NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ryan, Effie - No Reason

Caroline menunggu. Suaminya memerlukan waktu untuk mengurus segalanya, memastikan bahwa apa yang ia pertahankan seperti perusahaan dan pabrik obatnya mampu berjalan semestinya saat ia tidak ada disana. Awalnya ia ingin pergi sendiri, namun

Pram menolak gagasan tersebut.

Aku ingin kita menghadapinya bersama, walaupun hanya mengantarmu ke rumah orang tuamu. Itu lebih dari cukup bagiku. Bila ingin pulang, panggil aku lagi. Rumah ini selalu terbuka lebar.

Dua minggu kemudian, Pram membawanya pergi. Mobil hitam putih itu berkelana dari perkotaan padat hingga jalan tol, menyusuri pepohonan yang menjulang tinggi. Surabaya Barat ke Sidoarjo. Hampir dua jam untuk tiba di rumahnya.

Dua jam itu dihabiskan untuk musik yang berdengung sepanjang jalan, suara Pratama yang memberikan gambaran besar akan rumah istrinya, hal yang dulu disukai mereka dan dilakukan bersama. Kedatangan mereka sudah Pram sampaikan pada orang tua

Caroline melalui telepon, tanpa memicu pertanyaan yang terlalu dalam.

Ketika mobil berhenti, beberapa rumah menjulang tidak jauh dari sana. Pohon pisang berdiri bersama semak belukar. Teriakan anak kecil memasuki telinga Caroline saat ia melangkah keluar. Dia melihat sekitarnya sebelum terhenti pada Pram yang sudah berada di sebelahnya.

Matanya seolah mengatakan kita sudah tiba disini.

Caroline dan Pram berjalan kaki, ia belum ingat dimana rumahnya berada. Tetapi jalan yang ia lewati sedikit memberikan sentuhan yang pernah ia lihat. Bunga merah yang merekah di antara rerumputan. Layang-layang yang tersangkut di tiang listrik. Warung eceran dengan sejuta ibu-ibu yang gemar menawar harga.

Kakinya berhenti melangkah. Caroline melihat satu tempat yang familiar. Lapangan dimana anak-anak tengah bermain lempar-tangkap lembing. Ada yang bermain masak-masakan di bawah atap jerami. Dia merasakan kerinduan mendalam, sampai bibirnya melengkung ke atas tanpa disadarinya.

“Pram, aku pernah main disini.”

Lelaki itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum lebar. “Yah, orang tuamu pernah bercerita kamu melempari ayam dengan rumput ilalang lalu dikejar sampai menangis-nangis.”

Wajah Caroline menampakkan keluhan. “Lagi sedih-sedihnya malah disodori aib orang, asemm...”

Pram tertawa lepas dan mengayun lengan istrinya. “Biar ga nangis, masa nangis waktu balik kampung? Jangan cemberut juga, senyum kayak tadi.”

Setelah tiga puluh menit menyeberangi jalanan coklat berbatu, mereka berhenti di depan pohon palem. Caroline hampir bersimbah keringat, begitu pula Pram. Belakang bajunya sudah basah kuyup!

“Ine..”

Suara lembut nan familiar sudah lebih dari cukup untuk mengalihkan Caroline dari fase kehabisan nafasnya. Dia berlari ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan senyum hangat berdiri di ambang teras, tangannya memegang sapu lidi.

“Ibu, aku pulang!!”

Keduanya bertukar pelukan, terutama Bu Lien yang sangat bahagia karena melihat kepulangan anak sulungnya. Aroma masakan rumahan dan bunga melati yang menguar dari tubuh ibunya memenuhi indra penciuman Caroline. Juga beberapanya tertinggal di tubuhnya setelah berpelukan.

Sedangkan.. Pram masih menyeka keringat. Terbungkuk kecapaian.

Selagi lelaki itu berjalan seperti siput, istrinya sudah terbang kilat melebihi burung. Pram duduk di tepi bangku dan mengangguk kecil pada Ibu Caroline, tentunya setelah menyalaminya. “Tama titip Ine disini ya, Bu.”

Tanpa banyak ba bi bu, Bu Lien menyuguhkan air jahe kepada mereka dan beberapa kudapan kecil. Mata Caroline tertuju pada kue sus. Seolah tahu, Nyonya Lien sengaja mendorong piring itu.

Dari belakang, Ayah Caroline berbicara dengan nada hangat, “Karena tahu putri kesayangannya mau datang, Ibumu sengaja beli banyak kue tradisional, kesukaanmu ini.”

Sosok pria yang lebih pendiam, matanya memancarkan kelegaan saat melihat anaknya yang tampak baik-baik saja. Bukannya mereka tidak diberitahu sama sekali terkait keadaan putrinya, namun saat itu menantunya bersikeras tetap menjaga tanpa henti. Ada beberapa yang ia tahu, dan beberapa yang tidak.

Hanya saja kesehatan anaknya terpenting, hanya melihatnya mengambil kue sus dan melahapnya seperti kucing kecil, dia sudah puas. Pak Ming menepuk punggung Pratama, memberi isyarat terima kasih, kemudian mengamati putrinya. "Makan yang banyak, In.

Masih ada kesukaanmu yang lain, Bapak baru saja membeli udang dan petai. Nanti sore kamu bisa makan sepuasnya."

Pram tersenyum tipis saat mendengar bahan masakan itu. Di keluarga ini, hanya Pak Ming dan Caroline menjadi pecinta petai dengan udang pedas manis. Apalagi ditambah dengan tangan emas Bu Lien di dunia perdapuran. Seharusnya sebelum insiden itu, Caroline juga mahir memasak terutama sajian laut.

“Tam, ada pisang goreng juga. Dulu kamu suka memakannya. Jangan sungkan,” ucap Bu Lien dan mendorong sepiring beraneka ragam gorengan.

