Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hidangan misterius
Di pagi harinya,
Kembali ke sisi Danu,
Udara dingin menelusup masuk ke sela-sela celah kaca mobil yang sedikit terbuka. Kabut tipis menyelimuti pepohonan dan rerumputan, menggantung rendah seolah belum rela diusir cahaya pagi. Langit masih pekat, hanya semburat abu-abu pucat yang mulai tampak di ujung timur. Jam digital di dashboard mobil menyala lemah, 04:05.
Galang membuka matanya perlahan, menguap lebar sambil menggeliat sebisa mungkin di dalam posisi duduk yang tak nyaman. Ia menoleh ke samping, Danu masih tertidur pulas, kepala bersandar di kursi, napasnya teratur.
"Nu," gumam Galang sambil menggoyang pelan bahu sahabatnya. "Bangun, bro. Udah pagi."
Danu hanya bergumam tak jelas, setengah sadar.
"Serius. Kita bangun sekarang sebelum tempat ini diserbu anak-anak camping. Gue mau cari air terjun. Mandi duluan."
Mendengar kata "mandi", Danu menggerakkan badan, masih setengah ogah. "Lang… pagi-pagi gini?"
"Lu mau rebutan mandi sama anak-anak satu pasukan camping? Gak kan?" Galang membuka pintu mobil, menghirup udara segar. "Ayo. Sambil nyari air. Tadi malam gue sempet denger suara gemericik dari arah timur. Kayaknya deket."
Danu akhirnya duduk dan mengusap wajahnya pelan. "Oke… oke. Tapi lu duluan yang nyari jalan. Gue belum bisa mikir."
Galang tertawa pendek, lalu meraih tas kecil dan senter dari jok belakang. "Gue kira lu bakal ngomel, ternyata lebih gampang dibangunin dari perkiraan."
"Gue masih mimpi buruk, Lang… jangan bikin tambah nyebelin," gerutu Danu sambil membuka pintu dan melangkah keluar.
Mereka mulai berjalan pelan, menyusuri jalan setapak kecil di sisi kiri area tenda utama. Senter di tangan Galang menyorot batu-batu kecil dan akar pohon yang mencuat dari tanah. Pepohonan masih gelap dan diam, hanya sesekali burung malam terdengar berderak di dahan.
Suara gemericik air mulai terdengar pelan. Galang berhenti, menajamkan telinga.
"Denger gak, Nu? Itu suara airnya makin jelas."
Danu mengangguk. "Kayaknya beneran deket."
Langkah mereka dipercepat, meski tetap hati-hati karena tanah masih lembap sisa embun malam. Akhirnya, setelah sekitar sepuluh menit berjalan, mereka menemukan jalan setapak yang menurun curam, di ujungnya terlihat pantulan air dan kabut lembut yang terangkat dari permukaan.
Sebuah aliran air kecil mengalir dari sela-sela batu besar, air terjun itu tidak terlalu besar, tapi cukup deras untuk membentuk kolam alami yang jernih di bawahnya. Suara gemericik air berpadu dengan kicauan burung yang mulai bangun dari tidurnya.
Galang berseru pelan, "Yes! Ketemu!"
Kemudian tanpa membuang waktu, Galang lebih dulu melompat ke dalam air, langsung menyeringai puas. "Akhirnya segar juga!" serunya, seraya mengguyur kepalanya dengan air dingin yang menusuk kulit.
Air terjun itu tak terlalu tinggi, tapi cukup lebar dan bersih. Dikelilingi pohon-pohon besar dan semak liar, tempat itu tampak tersembunyi, seperti tak banyak dijamah manusia.
Danu hanya tertawa kecil sambil duduk di batu besar dekat tepian. Ia belum turun ke air, masih sibuk membuka kaos dan menggulung celana. "Lo duluan aja, gue nyusul."
"Cepetan, nanti anak-anak kemah keburu nyamperin. Lo pengen mandi bareng bocah SMA?" goda Galang sambil menyelam sebentar dan muncul lagi.
