Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan Teman
"Hai-hai Kevin" Melia menyapa dengan nada menggoda sambil menyenderkan tubuhnya ke meja Kevin. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu saat melihat ekspresi kesal di wajah Kevin. "Gimana reaksi si penerima hadiahmu kemarin?"
Suasana kelas yang riuh seketika menjadi latar belakang yang sempurna untuk pertanyaan Melia yang penuh arti. Kevin menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tidak sabar.
"Itu bukan hubungan seperti yang kamu bayangkan," jawabnya sambil memalingkan muka. "Dan tidak ada perkembangan apapun."
Revan yang duduk di sebelahnya langsung menyeringai, ikut nimbrung dalam percakapan. "Ah, jadi memang benar kamu memberi hadiah ke seseorang?"
Melia tidak memberi kesempatan pada Kevin untuk menjawab. "Pasti ada seseorang yang bikin jantungmu berdebar kan?" Dia menyipitkan mata, senyum licik mengembang di wajahnya. "Kalian jelas bukan sekadar kenalan, dan dia pasti cewek. Ayo dong, cerita-cerita"
Kevin menggeser kursinya menjauh, mencoba membuat jarak antara dirinya dengan dua pengganggu ini. "Kami tidak punya hubungan khusus. Titik."
Tapi Melia seperti hiu yang mencium darah. "Tapi kamu sampai beli boneka beruang lho" nyanyinya dengan nada tinggi. "Apa cuma teman biasa yang dikasih hadiah kayak gitu?"
Ruangan kelas yang hangat tiba-tiba terasa semakin panas bagi Kevin. Dia menarik kerah seragamnya yang terasa mengikat. "Itu... itu karena..."
Revan yang biasanya lebih kalem tiba-tiba ikut mengejar. "Aku penasaran nih," katanya sambil menopang dagu dengan tangan. "Apa kamu ngasih hadiah itu ke tetanggamu?"
Kevin hampir tersedak liur. "Dari mana kamu bisa nebak begitu?"
"Logika sederhana," Revan mengangkat bahu, tapi matanya berbinar penuh kemenangan. "Kamu jarang bergaul, bukan orang sini, dan satu-satunya cewek yang sering berinteraksi denganmu ya tetanggamu itu. Ditambah kamu akhir-akhir ini lebih rapi."
Melia mengangguk-angguk antusias. "Iya! Rambutmu sekarang selalu rapi, bajumu lebih wangi, dan... oh!" Matanya tiba-tiba berbinar lebih terang. "Dia yang sering memberimu makanan ya? Jadi kamu balas budi dengan hadiah ulang tahun?"
Kevin merasa darahnya naik ke wajah. Dua detektif amatir ini benar-benar tidak bisa dibohongi. "Siapa tahu" jawabnya sambil berusaha terdengar acuh.
Tapi Revan sudah terlalu jauh. "Krim tangan dan boneka beruang... pilihan yang menarik untuk cewek seusianya."
"Kamu ini..." Kevin menggeleng, merasa terjebak. Di sekelilingnya, beberapa teman sekelas mulai memperhatikan percakapan mereka dengan penasaran.
Melia tiba-tiba menepuk bahu Kevin. "Sudah jujur saja aku janji nggak akan bilang ke siapa-siapa!" Ucapnya sambil menyilangkan jari di dadanya, padahal semua tahu Melia adalah sumber gosip terbesar di sekolah.
"Kalian berdua ini benar-benar..." Kevin menghela napas frustasi. Dia berdiri tiba-tiba, mengambil tasnya dengan gerakan kasar. "Aku pulang dulu."
"Eh, tunggu dong!" Melia berusaha menahannya.
Tapi Kevin sudah berjalan cepat ke pintu. Sebelum pergi, dia menoleh sebentar. "Lebih baik kalian fokus ke hubungan kalian sendiri saja. Jangan ikut campur urusan orang lain."
Di luar kelas, udara segar menyambutnya. Kevin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Pikirannya langsung melayang ke Cindy bagaimana senyum manisnya kemarin saat menerima boneka beruang itu, bagaimana dia memeluknya erat...
"Astaga," geramnya pada diri sendiri. Dia mengayunkan tas dengan keras, membuat beberapa siswa yang lewat menoleh penasaran.
Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah kakinya terasa berat oleh pikiran-pikiran yang berkecamuk. Apakah perasaannya pada Cindy memang lebih dari sekadar teman? Atau ini hanya karena dia tidak terbiasa diperlakukan baik oleh seorang perempuan?
Sesampainya di apartemen, Kevin langsung melemparkan dirinya ke sofa. Ruangan yang sepi tiba-tiba terasa terlalu besar, terlalu kosong.
"Apa tadi?" Suara Cindy yang lembut tiba-tiba memecah keheningan.
Kevin terkejut, tidak menyadari bahwa Cindy sudah datang dan sedang berdiri di ambang pintu dapur, tangan masih memegang sendok kayu. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan.
"Ah... tidak ada," jawabnya sambil duduk tegak. "Cuma masalah sekolah saja."
Cindy memiringkan kepalanya, rambut hitamnya yang panjang jatuh ke satu sisi. "Revan dan Melia lagi mengganggumu?"
Kevin mengerutkan kening. "Kamu tahu mereka?"
"Kamu pernah cerita," ujar Cindy sambil kembali ke aktivitas memasaknya. Suara sayuran yang ditumis mulai terdengar. "Mereka menanyakan tentang hadiah itu?"
Telinga Kevin terasa panas. "Iya. Mereka... mereka berpikir aneh-aneh."
Cindy berhenti mengaduk sebentar. "Apa katanya?"
Kevin menggaruk-garuk kepala yang tiba-tiba terasa gatal. "Ah... bahwa aku... bahwa kita..." Dia tidak bisa melanjutkan.
Untungnya Cindy tidak memaksa. "Buah apel dari ibumu datang hari Sabtu ya?" Ganti topik dengan lancar.
Kevin menghela napas lega. "Iya. Kamu benar-benar mau bantu masak untuk mereka?"
"Tentu," Cindy tersenyum kecil. "Aku senang bisa membantu."
Pandangan Kevin tertuju pada tangan Cindy yang lincah mengolah makanan. Tangan yang halus itu sekarang mungkin akan lebih lembut berkat krim tangan pemberiannya. Pikirannya melayang ke boneka beruang yang pasti sekarang ada di kamar Cindy...
"Kevin?" Cindy memanggil namanya, membuyarkan lamunannya. "Apa kamu baik-baik saja? Wajahmu merah sekali."
Kevin buru-buru mengusap wajahnya. "Ah... panas saja. Aku... aku mandi dulu!"
Dia berlari ke kamar mandi, meninggalkan Cindy yang hanya bisa mengerutkan kening bingung. Air dingin yang mengalir di wajahnya tidak juga meredakan panas di pipinya. Jantungnya berdebar kencang, dan untuk pertama kalinya, Kevin mulai mempertanyakan perasaannya sendiri.