menjadi pembicaraan di tiap bisikan kecil, di balik pintu kamar, bahkan di antara langkah-langkah terburu menuju kelas. Ledakan emosinya kemarin masih membekas. Tapi yang lebih mengguncang adalah momen saat Gus Zizan menegurnya dengan keras—sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Di aula besar, suasana itu masih membekas. Wulan menangis, Dilara maju memeluknya, dan seluruh santri menyaksikan sendiri ketegangan berubah menjadi momen penuh haru. Namun ada sesuatu yang hanya dirasakan oleh satu orang: Gus Zizan sendiri.
Gus Zizan berdiri tegak di depan aula. Tangannya masih gemetar samar, bukan lagi karena amarah, melainkan karena ada sesuatu yang menekan dadanya. Saat ia melihat Wulan menangis, ia sudah cukup terguncang. Tapi yang membuat perasaan itu semakin rumit adalah ketika Dilara maju dan memeluk Wulan.
Di mata Gus Zizan, gerakan itu sederhana. Seorang sahabat yang menguatkan sahabatnya. Tapi entah mengapa, pandangan matanya terus tertahan pada sosok Dilara.
Ia memperhatikan cara Dilara mendekap Wulan, menunduk dengan wajah penuh kelembutan. Cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela samping aula memantul di jilbab Dilara, membuat wajahnya tampak bercahaya. Sorot mata itu—mata yang penuh belas kasih, mata yang mampu menenangkan bahkan di tengah badai—membuat Gus Zizan merasakan sesuatu yang tak pernah ia izinkan sebelumnya.
Ada denyut aneh dalam dadanya.
Ada semacam kehangatan yang muncul bersamaan dengan rasa canggung.
Gus Zizan menunduk cepat, mencoba menyembunyikan perasaan itu dari dirinya sendiri. Tapi semakin ia berusaha, semakin jelas bayangan wajah Dilara menempel di pikirannya.
Astaghfirullah… batinnya. Apa yang sedang aku rasakan?
“Wulan,” suara Gus Zizan tadi terdengar lebih lembut, “saya beri kamu satu tugas. Mulai malam ini ikut qiyamul lail. Tiga malam berturut-turut. Kalau kamu benar-benar ingin bertahan di pondok ini, buktikan dulu pada Allah.”
Perintah itu masih terngiang di kepala semua orang. Wulan terisak, sementara Dilara masih memeluknya. Tapi bagi Gus Zizan, ada satu hal yang lebih sulit diabaikan daripada tangisan Wulan: keberadaan Dilara yang begitu dekat.
Setelah suasana agak mereda, sebagian santri diarahkan kembali ke kelas. Aula mulai kosong, hanya menyisakan Wulan, Dilara, dan beberapa ustadzah pendamping. Gus Zizan masih berdiri, menatap meja kayu di depannya.
“Terima kasih, Dilara,” ucapnya tiba-tiba, suaranya pelan tapi terdengar jelas.
Dilara yang masih mendekap Wulan menoleh kaget. “Eh… saya, Gus?”
“Ya. Kamu sudah maju, mendampingi Wulan. Itu… lebih berharga daripada seribu kata nasihat sekalipun.” Tatapan Gus Zizan jatuh ke wajah Dilara, lalu buru-buru ia alihkan.
Dilara menunduk, pipinya merona. “Saya… hanya nggak tega, Gus. Dia terlalu rapuh kalau sendirian.”
Hening sesaat. Lalu suara Gus Zizan, sedikit lebih lirih dari biasanya:
“Kalau semua orang punya teman seperti kamu, Dilara… mungkin tak ada lagi yang merasa sendirian di dunia ini.”
Ucapan itu membuat udara terasa berat. Wulan masih terisak di pelukan, tidak sadar betapa canggungnya dua orang yang berdiri di dekatnya.
Setelah semua selesai, Gus Zizan kembali ke kamarnya di kediaman pengasuh. Ia menutup pintu rapat, lalu duduk di kursi kayu sambil menundukkan kepala.
Dadanya masih terasa sesak. Bukan karena marah, bukan juga karena lelah. Tapi karena perasaan yang tidak seharusnya muncul.
Dilara… nama itu terus berputar di kepalanya.
Ia mencoba mengingat kembali momen tadi. Bagaimana wajah Dilara memantulkan cahaya, bagaimana suaranya menenangkan Wulan, bagaimana keteguhan hatinya terlihat jelas di hadapan semua orang.
Dan anehnya, setiap kali ia mengingat itu, ada perasaan hangat menjalar di dadanya. Perasaan yang tidak pernah ia izinkan singgah.
“Tidak, ini tidak benar…” gumamnya lirih, kedua tangannya menekan wajah.
