Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Pagi di Rumah Kontrakan Bumiarjo – Halaman Panjang
Matahari pagi menembus tirai tipis rumah kontrakan kecil di Bumiarjo.
Jam dinding berdetak pelan menuju pukul enam, sementara aroma nasi hangat, telur dadar, dan sambal goreng kentang mulai menyebar dari dapur sempit.
Di sana, Sri bergerak lincah meski satu tangannya memeluk erat Pramesh yang masih mungil, terlilit kain gendongan.
Di meja makan sederhana, sebuah kotak bekal kayu telah siap.
Nasi putih, lauk sederhana, dan buah potong tersusun rapi. Di sampingnya, botol air minum dan sebuah serbet bersih telah Sri siapkan sejak subuh tadi. Ia tahu, Grilyanto tidak pernah sarapan banyak di rumah tapi bekal makan siang adalah bentuk cintanya yang paling tenang dan rutin.
“Pa, sudah jam enam lebih. Jangan lupa pakai seragam kerja yang di gantungan ya,” seru Sri dari dapur sambil menepuk-nepuk punggung Pramesh yang mulai tertidur kembali di pelukannya.
Grilyanto keluar dari kamar mandi dengan handuk di bahu dan rambut masih basah.
Ia tersenyum melihat pemandangan pagi yang sama sejak mereka menikah, melihat stri yang sibuk menyiapkan segala sesuatu, bayi yang digendong dengan hati-hati, dan rumah kecil yang mulai terasa sangat hidup.
Ia berjalan ke dapur, mendekati Sri, lalu mengambil bekal yang sudah tertata.
“Terima kasih ya, Ma. Kamu repot sendiri setiap pagi.”
Sri menoleh, wajahnya lembut namun tetap sigap.
“Sudah biasa, Pa. Pramesh juga mulai bisa tidur sambil kugendong. Tadi sempat rewel, tapi sekarang sudah tenang.”
Grilyanto memandangi putrinya sebentar, lalu mencium kening Sri dan membelai kepala bayi mereka.
“Kalian dua perempuan paling hebat di dunia,” ucapnya lirih.
"Papa juga yang paling sabar dan kuat. Jaga diri ya di kantor. Bekalnya jangan lupa dimakan. Nasi hangat, lauknya agak pedas sedikit—katamu kemarin mau yang ‘ada semangatnya’.”
Grilyanto tertawa ringan. “Iya, iya. Terima kasih. Kamu juga jangan kecapekan, ya. Kalau Pramesh rewel, tidurkan saja, nanti pekerjaan rumah bisa menunggu.”
Setelah mengenakan sepatu dan merapikan tas kerjanya, Grilyanto berdiri di ambang pintu.
Pagi di Bumiarjo mulai ramai. Suara becak, tukang sayur, dan anak-anak kecil yang bermain di gang menggema sayup.
Tapi di dalam hati Grilyanto, rumah ini adalah segalanya.
Sri menghampirinya sambil tetap menggendong Pramesh.
Ia menyerahkan bekal, lalu mengusap kemeja suaminya yang sedikit kusut.
“Pa, semoga harimu lancar, ya.”
Grilyanto mencium kening istrinya, lalu menunduk mencium pipi Pramesh.
“Papa berangkat kerja dulu ya, Nak. Ibu hebat, anak manis. Ayah cari rezeki buat kalian.”
Grilyanto melangkah pasti dengan tas kerjanya di punggung.
Ia baru saja melewati pagar bambu kecil ketika suara lembut memanggil dari arah pintu.
"Pa, jangan lupa nanti sore belikan lumpia di RKZ ya," ucap Sri sambil melambai-lambaikan tangannya, Pramesh kecil terlelap nyaman dalam gendongan kain batik di dadanya.
Grilyanto menoleh dan tersenyum. Matanya penuh kelembutan, seperti biasa saat melihat istri dan anaknya.
“Lumpia lima ya?” teriaknya balik.
Sri mengangguk cepat. “Yang agak pedas ya, Pa!”
Grilyanto mengangkat jempol, lalu melangkah menuju ujung gang tempat angkot biasanya lewat.
Sambil berjalan, senyum itu masih tersisa di wajahnya.
Pagi yang sederhana, ucapan yang ringan, tapi selalu berhasil menghangatkan hatinya.
Seolah lumpia RKZ bukan sekadar makanan sore hari, tapi simbol kecil dari kasih sayang yang terus mereka rawat sejak awal pernikahan.
Di balik pagar, Sri masih berdiri, memandang punggung suaminya yang menjauh.
Hatinya tenang. Di rumah kecil itu, cinta mereka tumbuh dengan doa, dengan kerja keras, dan dengan hal-hal kecil seperti… lumpia dari RKZ.
Pagi itu setelah melepas kepergian suaminya, Sri kembali masuk ke dalam rumah kontrakan kecil mereka di Bumiarjo.
Udara pagi masih sejuk, meskipun matahari mulai merayap naik melalui celah ventilasi rumah. Ia memandangi Pramesh yang masih tertidur pulas di dalam gendongan.
Dengan hati-hati dan penuh kasih, Sri membaringkan bayi mungil itu di atas tempat tidur, di atas kasur busa tipis yang ditutup kain seprai bermotif bunga kecil-kecil, hasil pemberian ibu Mariyati waktu mereka menikah.
Sri duduk sejenak di pinggir ranjang. Ia membelai pelan rambut halus Pramesh, lalu membungkuk dan mengecup kening anaknya.
