Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20: The Crownless Heir
Hujan mengguyur istana Ravennor seperti denting doa dari langit yang kelelahan.
Seraphine berdiri di sisi Caelum, rambutnya basah, gaun hitamnya melekat pada tubuh, namun sorot matanya tak goyah sedikit pun. Di depannya, para bangsawan dan rakyat yang tersisa menatap tak percaya. Sebagian marah, sebagian terdiam, dan sebagian lainnya… bersujud.
Caelum mengangkat mahkota retak di tangannya.
“Aku mewarisi darah penguasa, tapi tidak mewarisi kebijaksanaan mereka,” katanya. “Aku telah membiarkan kejahatan berakar karena ketakutanku. Tapi hari ini, takhta ini akan berubah.”
Ia melempar mahkota ke tanah, membiarkannya berguling sampai berhenti tepat di depan seorang anak kecil yang duduk di bawah pelindung tenda—anak pengungsi, kurus, mengenakan jubah usang.
“Mulai hari ini, mahkota bukanlah lambang siapa yang duduk di atas singgasana,” lanjut Caelum. “Tapi siapa yang berani bertarung agar tidak ada lagi darah tak bersalah tertumpah.”
Seraphine melangkah maju.
“Dan kami akan memimpin bukan karena kami dicintai,” suaranya menggema, “melainkan karena kami tidak akan lari dari kebenaran. Bahkan jika itu membuat kami dibenci.”
Badai menderu. Dan dari kerumunan, suara pertama muncul—dari Orin.
“Hidup Seraphine! Hidup Ravennor!”
Ash menepuk bahu adiknya. “Teriakanmu seperti anak ayam, Rin.”
“Salah satu ayam yang mewarisi darah keluarga Verndale,” Orin membalas, mengangkat alis penuh kemenangan.
Tawa lirih terdengar dari kerumunan.
Dan perlahan, satu demi satu rakyat ikut mengangkat suara. Nama Seraphine dan Caelum diteriakkan bersamaan, seperti simfoni baru dari kerajaan lama yang bangkit dari debu.
Di malam yang sama, aula singgasana dibersihkan. Karpet merah tua yang ternoda darah digulung, patung-patung raja terdahulu digantikan lilin dan lukisan rakyat. Tidak ada lagi tahta tunggal. Hanya meja bulat besar di tengah ruangan, simbol bahwa kekuasaan tak lagi berada pada satu tangan.
Seraphine menatap meja itu dari jendela balkon, secangkir teh hangat di tangannya.
“Aku tak percaya… kau benar-benar melempar mahkota itu,” gumamnya.
Caelum berjalan mendekat, mengenakan tunik sederhana, tak seperti pangeran. “Kupikir… seharusnya kau yang memakainya.”
Seraphine menyeringai. “Kupikir kita sepakat tidak ada yang duduk di atas takhta.”
“Kau benar,” katanya pelan. “Tapi jika ada yang pantas duduk di atas dunia ini, itu kau.”
Seraphine terdiam, pandangannya menerawang. “Kau tahu, ada masa ketika aku ingin membunuhmu dengan tangan ini.” Ia menatap tangannya sendiri. “Membuatmu merasakan setiap luka yang kurasakan saat keluargaku dihancurkan.”
“Aku tahu,” balas Caelum.
“Tapi sekarang, saat aku melihatmu berdiri di sini… menyatakan perang terhadap bangsamu sendiri demi menebus kesalahan… aku tidak tahu siapa yang lebih bodoh. Kau, atau aku.”
“Kita berdua,” jawab Caelum. “Dan mungkin itu sebabnya kita cocok.”
Mereka tertawa kecil.
Kemudian hening lagi. Tapi kali ini bukan hening yang canggung—melainkan hening yang nyaman. Seperti pelukan yang tidak butuh kata-kata.
Namun kedamaian yang baru saja tumbuh itu tidak berlangsung lama.
Keesokan harinya, pesan rahasia dikirimkan oleh mata-mata Ordo Umbra yang tersisa. Di perbatasan barat, House D’Aurelle—salah satu keluarga bangsawan yang tersisa—mulai mengumpulkan pasukan. Mereka menolak mengakui Caelum sebagai pemimpin sah, apalagi Seraphine, yang masih dianggap “penyihir berdarah pengkhianat”.