Danu menggeleng, lalu menyusul masuk ke air. Sensasi dinginnya langsung menusuk, tapi juga menyegarkan setelah semalam tidur di dalam mobil.
Sesekali mereka saling menyiramkan air, tertawa lepas seperti anak-anak. Pagi itu, untuk beberapa saat, semua beban dan misteri yang menghantui mereka terasa menjauh.
Setelah beberapa menit dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara alam, Galang mendadak berkata pelan, "Lo sadar gak sih, Nu… udah dua hari ini kita gak ada kabar dari Bima sama Naya?"
Danu menoleh, menyeka wajah dengan telapak tangannya. "Kenapa? Kangen?"
Galang tertawa kecil, tapi nadanya agak berat. "Entah kenapa gue kepikiran aja. Biasanya Bima paling bawel di grup. Sekarang malah hening. Naya juga. Padahal gue liat terakhir mereka bareng."
Danu mengangguk pelan. Ia juga sebenarnya merasa hal yang sama, tapi belum sempat mengutarakan. "Gue juga ngerasa gitu. Kayak ada yang... coba mereka sembunyiin dari kita."
"Hah, jangan mikir aneh-aneh dulu lah." Galang mencoba mengusir perasaan tak enak itu. Tapi dari cara ia menarik napas panjang, jelas ada keresahan yang tertahan.
Setelah cukup puas bermain air, mereka akhirnya naik dari kolam dan mulai mengenakan pakaian kering yang dibawa dalam tas kecil. Sambil menyeka rambutnya dengan handuk, Danu mendadak diam.
Ia mengendus pelan udara pagi.
"Lang..." katanya perlahan. "Lo nyium bau... kaya wedang uwuh gak sih?"
Galang mengernyit. "Wedang uwuh?"
"Iya. Kayak... campuran kayu manis dan melati. Manis, tapi juga wangi bunga. Lo nyium gak?"
Galang mendekat, ikut mengendus udara sekitar lalu mendengus. "Ngarang deh lo. Mana ada wedang uwuh di hutan gini. Lagi pula itu kan minuman khas Jawa, masa ada yang bikin di tengah hutan?"
Danu tersenyum kecut. Tapi dalam hatinya, ia tahu benar aroma itu. Bukan sekadar minuman. Itu... aroma yang muncul dari rumah tua berhias kelambu putih. Aroma yang selalu tercium saat Nyai Laras muncul di dekat mereka.
Namun Danu memilih tidak berkata apa-apa. Ia tidak ingin Galang panik atau ikut curiga terlalu jauh. "Mungkin gue lapar kali ya," katanya ringan, mencoba menertawakan dirinya sendiri.
Galang mengangkat alis. "Nah, itu baru masuk akal. Sarapan yuk. Kalau enggak, kita nyari anak-anak kemah dulu buat nyolong roti mereka."
Danu tertawa kecil, lalu mengangguk. Tapi hatinya belum sepenuhnya tenang. Aroma itu terlalu nyata... dan tak mungkin salah.
Aroma Nyai Laras telah kembali, dan entah kenapa, Danu merasa ia belum benar-benar lepas dari bayangan wanita itu.
Udara pagi masih menyimpan sisa dingin hutan saat Danu dan Galang akhirnya berjalan meninggalkan air terjun. Kulit mereka masih sedikit basah, rambut menetes, dan pakaian ganti yang baru saja mereka kenakan belum sepenuhnya kering oleh angin.
"Gila, segar banget ya," ujar Galang sambil merenggangkan tubuh, langkahnya ringan menyusuri jalan setapak kembali ke arah mobil.
Danu mengangguk, namun pikirannya belum sepenuhnya lepas dari aroma aneh yang sempat tercium tadi. Kombinasi aroma yang terlalu familiar… terlalu identik dengan seseorang yang berusaha ia lupakan.
"Lang," katanya tiba-tiba. "Lo gak ngerasa bau aneh tadi?"
Galang melirik sebentar. "Yang lo bilang bau kayu manis dan melati itu? Lo kebanyakan baca cerita horror, Nu. Udah, yuk, cari makan. Laper gue."