“Tidurlah yang nyenyak, Nak… Biar Ibu bisa bersih-bersih rumah dulu.” ucap Sri
Setelah memastikan Pramesh nyaman dan tertutup kelambu, Sri berdiri dan mulai menyingsingkan lengan bajunya.
Ia berjalan menuju dapur kecil yang hanya cukup untuk satu orang berdiri.
Di sana ia mengambil ember dan sapu ijuk, kemudian mulai menyapu ruang tengah yang sekaligus merangkap ruang makan dan ruang tamu mereka.
Lantai rumah kontrakan itu masih berlapis semen kasar.
Tiap tarikan sapunya mengangkat debu yang kadang masuk lewat sela pintu atau jendela yang tak sempurna menutup.
Sri tak mengeluh. Ia justru merasa tenang, karena rumah mungil itu adalah tempat pertama ia dan Grilyanto membangun hidup bersama.
Rumah itu adalah saksi bisu dari semua suka dan duka mereka.
Setelah menyapu, Sri mengepel lantai dengan air yang sudah ia campur pewangi.
Aroma segar pelan-pelan memenuhi ruangan. Ia merapikan bantal-bantal kecil di pojok tikar dan menyelipkan kembali guling yang tadi pagi digunakan Grilyanto.
Semua ia lakukan dengan rapi dan teliti, seperti cara ibunya dulu mengajarkan.
Usai beres-beres ruang tengah, Sri memeriksa dapur. Kompor minyak tanah sudah bersih, tapi wajan dan piring dari sarapan pagi masih menunggu untuk dicuci.
Ia menyalakan air dari keran yang menetes kecil, menggosok perlahan peralatan makan dengan sabun, membilasnya hingga bersih, lalu meniriskannya di atas rak kecil dekat jendela dapur.
Sambil mencuci, sesekali pikirannya melayang. Tentang masa lalu.
Tentang Heri yang kini entah di mana. Tentang perasaan bersalah yang masih kadang menyelinap.
Tapi setiap kali suara nafas Pramesh terdengar dari dalam kamar, Sri seperti mendapat tenaga baru.
Anak itu adalah pengingat bahwa hidup terus berjalan, dan bahwa cinta bisa membentuk harapan-harapan baru.
Pekerjaan rumah selesai menjelang pukul sepuluh pagi. Sri kembali ke kamar, duduk di sisi Pramesh yang masih terlelap.
Udara di dalam ruangan kini hangat. Ia membuka jendela sedikit, membiarkan sinar matahari pagi masuk menyinari bagian ujung tempat tidur.
Ia mengelus kaki Pramesh pelan, lalu tersenyum sendiri.
“Biar kecil, rumah ini penuh cinta. Ibu akan jaga terus rumah ini untuk kamu dan ayahmu,” bisiknya.
Di luar, suara pedagang sayur mulai memudar. Di dalam, cinta dan ketenangan terus bersemayam di antara langkah-langkah kecil seorang istri yang setia, seorang ibu yang penuh kasih.
Saat Sri tengah duduk bersandar di dinding kamar, menikmati secangkir teh hangat yang tadi sempat ia buat di sela-sela bersih-bersih rumah, suara lirih mulai terdengar dari sudut tempat tidur.
Tangisan kecil itu mengusik keheningan pagi yang damai. Tangisan yang ia kenal begitu baik, suara putri kecilnya, Pramesh.
Dengan refleks keibuan yang alami, Sri segera meletakkan cangkirnya dan beranjak menghampiri Pramesh.
Tangisan itu bukan jeritan keras, melainkan suara rengekan lembut penuh kebutuhan, seperti sebuah panggilan halus dari hati seorang anak kepada ibunya.
"Anakku sayang... kamu lapar, ya?" bisik Sri dengan suara lembut, sambil mengangkat bayi mungil itu ke dalam pelukannya.
Dengan sigap, ia duduk di sisi tempat tidur, menyandarkan punggungnya pada bantal yang telah ia susun rapi, dan dengan gerakan tenang dan penuh kasih, ia mulai menyusui.
Tangisan itu segera mereda, berganti dengan suara napas kecil yang tenang dan ritmis, menandakan bahwa Pramesh kini sedang menyusu dengan damai.
Sri memandangi wajah kecil anaknya. Mata Pramesh terpejam, jemari mungilnya memegang ujung baju ibunya seolah tak ingin lepas.
Hatinya diliputi rasa syukur dan haru. Betapa luar biasanya kehidupan baru yang kini ada di pelukannya.
Ia tahu, dalam segala kekurangan dan keterbatasan, anak itu adalah anugerah yang akan ia jaga seumur hidupnya.
“Minumlah yang banyak, Nak… Semoga kamu tumbuh jadi anak yang sehat, baik, dan membawa kebahagiaan buat semua orang,” ucap Sri sambil membelai rambut halus Pramesh dengan ujung jarinya.
Di luar kamar, suara kehidupan Bumiarjo terus berjalan.
Tapi di dalam kamar kecil itu, hanya ada ketenangan, kasih sayang, dan ikatan tak terputus antara ibu dan anak. Momen sederhana itu adalah bagian dari hari-hari yang kelak akan menjadi kenangan paling indah dalam hidup Sri.
Tangisan yang tadi mengusik, kini menjadi pengingat bahwa cinta sejati hadir dalam bentuk paling sederhana: pelukan, ASI hangat, dan tatapan penuh kasih dari seorang ibu.