Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Junkcore
Ajie terduduk lemah di sudut ruang isolasi itu. Tangan dan kakinya masih terikat oleh sabuk logam elektromagnetik, menempel di dinding kaca transparan yang menyekatnya dari dunia luar. Ruangan ini dingin, tanpa suara, tanpa warna. Cahaya putih menyilaukan dari atas membuat segalanya terlihat steril, seperti laboratorium tanpa rasa.
Namun, justru di tempat sehening ini, suara langkah kaki logam menggema keras.
Ratna masuk.
Tanpa armor. Tanpa helm. Hanya mengenakan jaket kulit hitam lusuh, rambutnya digelung asal-asalan, dan mata—mata itu—yang penuh bara yang belum padam.
Ajie mendongak pelan. “Lo… datang cuma buat liat gue kayak binatang di kandang?”
Ratna tak menjawab. Ia berdiri di depan kaca isolasi, menyandarkan satu tangan ke permukaannya. Matanya menatap Ajie, bukan dengan kemarahan seperti biasanya, tapi… kosong. Seperti seseorang yang habis berperang dalam pikirannya sendiri.
“Kenapa gak lo bunuh aja waktu itu?” Ajie bertanya lagi, suaranya parau.
“Karena Cain belum nyuruh,” Ratna menjawab datar.
“Lo selalu segitunya sama perintah?”
“Kalau lo gak ngerti, mending diem.”
Ajie menarik napas, pelan. Wajahnya masih lebam dari pertarungan sebelumnya. Tapi sorot matanya… masih menyala. “Gue pikir… lo punya otak buat milih jalan sendiri.”
Ratna tersenyum tipis, nyaris seperti ejekan. Ia menarik kursi logam di dekat dinding, lalu duduk menghadap kaca itu. Diam sejenak, hanya bunyi dengungan mesin di latar belakang yang menemani.
“Dulu gue punya jalan sendiri,” katanya akhirnya. “Waktu gue masih mahasiswa teknik. Semester lima. Punya mimpi bikin sistem otomasi yang bisa bantu desa-desa terpencil punya listrik murah.”
Ajie terdiam. Tidak menyangka Ratna akan mulai bicara seperti itu.
“Kampus gue—Universitas Teknologi Mandala—mereka senyum pas lo bawa prestasi. Tapi giliran lo gak bisa bayar uang semesteran, semua prestasi lo gak ada harganya. Dosen gue yang dulu bangga, tiba-tiba bilang ‘Maaf, ini bukan urusan saya’.”
Ratna tertawa kecil. Tapi tawa itu pahit.
“Ayah gue… satu-satunya keluarga yang gue punya. Dia tukang las. Ngerakit kandang ayam, bikin pagar, servis motor… Lo tau, dia yang nganterin gue daftar kuliah. Naik motor butut dari Cikarang. Pake kemeja satu-satunya yang gak bolong.”
Ajie menunduk. Matanya mulai melihat Ratna bukan sebagai musuh. Tapi sebagai seseorang yang juga pernah kehilangan.
“Terus?”
Ratna mengusap pelan wajahnya.
“Ayah sakit. Paru-paru kena karena terlalu sering ngelas tanpa masker. Gak ada BPJS, gak ada duit. Gue harus berhenti kuliah. Kerja serabutan. Sampai suatu hari… Altheron datang.”
Ajie mengangkat alis. “Cain?”
“Bukan langsung dia. Cuma orang-orangnya. Mereka tertarik sama proyek skripsi gue yang gak pernah selesai—robotika dari limbah. Gue pikir… ya, akhirnya ada yang liat potensi gue.”
Ratna menatap Ajie tajam.
“Tau gak lo, Ji? Lo mungkin jadi superhero karena kecelakaan. Tapi gue… memilih jadi Junkcore.”
Ajie perlahan bersandar ke dinding sel di belakangnya. “Lo jual idealisme lo ke orang yang pengen ngontrol dunia.”
Ratna berdiri, tiba-tiba marah. “Jangan lo sok suci!”
“Aku gak suci,” kata Ajie pelan. “Tapi gue gak bakal diem liat temen-temen gue disakiti. Apalagi dipaksa tunduk kayak lo.”
“LO GAK TAU APA-APA TENTANG GUE!”
Ratna menghantam kaca dengan kepalan tangannya. Seluruh ruangan bergema. Mata Ratna kini basah, tapi dia menahan air matanya seperti menahan peluru.
“Gue yang jaga ayah gue sampai napas terakhirnya. Lo tau apa rasanya liat orang yang lo sayang mati pelan-pelan karena sistem ini gak peduli?”
Ajie mengangguk pelan. “Tau. Ibu gue juga meninggal karena rumah sakit gak mau nanganin tanpa jaminan. Ayah gue jadi keras, kejam, nyalahin semua orang. Termasuk gue.”
Hening.
Mereka saling menatap. Dua jiwa yang dilukai dunia, tapi memilih jalan berbeda untuk bertahan.
Ajie menarik napas. “Ratna… lo masih bisa berhenti.”
Ratna menegang.
“Lo pikir Cain beneran peduli sama lo? Dia cuma pake lo. Ilmu lo. Dendam lo. Pas dia gak butuh lo lagi… lo bakal dibuang.”
Ajie memandang dalam-dalam ke mata Ratna.
“Lo bukan monster, Ratna. Lo cuma… kecewa.”
Sesaat lamanya, tak ada suara. Hanya napas mereka yang berat, dan mesin-mesin berdengung lembut.
Lalu, Ratna bergerak.
CRAAK!
Sebuah hantaman keras mendarat di wajah Ajie. Ia terdorong ke samping, darah mengucur dari bibirnya.
“JANGAN NGOMONG SEAKAN-LO KENAL GUE!” teriak Ratna. “LO GAK BERHAK NASEHATIN GUE! GAK ADA YANG PUNYA HAK ITU!”
Ajie menyeka darahnya, perlahan menoleh lagi.
“Tapi gue tetep bakal ngomong… karena lo manusia. Sama kayak gue.”
Ratna berdiri membelakangi Ajie, bahunya bergetar. Bukan karena marah. Tapi karena ia tak tahu… bagaimana caranya berhenti jadi kuat.
Tanpa menoleh, ia berkata pelan, “Kalau gue buka pintu ini sekarang… lo bakal kabur?”
Ajie menatap punggung Ratna. Tak menjawab.
Ratna menoleh sedikit, lalu mengembuskan napas panjang. Ia berjalan pergi, membuka pintu logam.
“Lo punya waktu tidur malam ini. Besok… Cain bakal mulai eksperimen fase dua.”
“Ratna…”
Ia berhenti, tak menoleh.
“Lo masih bisa milih jalan lo sendiri.”
Suara pintu logam menutup di belakangnya, mengakhiri percakapan yang lebih tajam dari peluru.
Ajie bersandar ke dinding, menatap langit-langit putih ruangan itu. Meski luka di wajahnya perih, tapi hatinya justru merasa… lebih manusia.
Karena di balik segala kehancuran, ia baru melihat satu kebenaran:
Tak ada yang benar-benar jahat sejak awal. Kadang, dunia hanya membuat mereka seperti itu.
Dan harapan… masih hidup.