Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 19
Tapi Irish tak sempat menanggapi pujian si kembar Vivi dan Nathan, karena pikirannya langsung tertuju pada rumah yang terendam air.
Sambil menurunkan Vivi dari gendongan, Irish buru-buru mengeluarkan ponsel, menelepon pengurus apartemen dan juga pihak layanan perbaikan properti agar segera datang membantu.
Sayangnya, pemilik rumah sedang asyik bermain mahjong di kompleks lain, telepon Irish tidak diangkat.
Pihak perbaikan properti memang menjawab panggilan Irish, tetapi nada bicara mereka santai sekali, entah butuh berapa lama untuk benar-benar datang ke tempatnya!
Irish menghela napas, menatap Vivi dan Nathan yang berdiri memakai jas hujan, lalu berjongkok sambil berkata, “Vivi, Nathan, tunggu di sini ya. Mama mau coba perbaiki pipa airnya dulu.”
“Tapi Paman itu sudah masuk ke dalam, Ma,” ujar Nathan polos sambil menunjuk arah pintu.
Irish terkejut, menoleh cepat, sejak kapan Ethan sudah masuk rumahnya?
Sungguh bikin repot! rutuk Irish dalam hati. Dia kapitalis dingin yang cuma mengerti bisnis, mau apa coba di sini?
Dengan kesal, Irish mengikat gaun panjangnya agar tidak terendam air, lalu melepas sepatu hak tingginya, berjalan tanpa alas kaki menembus genangan air ke arah dapur. Vivi dan Nathan yang memakai sepatu boots kecil tetap mengikuti di belakangnya.
Awalnya Irish mau menyindir Ethan yang sok ikut campur, tapi tak disangka, ia justru mendapati Ethan sedang membungkuk, menahan air dengan tangan kiri sambil memutar kunci pipa dengan kencang.
Percikan air membasahi kemeja putih Ethan, menempel ketat di punggung bidangnya, menonjolkan bahu dan otot tubuh yang tegap.
Irish berdiri terpaku, tak tahu harus berkata apa, pikirannya malah berantakan melihat pemandangan itu.
Ethan menoleh, tetesan air mengalir di wajahnya, sampai ke bibir, membuatnya terlihat nyaris… terlalu memikat!
Irish menelan ludah tanpa sadar, terpaku.
“Ada kunci inggris?” tanya Ethan, suaranya rendah namun tegas.
“Hah?” Irish masih bengong, matanya tak sengaja terpaku pada tetesan air yang jatuh di leher Ethan.
Tak sempat Irish menjawab, Nathan tiba-tiba menyerahkan kunci inggris kecil ke tangan Ethan.
Melihat bocah lelaki itu, Ethan langsung menampakkan senyum lembut yang jarang muncul, lalu kembali bekerja memutar baut pipa.
Irish pun terjaga dari lamunan anehnya, buru-buru batuk untuk menutupi rasa malu. Apa-apaan tadi itu? pikirnya. Mana mungkin aku terpesona dengan dia!
Sambil berusaha menenangkan hati, Irish melihat Nathan berdiri di sampingnya, lalu tiba-tiba digendongnya lagi agar tak kebasahan.
Namun Nathan protes sambil tertawa, “Mama, aku kan sudah pakai boots. Lebih baik bantu Paman saja!”
Irish mengedip, “Bantu dia?”
“Iya, kan Mama bilang kita harus berterima kasih pada orang yang menolong.” Nathan menatap Irish polos sambil tersenyum.
Irish tak bisa menyangkal ucapan putranya. “Baiklah…” katanya pelan, lalu menaikkan lengan gaunnya, berjalan ke samping Ethan.
Ethan sebenarnya mau menolak, karena tak mau Irish repot, tetapi belum sempat berkata apa-apa, Irish malah berdiri di dekatnya sambil menepuk-nepuk tangannya dengan ritme cepat, berteriak, “Ayo semangat! Semangat, semangat!”
Ethan terdiam, hanya bisa menghela napas.
Nathan tertawa geli melihat ibunya berlagak seperti pemandu sorak.
Untungnya, dengan sedikit usaha lagi, Ethan berhasil mengencangkan sambungan pipa agar air tidak menyembur, hanya menetes perlahan. Ia sengaja tak mengencangkan terlalu keras supaya pipa tua itu tidak pecah.
Irish lalu mengambil handuk untuk membersihkan sisa air, lalu menyiapkan segelas air panas semalam dan menyerahkannya pada Ethan.
Ethan meneguk sedikit air hangat itu, lalu menatap Irish dengan mata tajam, “Kamu benar-benar mau terus tinggal di sini?”
Irish menunduk, menatap apartemen kecilnya yang berantakan. Di benaknya berputar cepat, biaya hidup, sekolah anak, semua membuatnya tak punya banyak pilihan.
Namun ia tak mau terlihat lemah di depan Ethan. Dengan senyum dipaksakan, Irish menjawab, “Iya. Aku tetap tinggal di sini. Tempat ini… cukup baik.”
Padahal hatinya sendiri berkata sebaliknya.
Ethan mendengus, menatap genangan air yang merendam lantai, “Lalu bagaimana dengan anak-anak? Kamu mau mereka tinggal di tempat seperti ini?”
Nathan buru-buru menimpali, “Paman, aku suka tinggal dengan Mama. Kami tidak mau pindah.”
Mata Ethan sempat melembut, menatap anak kecil itu yang polos namun tegar. Hatinyapun terasa nyeri, betapa anak sekecil itu sudah berusaha mengerti keadaan ibunya.
Baiklah, pikir Ethan, biar saja mereka tetap di sini, tapi aku tidak akan membiarkan anakku hidup sengsara. Diam-diam, ia bertekad akan membantu.
Tak lama kemudian, petugas perbaikan properti akhirnya datang, memeriksa dan mulai memperbaiki pipa.
Ethan hendak ikut memantau, tetapi Irish buru-buru menghadang di depan pintu, “Ethan, sudah malam, pulanglah. Istrimu pasti menunggu.”
Ethan mengerutkan alis, “Irish, kamu....”
“Aku apanya kamu?” potong Irish tanpa basa-basi. “Terima kasih bantuannya hari ini. Hati-hati di jalan, ya.”
Ethan menatapnya kesal, “Kamu sungguh keterlaluan.”
Tapi Irish tak bergeming, tetap berdiri menutup jalan masuk. Ia sadar semakin sering Ethan muncul, semakin besar risiko rahasia tentang anak-anak terbongkar.
Akhirnya Ethan hanya bisa berbalik, menatap Vivi dan Nathan sebentar sebelum pergi dengan wajah tak puas.
gemessaa lihatnya