“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 6
Pagi itu, dapur rumah orang tua Arum terasa lebih dingin. Tak ada kepulan asap dari tungku tanah, tak ada bau seduhan kopi, apalagi suara gemerisik beras yang ditakar di tampah. Yang terdengar hanyalah isak halus dari mulut bocah kecil yang menangis kelaparan, dan decak kesal seorang wanita baya yang tengah membuka tempurung kelapa kosong.
“Ampun Gustiiii, kosong melompong!” Bu Sarinem menjatuhkan batok itu ke lantai, lalu menoleh ke arah pintu.
Langkah kaki yang berat terdengar dari luar rumah. Pawiro, suaminya, baru pulang setelah semalaman tak menunjukkan batang hidung. Bajunya kusut, bau arak sangat menyengat, dan tatapan matanya kosong seperti orang linglung—sesuai dengan langkahnya yang terhuyung.
“Dari mana aja kamu, Mas?! Ku tunggu-tunggu dirimu dari semalam!” bentak Bu Sarinem. Matanya memerah, bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama menyimpan kemarahan yang sudah membusuk di dalam dada.
Pak Pawiro cuma meringis sambil duduk di dipan reyot. “Nggak usah marah-marah lah, Nem. Aku udah pulang, toh? Tiap hari ngomel terus. Udah sana, bikinin aku kopi—biar mataku seger!”
Bu Sarinem mendengus kesal, ia menadahkan tangan. “Mana duitnya?”
“Duit apa?” Pak Pawiro mengusak rambutnya.
“Kok duit apa? Ya duit yang dikasih Juragan Karta kemarin. Kamu kira aku ndak tau, kalau Juragan memberi uang 10 Rupiah?” Tangan Bu Sarinem masih menengadah. “Aku mau belanja. Kopi, gula, beras, habis semua. Anak-anakmu udah merengek kelaparan. Cepet sini duitnya!”
Pawiro menguap lebar, lalu menggaruk-garuk perutnya yang buncit efek suka menenggak arak. “Habis ....”
Satu kata yang diucapkan Pawiro membuat suara Bu Sarinem otomatis meninggi. “Apa?! Habis?!”
Anak-anak mereka yang masih kecil— mengintip dari balik pintu kamar, hanya bisa saling peluk dalam diam. Sebenarnya mereka sudah terbiasa dengan volume suara tinggi di rumah itu. Tapi tetap saja, pagi ini rasanya lebih menakutkan.
“Iya, habis tak bersisa ... tadi malam ku pakai main ke lapak, coba peruntungan. Tapi ya nasib, kalah terus. Tapi, tenang aja lah, gak usah cemas begitu. Sekarang kita punya Arum, toh?”
“Arum?” Mata Bu Sarinem memelotot tajam, “apa maksudmu, Mas?!”
Pawiro menyandarkan tubuh ke dinding bambu yang lapuk, wajahnya terlihat santai. “Arum sekarang kan jadi gundiknya Juragan. Sudah pasti dia diberi banyak, sama Juragan Karta. Nggak mungkin toh dia lupa sama keluarganya? Paling nggak, dia bisa bantu kita. Ya masa buat adik-adik kandungnya ae pelit?”
Tubuh Bu Sarinem gemetar, ia megusap matanya yang memanas. Marah, muak, dan hancur—semua rasa menjadi satu.
Ia menatap suaminya yang tak tau malu dan tak tau diri dengan ekspresi yang tak bisa dijabarkan . “Kamu itu bener-bener tega, Wiro! Setelah menggadaikan putrimu ke Juragan Mesum itu untuk melunasi hutang-hutangmu pada rentenir, sekarang kamu hendak mengemis lagi? Hendak menyusahkan Arum?”
“Bukan ngemis, Nem. Itukan wajar. Wong anakmu wis enak di sana. Ya kudu iso bantu sini. Kok malah dibilang menyusahkan.” Pawiro menggaruk kudis-kudis disela kakinya. “Lagian, itu fungsinya sebagai anak. Kudu berbakti. Kalau udah hidup enak, yo jangan lupa sama yang memberinya mangan selama ini.”
“Garam! Cuma nasi sama garam yang kamu kasih makan anakmu selama ini!” Bu Sarinem berkacak pinggang, suaranya menggema di rumah sempit itu. “Kita bisa makan ikan pun karena Arum yang nombak di sungai. Kalau mau dihitung, harusnya masa baktinya Arum sudah selesai! Dari umur sepuluh tahun dia sudah nyari nafkah—jadi buruh angkat sayur di pasar, sementara teman-teman seusianya masih sekolah dan main. Kamu bisa merokok, bisa ngopi, dari mana kalau bukan dari keringat anak kita? Itu semua berasal dari putri kita yang sudah kita gadaikan itu!”
“Halah, nggak usah berlebihan,” Pawiro mendengus sambil duduk selonjoran. “Kamu juga ikut makan dari keringat dia, kan? Kamu juga setuju-setuju ae waktu aku serahin dia untuk Juragan. Sudah sana, mending kamu ke rumah Juragan sekarang, cari anakmu itu. Mintain dua puluh Rupiah. Buat bekal judi. Kali ini aku yakin menang!” Ia cengengesan, tak peduli.