Mereka tiba di mobil tak lama setelah itu. Danu lebih dulu berjalan ke sisi pintu depan, hendak membuka bagasi. Tapi begitu pintu mobil terbuka, langkahnya langsung terhenti.
Matanya menajam.
Di atas jok kursi sopir, tempatnya tertidur tadi malam, tergeletak sebuah tas rotan kecil yang tidak ia kenali. Dan di dalamnya, ada tumpukan rapi empat buah roti sobek isi selai manis, dibungkus daun pisang tipis, dan dua gelas plastik teh manis yang mengeluarkan aroma hangat, manis, wangi rempah... dan jelas ada kayu manis di dalamnya.
Danu menatap itu semua dengan alis berkerut dan napas terhenti sejenak. Detik berikutnya, ia menoleh cepat ke belakang mobil, tempat Galang berdiri dengan handuk di leher.
"Lang!" panggilnya. "Lo… lo yang naro ini?"
Galang mengernyit, berjalan mendekat. "Naro apaan?"
"Roti sama teh ini! Lo yang naro di mobil?"
Galang ikut mengintip ke dalam mobil. Matanya membulat sebentar, tapi bukan karena terkejut, melainkan antusias.
"Wih, beneran ada roti? Teh juga?" katanya, senyum lebarnya langsung merekah. "Gue udah lapar setengah mati, sumpah."
Danu masih terdiam, bingung.
"Apa ini pembina camping yang naro?" tanyanya pada Galang.
Galang mengangkat bahu santai. "Mungkin aja. Lo mikirin apa sih? Udah, ini rezeki anak soleh, Dinikmatin aja. Mungkin tadi malam ada yang lihat kita tidur di mobil, terus dikasih sarapan. Siapa tahu salah satu pembina kasihan."
Sebelum Danu sempat membalas, Galang sudah membuka salah satu bungkus roti, menggigitnya tanpa ragu. "Enak banget! Manisnya pas, rotinya lembut, selainya kayak selai pisang dicampur gula merah gitu. Perpaduan yang pas, Nu"
Danu hanya bisa menatapnya, masih belum yakin. Tangannya menyentuh salah satu cup teh hangat. Bukan panas, tapi masih terasa baru diseduh.
"Lang... teh-nya juga bau kayu manis," gumamnya.
Galang menyesap dari cup yang satunya. "Iya, enak. Mirip kayak teh rempah itu, yang buat penghangat badan. Lo kenapa sih? Parno amat."
Danu menghela napas panjang. "Gue cuma mikir... ini aneh. Kita tidur gak ada siapa-siapa. Mobil dikunci. Tapi sekarang ada roti dan teh muncul di kursi?"
Galang mengangkat alis, menepuk bahu temannya. "Kalau ini mimpi, mendingan jangan dibangunin dulu. Lo lapar enggak? Kalau enggak, rotinya buat gue semua."
Danu menggeleng kecil, lalu akhirnya menarik nafas dan mencoba tersenyum. Ia masih merasa ada yang janggal, tapi mungkin Galang benar. Mungkin ini hanya kebaikan seseorang yang melihat mereka tertidur di mobil.
Tapi aroma itu... aroma melati samar yang masih tertinggal di udara...
Danu tak bisa bohong. Di dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar roti dan teh. Tapi ia belum siap menyimpulkan apa pun.
Akhirnya Danu memilih duduk di bangku sopir, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kehangatan pagi yang mulai merangkak naik. Ia mengambil satu roti, membuka bungkus daun pisangnya perlahan, mencium aroma legit dari selai pisang yang bercampur gula merah, bahkan mungkin sedikit kelapa parut. Tak ada yang salah dari rasanya. Bahkan, terlalu sempurna untuk makanan dadakan di tengah hutan seperti ini.
Galang sudah menghabiskan satu roti dan tengah menyelesaikan teh manisnya, bibirnya berwarna coklat muda, terkena sisa gula yang melapisi bibir cup plastik. Ia bersandar pada pintu mobil, menatap ke arah langit yang mulai berubah biru cerah.