“Mereka membawa Lambang Tiga Mata,” lapor Mirella. “Itu artinya mereka berniat menggunakan sihir gelap.”
Caelum menatap Seraphine. “Kau tahu apa artinya.”
“Jika mereka bangkit dengan sihir itu, seluruh kerajaan akan hancur sebelum sempat berdiri,” katanya dingin.
Ash menyodorkan peta yang dibentangkan di atas meja. “Tapi kita punya satu keunggulan—mereka belum tahu Orin masih hidup. Dan mereka tidak tahu Seraphine kini bisa mengendalikan api leluhurnya.”
Orin yang sedang makan apel di sudut ruangan, angkat tangan. “Yup. Aku senjata rahasia. Walau… mungkin aku lebih berguna kalau dikasih baju zirah yang gak bolong-bolong.”
Seraphine tertawa kecil. “Nanti kujahitkan. Pake sulaman bentuk tengkorak biar serem.”
Ash memelototi Orin. “Berhenti bercanda. Ini bukan panggung teater.”
“Tapi kita semua nyaris mati kemarin,” sahut Orin. “Kalau nggak bisa ketawa sekarang, kapan lagi?”
Caelum mengangguk pelan. “Dia benar.”
Dua malam kemudian, pasukan kecil Ravennor bergerak ke perbatasan barat. Bukan perang terbuka—bukan invasi. Melainkan penyusupan sunyi ke markas House D’Aurelle. Tujuannya satu: mengambil kembali Kitab Tiga Mata sebelum mereka membuka segelnya.
Seraphine memimpin sendiri pasukan bayangan itu. Bersamanya, Orin dan Ash, serta seorang mantan penyihir istana bernama Elera, yang dulunya bekerja untuk Raja Elric—dan kini membelot karena Caelum menyelamatkan putrinya.
Menjelang tengah malam, mereka tiba di pelataran belakang kastil D’Aurelle. Menara-menaranya menjulang tinggi, tapi pertahanannya lengah—mereka terlalu percaya diri, terlalu yakin Ravennor telah jatuh.
“Berikan sinyal jika aku tak kembali dalam satu jam,” bisik Seraphine.
“Tunggu, kau sendiri yang masuk?” tanya Orin.
“Ya. Aku yang pernah mencuri dari tempat ini waktu dulu. Aku tahu lorong rahasianya.”
Ash mengerutkan dahi. “Kapan kau pernah—”
Seraphine tersenyum misterius. “Banyak hal yang kalian belum tahu soal aku.”
Dan sebelum ada yang sempat membantah, ia sudah menyelinap masuk melalui celah dinding yang tersembunyi di balik patung singa.
Di dalam kastil, keheningan seperti bisikan kutukan.
Lorong-lorong berlapis karpet emas, lukisan bangsawan dengan mata kosong, dan suara jam berdentang jauh di atas—semuanya seperti mengawasi. Tapi Seraphine bergerak cepat, lincah, seperti bayangan yang hidup.
Ia tahu ke mana harus pergi. Ruang bawah tanah. Ruang ritual.
Ketika ia tiba, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya dingin.
Kitab Tiga Mata sudah terbuka. Di sekitarnya, lima penyihir berdiri dalam lingkaran, mulut mereka berkomat-kamit. Di tengah lingkaran, tergantung di udara—sebuah bentuk manusia setengah transparan, matanya terbakar cahaya ungu. Roh Leluhur D’Aurelle.
“Dengan nama darah kami, kami bangkitkan penjaga warisan!” teriak salah satu dari mereka.
Seraphine tahu ia hanya punya satu pilihan.
Ia melompat ke tengah lingkaran, menyayat telapak tangannya dan menghantam lantai dengan darahnya.
“Dengan nama Verndale… AKU MELAWAN!”
Cahaya merah meledak dari tubuhnya, menghantam roh itu dan para penyihir. Ruangan itu seperti meledak dalam dua warna: merah dan ungu, bertarung dalam badai energi.
Salah satu penyihir berteriak, “Itu dia! Penyihir pengkhianat—bunuh dia!”
Tapi sebelum mereka sempat menyerang, pintu meledak.
Ash dan Orin menerobos masuk.
“Seraphine! Turun!”