Sebagai putra pengasuh pondok, Gus Zizan terbiasa menjaga jarak. Ia menjadi teladan, menjadi panutan. Setiap tindakannya diawasi, setiap perkataannya menjadi sorotan. Ia tidak boleh membiarkan perasaan pribadi mengganggu akhlaknya di hadapan para santri.
Tapi justru itulah yang membuatnya semakin gelisah. Karena perasaan ini datang tanpa ia minta. Datang begitu saja, tanpa aba-aba.
“Kenapa harus dia?” gumamnya lagi. “Kenapa harus Dilara?”
Di sisi lain, para santri mulai berspekulasi. Mereka membicarakan betapa beraninya Dilara maju memeluk Wulan. Sebagian menganggapnya pahlawan, sebagian lagi menganggapnya terlalu ikut campur. Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika beberapa santri berbisik bahwa Gus Zizan sempat menatap Dilara lama sekali.
“Eh, tadi aku lihat, loh,” bisik salah satu santri putri di asrama. “Waktu Dilara maju, tatapan Gus Zizan itu… beda. Kayak lebih lembut.”
“Ah masa sih? Jangan ngarang.”
“Tapi bener, sumpah! Aku berdiri nggak jauh. Kayak… ada sesuatu gitu.”
Bisikan-bisikan itu mulai menyebar pelan. Tidak semua percaya, tapi gosip kecil itu cukup membuat nama Dilara ikut terbawa.
Dilara sendiri tidak tahu. Ia hanya merasakan sesuatu yang aneh saat Gus Zizan mengucapkan kalimat itu padanya—“Kalau semua orang punya teman seperti kamu, mungkin tak ada lagi yang sendirian di dunia ini.” Kalimat itu terus terngiang, membuat pipinya hangat setiap kali teringat.
Malam itu, sesuai tugas dari Gus Zizan, Wulan harus mengikuti qiyamul lail. Ustadzah pendamping sudah siap menunggu di masjid, bersama beberapa santri yang biasa berjamaah di malam hari.
Wulan datang dengan langkah berat. Dilara menemaninya, menggandeng tangannya erat.
“Kalau kamu takut, aku ada di sampingmu,” bisik Dilara.
Wulan mengangguk, matanya masih sembab. “Aku… aku takut gagal, Lar.”
“Kamu nggak sendiri. Allah lihat kamu. Aku pun lihat kamu.”
Malam itu, Wulan berusaha membaca ayat demi ayat. Suaranya masih terbata-bata karena isak, tapi ia mencoba. Dilara duduk tak jauh, memperhatikan dengan hati-hati.
Di kejauhan, dari balik tiang masjid, ada sosok yang diam-diam mengamati: Gus Zizan. Ia memang tidak ikut mendampingi secara langsung, tapi hatinya tidak tenang jika tidak memastikan Wulan benar-benar berusaha.
Namun lagi-lagi, matanya tertahan pada sosok lain. Dilara.
Ia melihat bagaimana Dilara mendampingi, memberi dukungan, tidak sekadar kata-kata tapi juga kehadiran nyata. Dan hati Gus Zizan kembali bergetar.
Kenapa aku harus selalu melihat dia? batinnya gelisah. Ya Allah, jangan biarkan aku goyah…
Hari-hari berikutnya berjalan penuh ketegangan. Wulan berjuang dengan tugas qiyamul lailnya. Para santri memperhatikannya, sebagian dengan simpati, sebagian dengan sinis. Tapi yang lebih sulit daripada ujian Wulan adalah ujian yang dirasakan oleh Gus Zizan sendiri.
Setiap kali ia melihat Dilara, entah di kelas, di masjid, atau sekadar lewat di koridor, ada sesuatu yang bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang berusaha ia tolak, tapi semakin ia lawan, semakin kuat ia terasa.
Bagi Gus Zizan, ini adalah pertarungan batin yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar menegur santri. Karena yang ia lawan bukan hanya sikap atau kesalahan orang lain, melainkan perasaannya sendiri.
Ia harus memilih:
Menjaga jarak dan berpura-pura tidak merasakan apa-apa, atau jujur pada dirinya sendiri meski itu berisiko besar.
Dan setiap malam, ketika ia berdiri sendiri di sajadahnya, ia hanya bisa berdoa lirih:
“Ya Allah… jika perasaan ini adalah fitnah, cabutlah dari hatiku. Tapi jika ini adalah takdir-Mu, tunjukkan jalan yang lurus, agar aku tidak tersesat oleh hawa nafsuku sendiri.”
Namun doa itu justru membuat dadanya semakin berat. Karena setiap kali ia memohon agar perasaan itu hilang, bayangan wajah Dilara justru semakin jelas dalam ingatannya.