"Lang?" Danu membuka pembicaraan lagi, Namun kali ini tidak berniat menoleh kearah Galang.
"Hm?" Galang menanggapi tak kalah santai nya.
"Lo yakin teh dan roti tadi bukan lo yang pesan?”
Kali ini Galang langsung menoleh. "Ya kali, Nu. Kita tidur, siapa juga yang mau pesen? Lagian mana ada ojek makanan yang masuk hutan gini. Bisa-bisa nyasar ke dunia lain."
Danu belum langsung menjawab. Matanya menatap jauh ke arah pepohonan yang mulai diterpa cahaya pagi. Kabut tipis bergelayut rendah di antara semak, dan sekali waktu suara burung hutan terdengar menyambut pagi.
Danu kemudian menatap Galang serius. "Lo pikir ini kebetulan, Lang? Bau melati dari air terjun tadi dan makanan ini, semua sangat mirip dengan Nyai Laras. Aku sangat familiar dengan bau itu"
Galang mengernyit. "Maksud lo?" kemudian menghela napas, tapi kali ini tak menanggapi dengan candaan. "Nyai Laras? nenek tua itu?"
Danu hanya mengangguk pelan.
"Lo mikir ini ada kaitan nya sama dia? Atau lo mikir ini dari dia?"
"Dua kemungkinan itu," ujar Danu jujur. "Dia selalu ninggalin jejak. Enggak pernah langsung muncul, tapi... Aku tahu dia ada."
Galang mengangkat alis. "Nu... serius deh, ya kali Nyai Laras bisa nyusulin kita ke sini. Kita lagi di tengah hutan, jauh dari kota dia pula. Dan lo sendiri bilang, dia itu nenek-nenek umur enam puluh tahun! Masa iya nenek-nenek bisa segesit itu? Bisa teleport atau naik ojek mistis gitu?"
Danu tak tersenyum. "Tapi gimana kalau emang bener? Gimana kalau ini semua bukan kebetulan? Lo inget waktu terakhir kita ninggalin rumahnya? Rasanya kayak belum selesai."
Galang mulai diam. Nada suara Danu terlalu yakin untuk diabaikan.
"Lang," lanjut Danu, matanya kini menatap temannya lurus. "Kalau seumpama ini semua ada kaitannya sama Nyai Laras... dan dia manggil lagi. Atau malah kita yang belum selesai urusan sama dia. Lo bakal ikut?"
Galang menatap Danu lekat-lekat. Lalu tanpa ragu, ia mengangguk.
"Gue gak bakal tinggalin lo sendirian di sana," jawabnya mantap.
Hening beberapa detik.
Galang membuka mulut untuk menambahkan sesuatu, tapi suara panjang peluit dari arah lapangan memotong ucapannya.
Keduanya langsung menoleh ke arah sumber suara. Di kejauhan, di tanah lapang berumput yang dibatasi tenda-tenda warna-warni, para siswa yang ikut kegiatan camping mulai berkumpul. Beberapa pembina berseragam berdiri di depan barisan, sementara sebagian siswa sudah mulai menata barisan.
"Sepertinya upacara penutupan akan dimulai," gumam Galang.
Danu mengangguk kecil. "Kayaknya Nadia juga udah harus siap-siap."
Tanpa banyak bicara, mereka membuka pintu dan turun dari mobil. Udara pagi kini lebih hangat, dan sinar matahari mulai menyorot langsung dari sela-sela pepohonan tinggi.
Tapi berbeda dengan para siswa yang mulai mengatur posisi, Danu dan Galang yang notabene nya wali murid, hanya berdiri di kejauhan, bersandar di sisi mobil. Keduanya memperhatikan barisan anak-anak sekolah itu, namun pikiran mereka tak sepenuhnya berada di sana.
Dalam diam, Danu kembali menatap cup teh yang telah ia bawa turun. Bekas aroma itu masih ada. Samar. Tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya kembali meremang.
Galang di sampingnya pun diam, tapi sesekali melirik ke arah sahabatnya itu. Entah kenapa, pembicaraan barusan masih bergaung di kepalanya.