Perdebatan antara Bu Sarinem dan Pawiro semakin berlanjut. Tanpa kedua orang itu tau, di luar rumah, Arum berdiri membeku di balik dinding bambu yang mulai rapuh. Matanya menatap kosong ke tanah yang retak, telinganya masih merekam jelas setiap kata yang keluar dari mulut ayah yang tega menjualnya, dan ibu—meski tak sepenuhnya bersalah—tapi tak pernah benar-benar mampu menyelamatkannya.
Niat hati mencari tempat berlindung, tetapi, justru remuk redam yang ia dapat di gubuk derita kedua orang tuanya.
Kata orang, seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Namun, tidak untuk Arum. Baginya, seorang ayah adalah sumber luka dan trauma pertama untuknya. Sosok yang berhasil membuat Arum selalu mengutuk takdir dan mempertanyakan—
‘kenapa harus aku dari sekian banyak manusia di bumi ini?’
Arum berbalik badan, berniat pergi, mencari tempat yang lebih tenang dan nyaman untuk berlindung sementara. Tapi, ketika kaki itu baru satu kali melangkah, ia tak melanjutkannya—tapak kaki itu bak tertancap di tanah. Tubuhnya menegang, gemetar. Menatap takut pada dua sosok yang berdiri di bawah sinar matahari pagi sambil menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Arum meraih tombak yang biasanya ia gunakan untuk menombak ikan, lalu mengarahkan benda runcing itu ke arah mereka. “Mau apa kalian?!”
...****************...
Langit senja menggantung berat, mendung bergelayut seolah menahan hujan yang hendak turun. Angin hanya sesekali lewat, menebar aroma tanah lembab dan kayu tua dari lantai rumah besar itu. Tak ada suara kokokan ayam, tak ada suara pelayan. Suasana senja itu terlalu Hening—tak seperti biasanya.
Nyai Lastri duduk di depan meja rias kuno. Jemarinya menyisir rambut basah yang menjuntai sampai punggung. Sisir gading yang ia gunakan bergerak pelan, membelah helaian rambutnya yang hitam kelam.
Ia tersenyum samar, menatap wajahnya yang masih tampak ayu di usia itu. “Sekarang, semuanya kembali seperti semula. Kang Mas Karta akan kembali menatap diri ini setelah gundik itu tiada.” Nyai terkekeh pelan.
Namun tiba-tiba, Nyai Lastri mendadak diam saat mendengar suara ketukan pelan.
Tok!
Tok!
Tok!
Nyai menoleh ke arah pintu. Mungkin pelayan, pikirnya.
“Masuk!” titahnya ketus.
Namun, tak ada satupun yang muncul. Nyai Lastri terdiam sejenak, lalu bangkit—berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Cklek!
Nyai Lastri mengintip ke luar. Akan tetapi, tak ada satu orang pun di sana—termasuk Madun. Nyai buru-buru menutup pintu, rautnya gelisah. Ia lekas berbalik badan, hendak kembali duduk di meja rias. Namun—
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan samar kembali terdengar, sontak membuat tubuh Nyai lemas dan bergetar. Nyai menoleh ke arah sumber suara, menatap ciut ke lemari kayu cokelat tua yang berdiri di sudut kamar.
Lemari antik itu menjulang tinggi, penuh ukiran daun merambat dan bunga teratai di sekeliling pintunya. Cahaya temaram di kamar, membuat lemari favorit Nyai jadi tampak menyeramkan.
“Madun?” panggil Nyai Lastri, suaranya datar namun penuh waspada. Tetapi, hanya keheningan yang menjawab.
“Warti? Mbok Ginem?” panggilnya lagi. Namun, justru suara ketukan yang menyahutnya. Tapi kali ini, lebih keras.
TOK!
TOK!
TOK!
Angin tiba-tiba berhembus pelan, membuat tirai tipis menari-nari. Nyai Lastri meneguk ludah, ia melangkah ragu ke arah lemari. Nyai Lastri berdiri cukup lama di depan lemari antik itu, kedua tangannya bergetar ketika membuka pelan pintu lemari.
Nyai Lastri menahan napas ketika engsel lemari itu berdecit—terbuka sedikit, bau kapur barus dari dalamnya langsung menyeruak—memenuhi kamar.
Dengan mengedepankan waspada, Nyai sedikit memberanikan diri untuk mengintip. Namun, sedetik kemudian —jantungnya berdetak kencang, napasnya nyaris berhenti.
Dari celah itu, terlihat sosok dengan rambut panjang menjuntai keluar—ikut mengintip di celah pintu lemari.
Sosok itu terkikik nyaring. “Aku kembali, Nyai ....”
Sontak Nyai Lastri terjerembab, dengan napas tak beraturan ia menjerit sekuat hati. “Aaaaaakh!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