“Makasih Bu, Pak. Sudah lama sekali sejak saya datang.” Lelaki itu menelan satu pisang goreng dan mengacungkan jempolnya.

“Rasanya masih sama.”

Bu Lien mendengar bisikan dari suaminya dan tergelak. “Kata Bapak kurang sambal!”

Seketika keempat orang disana tertawa bahak. Keunikan lainnya mungkin dari segi makanan seperti pisang goreng, Pram dan mertuanya memiliki kesamaan yang agak aneh juga. Keduanya suka sekali mencocol pisang goreng ke sambal ulek.

Mantap, katanya.

Pram lebih banyak tertawa dan mengamati istrinya. Memang beberapa kali memeriksa smartphone, memastikan bahwa tidak ada laporan dadakan atau masalah. Lelaki itu awalnya merasa khawatir apakah perlakuan mertuanya akan berubah karena masalah istrinya, namun ternyata itu hanya pemikirannya.

Matahari yang tegak di atas perlahan turun. Lampu minyak dinyalakan di depan teras, sinarnya kekuningan, berpadu dengan aroma obat pengusir nyamuk yang mengepul lembut. Pratama duduk di depan teras, membiarkan Caroline menikmati waktunya bersama keluarga.

Alasannya? Melihat bintang seperti biasa, sebuah kebiasaan lama yang kini ia hargai.

“Tama.”

Lelaki itu membalas, “Iya, Pak.”

Suara papan membuatnya tahu, mertuanya mengajaknya bermain catur. Pram sedikit bercanda saat ia menyusun bidak catur putihnya, “Sudah lama ga main, Pak. Tama sudah ga se-lihai itu.”

Pak Ming menggelengkan kepalanya. “Menang-kalah tidak penting. Bermain biasa saja, Bapak juga sudah lama tidak bermain catur.”

“Tidak ada saingan sekuatmu,” imbuhnya dengan suara hangat. Air jahe, pisang goreng, dan sambal ulek yang bersebelahan dengan papan catur juga baru saja ada. Tampaknya Pak Ming sudah membawa amunisinya.

Pratama tersenyum dan memilih gerakannya.

Memajukan prajuritnya ke depan sebanyak dua kotak. Mereka berdua berdiam dan menikmati malam. Obat nyamuk masih mengepul. Beberapa nyamuk yang mencoba mengisap darah tak kunjung berhasil karena kedua pria itu ditutupi baju dan celana panjang.

“Bapak harus mengucapkan terima kasih, karena tetap ada di samping Ine saat kondisinya memburuk.”

Suara itu memecah keheningan dan hampir menyebabkan Pram salah memilih bidak untuk dimajukan.

Pratama menghentikan tangannya, memakukan pandangan ke bidak catur di depan sejenak. Ia menghela napas panjang, sorot matanya melembut saat membalas tatapan mertuanya. "Tidak perlu begitu, Pak," jawabnya pelan, jujur dari lubuk hatinya.

"Tama yang seharusnya meminta maaf dari awal, bungkam dan hanya memberitahu beberapa hal krisis saja."

“Bapak rasa, antara kamu dan anakku sendiri memang ada yang harus disampaikan dan disimpan. Bapak dan Ibu sepakat untuk menghargai itu. Kamu membawa putriku kembali pun sudah mengobati kerinduan kami sebagai orang tua.”

Pratama menatap papan catur lagi, kini dengan pandangan yang lebih jauh, seolah melihat kembali ke belakang.

"Terima kasih atas pengertiannya, Pak.”

Dia memajukan bidak kuda dan memakan prajurit yang menghadang. “Selama ini Tama terlalu sibuk dengan kerjaan. Sampai enggak lihat dan tahu bahwa Ine menyimpan semua dalam diam. Tama minta maaf lagi, Pak. Saya gagal menjaga Ine dengan baik."

Pram menundukkan wajahnya, suaranya sedikit merendah. “Saya malu, Pak. Menyia-nyiakan kepercayaan kalian semua.”

Telapak tangan besar dan kasar itu menyentuh punggung tangan Pram. “Jika tidak ada penderitaan, tidak akan muncul kebijaksanaan. Tanpa kesalahan, setiap orang pun tidak akan tahu dimana masalahnya ada. Selama Ine gapapa sekarang, semua sudah cukup.”

Pak Ming menggeser bidak catur kudanya, langkah yang hati-hati namun penuh perhitungan. "Dulu saat Ine membawamu pertama kali, sekilas lihat saya sudah tahu kamu tipikal logis dan kurang peka akan masalah perasaan. Dan Ine tipikal anak yang takut menceritakan perasaannya. Tapi sekarang, Ine jauh lebih keras hati dan lugas. Kamu juga sudah lebih peduli dan tahu batasan."

Ia menatap Pratama lurus. "Dulu kami semua juga tidak tahu seberapa parah yang ia pendam. Kami semua terlalu sibuk dengan perusahaan dan rasa malu. Kami gagal melihat anak kami sendiri." Ada nada penyesalan yang mendalam dalam suara Pak Ming.

Pratama mengangguk, memahami. Ia tahu orang tua Caroline juga menanggung beban berat mereka sendiri. Ini bukan saatnya saling menyalahkan, melainkan saling menguatkan.

"Sekarang, kami akan menghadapinya bersama, Pak. Perlahan-lahan."

“Sebenarnya saya ga lama disini. Kali ini Tama titip Ine disini sampai dia puas atau mau pulang lagi. Katanya, kangen rumah.”

Pak Ming mengangguk patuh. “Ya, Nak.”

Jemarinya mencomot pisang goreng dan mencocolnya ke sambal khas Bu Lien. Mereka berdua saling bertukar serangan hingga larut malam.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!