Orin melemparkan pisau bertuliskan mantra, yang menusuk ke tengah Kitab Tiga Mata. Buku itu bergetar… dan hancur dalam kilatan cahaya.
Roh leluhur menjerit dan lenyap.
Yang tersisa hanya keheningan.
Malam itu, Seraphine dan yang lain pulang ke Ravennor dengan tubuh lelah tapi hati penuh kemenangan. Kitab telah dihancurkan. Dan House D’Aurelle… kini gentar.
Di istana, Caelum menyambut mereka.
Tanpa bicara, ia memeluk Seraphine.
Ia tidak peduli darah di pakaiannya. Tidak peduli luka di tangannya. Hanya satu hal yang ia pedulikan—perempuan yang berdiri di hadapannya adalah alasan ia masih percaya kerajaan ini bisa diselamatkan.
“Kau kembali,” katanya pelan.
Seraphine memutar mata. “Tentu saja kembali. Aku belum sempat menggeledah laci rahasiamu.”
Caelum tertawa.
Di keheningan malam, di atas menara tertinggi istana Ravennor, Seraphine duduk bersama Orin dan Ash, memandangi bintang.
“Apakah ini akhirnya?” tanya Orin.
“Belum,” jawab Seraphine. “Tapi kita lebih dekat dari sebelumnya.”
Ash mengangguk. “Masih ada mereka yang belum setuju. Masih ada luka yang belum sembuh.”
“Tapi setidaknya,” kata Orin, “untuk pertama kalinya… kita tidak takut.”
Seraphine memandangi langit.
Dan di dalam hatinya, ia tahu—
Kerajaan yang tidak dibangun di atas ketakutan… adalah kerajaan yang pantas dijaga.
Dan ia akan menjaganya.
Bersama mereka semua.
Kabut pagi menyelimuti istana Ravennor dengan ketenangan yang menipu. Dari kejauhan, kerajaan terlihat damai, seolah tidak pernah dilanda perang, tidak pernah dibakar ambisi, dan tidak pernah berdiri di atas pengkhianatan. Namun di dalam dinding batu yang dingin itu, para pemimpin baru tengah bersiap menghadapi kenyataan paling kejam: perdamaian bukan warisan, tapi pertarungan harian.
Seraphine berdiri di halaman dalam, tempat pohon kastanye tua menjulang di tengah. Gaun tempurnya diganti dengan pakaian hitam sederhana, rambut dikepang longgar. Ia tidak lagi bersembunyi dalam bayang-bayang, tapi bukan juga pemilik takhta. Ia adalah penyeimbang.
Caelum berjalan mendekatinya, membawa dua cangkir teh herbal yang baru diseduh. Ada senyum di bibirnya yang hanya muncul ketika ia berbicara dengan Seraphine—senyum yang tidak mengenal politik.
"Kau terlihat... tidak sedang merencanakan kudeta hari ini," godanya sambil menyodorkan cangkir.
Seraphine menerimanya dengan anggukan. "Hari ini hanya rencana pembenahan dapur dan penghapusan pajak cuci tangan bangsawan."
Caelum tertawa pelan. "Dapur lebih kejam dari medan perang. Aku pernah nyaris mati karena sup kaldu ibu pemimpin pelayan."
"Kau memang lemah terhadap bumbu tajam," sahut Seraphine sambil duduk di bangku batu. Ia menatap langit. "Tapi... aku takut."
Caelum ikut duduk, tenang. "Takut pada apa?"
"Takut... saat semua ini tampak terlalu tenang. Kita tahu, musuh tidak hanya di luar. Kadang, pengkhianat ada di meja makan yang sama."
Belum sempat Caelum menjawab, seorang pengawal berlari mendekat.
"Paduka, Nona Seraphine, surat penting dari perbatasan utara."
Caelum membuka gulungan lilin dan membaca cepat. Wajahnya mengeras. "Mereka mulai bergerak. Bukan hanya House D’Aurelle. Tapi juga Ordo Bayangan Timur. Mereka menyatukan kekuatan."
Seraphine menghela napas. "Perang belum selesai. Ini baru awal."
Di ruang dewan, peta kerajaan terbentang di meja bundar. Orin duduk menyilangkan kaki di atas meja (sampai Ash menendangnya turun), Elera menjelaskan pembagian sihir pelindung, dan Caelum serta Seraphine memimpin diskusi tentang kemungkinan serangan dari selatan.
"Kita harus menyatukan wilayah bebas," kata Ash. "Desa kecil yang selama ini tak berpihak, mereka bisa jadi kekuatan rakyat."
"Tapi mereka tak percaya pada siapa pun yang berasal dari istana," sahut Elera.
Seraphine berdiri. "Kalau begitu, biarkan aku yang pergi. Aku bukan bagian dari keluarga kerajaan. Aku bukan ratu. Aku hanya seseorang yang pernah hidup di antara mereka."
Orin mengangkat tangan. "Kalau kakak pergi, aku ikut. Aku paling jago bahasa rakyat. Bahkan bisa menirukan suara kambing."
Semua memelototinya.
Orin nyengir. "Oke, oke. Tapi serius, kau tak akan pergi sendirian, kan?"
Seraphine menoleh ke Caelum. Mata mereka saling bertemu.
"Aku akan ikut," kata Caelum tanpa ragu.
Tiga hari kemudian, rombongan kecil mereka tiba di desa Kareth—daerah yang dulu dibakar oleh pasukan kerajaan, lalu dibiarkan terlantar. Kini, desa itu hidup seadanya, penuh luka dan ketidakpercayaan.
Anak-anak kecil bersembunyi di balik pintu. Para petani menatap tajam saat Seraphine dan Caelum turun dari kuda tanpa penjaga.
"Kami tidak datang membawa perintah," ujar Seraphine lantang. "Kami datang membawa pilihan."
Seorang perempuan tua, mungkin kepala desa, maju ke depan. Wajahnya penuh garis usia dan kesedihan.
"Kau... dari istana. Kami tak percaya pada mereka yang duduk di singgasana."
Caelum membuka jubahnya, memperlihatkan bekas luka di dada.
"Aku berdiri di medan perang, bukan di balik dinding emas. Aku memilih berdiri di sisi yang menolak kekuasaan lama."
Perempuan itu menatap Seraphine. "Dan kau, siapa kau?"
Seraphine mendekat, membuka kerah bajunya dan memperlihatkan kalung tua—lambang Verndale.
"Aku adalah putri dari keluarga yang dihancurkan oleh mahkota. Aku datang bukan untuk mengambil kembali tahta, tapi untuk memperbaiki apa yang dihancurkan."
Perempuan itu lama menatap mereka. Kemudian, tanpa bicara, ia berbalik dan mengetuk lonceng di tengah desa.
Tak lama, penduduk mulai berkumpul.
Dan di tengah mereka, suara kecil terdengar:
"Apa kau benar-benar Seraphine?" tanya seorang anak lelaki.
Seraphine tersenyum dan berjongkok. "Iya. Dan aku suka roti madu. Kau punya?"
Anak itu tertawa. "Ibuku bisa buatkan."
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, senyum kembali muncul di wajah-wajah desa Kareth.
Malamnya, di bawah cahaya obor dan api unggun, penduduk dan rombongan Ravennor makan bersama. Caelum duduk bersama anak-anak, dikelilingi suara tawa dan nyanyian. Seraphine menyaksikan dari jauh, senyum lirih di wajahnya.
Ash bergabung di sampingnya. "Kau tahu, ini gila. Tapi untuk pertama kalinya... aku merasa kita punya kesempatan."
"Aku juga," bisik Seraphine.
Orin mendekat sambil membawa roti madu dan dua cangkir anggur.
"Aku meyakinkan ibu kepala desa kalau aku juru masak kerajaan. Sekarang aku ditantang bikin sup esok pagi."
"Kau bahkan tidak bisa masak air," ejek Ash.
"Hei, aku bisa bikin air mendidih dengan tatapan!"
Seraphine tertawa. Untuk sejenak, malam itu terasa seperti dunia yang tak mengenal perang.
Tapi di kejauhan, seekor burung hitam hinggap di pohon mati. Di kakinya, gulungan pesan rahasia.
Dan di balik awan, pasukan dari utara mulai bergerak.
to be continued...
Kalau kamu sayang Caelum...
klik vote itu sekarang juga 💔👑
[ karinabukankari ] o(〃^▽^〃)o °Hehe
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~