Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Serangan Pasukan Penyihir Hitam
...****************...
Pangeran Jessen
...****************...
"Kakak Pertama," suara itu terdengar tenang namun tegas. Pangeran Ketiga—Jessen—muncul dari balik pintu dengan pakaian yang berdebu dan napas yang sedikit terengah. "Aku merasakan... serangan ini ada hubungannya dengan Raja Sakha."
Mark menoleh cepat, tatapannya penuh tanya. "Apa maksudmu, Jessen?"
Jessen maju, menatap kedua kakaknya—Mark dan Pangeran Joshua dengan serius. "Di sisi timur istana, para prajurit menemukan simbol kuno yang hanya dipakai oleh Raja Sakha dalam perjanjian darahnya. Aku yakin ini bukan sekadar serangan, ini adalah pesan."
Pangeran Kedua mengerutkan dahi. "Tapi Raja Sakha menghilang bertahun-tahun lalu. Bahkan tubuhnya pun tak pernah ditemukan."
Jessen menatap lurus. "Atau mungkin dia tidak pernah benar-benar hilang. Mungkin dia disembunyikan. Atau disegel, seperti yang ada di bawah altar tadi."
Pangeran Mark mengepalkan tangannya. "Kalau ini benar, maka ada kekuatan dalam istana kita sendiri yang telah mengkhianati garis keturunan."
Jessen mengangguk perlahan. "Dan bisa jadi kelima pangeran kecil kita yang akan menjadi kunci kebangkitannya atau penghalangnya."
...****************...
Serangan Pasukan Penyihir Hitam semakin menjadi-jadi. Sihir hitam yang pekat melayang di udara seperti kabut racun, menghantam prajurit-prajurit kerajaan Sandyakala satu per satu. Tubuh-tubuh yang roboh berserakan di halaman istana, sebagian terbakar oleh sihir gelap, sebagian membatu.
Di tengah kekacauan itu, suara teriakan menggema, "Lindungi istana! Jangan biarkan mereka masuk ke ruang takhta!"
Para Vampire Penjaga pasukan khusus kerajaan Sandyakala muncul dari bayang-bayang, bergerak secepat kilat dengan mata merah menyala. Mereka menyerbu maju, bertarung dengan cakar dan taring melawan pasukan penyihir. Beberapa tetua istana dan bangsawan terpilih yang memiliki kekuatan magis pun akhirnya turun tangan, membentuk perisai pelindung di sekitar istana.
Di balkon atas, Arunika berdiri gemetar sambil memeluk erat Marcus yang menangis di dadanya. Sementara Reonans dan para pangeran kecil lainnya saling berpegangan tangan, wajah mereka pucat karena takut.
Mark berdiri di depan Arunika, tangannya terangkat, menciptakan penghalang sihir untuk menahan serangan gelombang hitam yang datang mendesak.
"Arunika! Bawa anak-anak ke ruang bawah tanah! Jangan tunggu aku, pergi sekarang!"
Namun, Arunika tetap berdiri di tempat, menatap Mark dengan mata berkaca-kaca.
Tiba-tiba, di antara asap hitam itu, muncul bayangan besar dengan mata menyala merah—pemimpin penyihir hitam. Ia mengangkat tangannya, dan sihir hitam menggumpal di telapak tangannya, siap dilontarkan ke arah balkon tempat Arunika dan anak-anak.
Seketika, seorang tetua melompat ke depan, menerjang serangan itu dengan tubuhnya. Ledakan dahsyat terdengar.
"Arunika, pergi sekarang!" teriak Mark dengan napas tersengal.
Jessen dan Pangeran Kedua muncul dari lorong samping, masing-masing membawa senjata. "Kakak, kita harus menghadapi ini bersama!" kata Jessen sambil menghunus pedangnya yang berkilau.
Suasana menjadi kacau, sihir hitam dan sihir cahaya saling bertabrakan di udara, membuat langit di atas kerajaan Sandyakala berubah gelap.
Di tengah kekacauan itu, Renjana berdiri di gerbang istana, menatap dengan mata tajam, di tangannya tergenggam Kristal Segel.
"Semua berhenti... ini waktunya untuk membuka segel."
"Jangan!" Pangeran Jessen menbantahnya, "Maafkan aku yang mulia. Kekuatanmu masih lemah ada kemungkinan besar kita akan kalah."
"Kita tak mau ambil konsekuensinya ini demi rakyat dan keturunan kita." Jawab Pangeran Hars yang mendekati mereka.
...****************...
Sementara di sisi lain, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya lilin, Madam Mery berdiri di hadapan cermin besar berbingkai emas. Di cermin itu, bayangan serangan di istana Sandyakala tampak jelas—pasukan penyihir hitam menyerbu, sihir membara menghancurkan gerbang, dan teriakan rakyat menggema di udara.
Di belakangnya, seorang pria bertopeng dengan pakaian gelap dan aura misterius berjalan keluar dari bayangan. Langkahnya tenang, namun matanya—meski tertutup topeng—memancarkan kilatan tajam.
Madam Mery menyambut kehadirannya dengan tawa sinis, suaranya bergaung di ruangan.
"Kau sudah meninggalkan kerajaanmu? Wow, luar biasa!" katanya, dengan senyum penuh sindiran.
"Menjadi pengkhianat itu... ternyata menarik, ya?"
Pria bertopeng itu tetap diam, hanya berdiri dengan postur dingin.
Madam Mery berjalan mendekat, jarinya yang berhias kuku hitam panjang menelusuri dada pria bertopeng itu.
"Aku tahu..." bisiknya, mendekat ke telinga pria itu, "Kau... adalah keturunan darah Vampire Origin, dari ibumu... bukan?"
Pria bertopeng itu menepis tangan Madam Mery dengan gerakan cepat.
"Apa maumu?" tanyanya dengan suara berat, matanya memancarkan amarah yang terpendam.
Madam Mery tersenyum, berjalan memutar mengelilingi pria bertopeng itu layaknya seekor ular yang mengintai mangsanya.
"Aku hanya ingin... melihat dunia terbakar. Dan... aku tahu, dengan darahmu, kita bisa menciptakan kekacauan yang lebih besar, bahkan... membangkitkan Raja Kegelapan."
Pria bertopeng itu menggertakkan giginya, tangan kirinya mengepal, seolah menahan amarah yang mendidih.
"Jangan macam-macam dengan keluarga Sandyakala."
Madam Mery justru tertawa puas, suaranya menggema di ruangan.
"Oh, kau masih peduli pada mereka? Setelah semua yang terjadi... kau masih menganggap mereka keluargamu?"
Di luar ruangan, suara ledakan sihir terdengar samar, seolah pertarungan di kerajaan semakin mendekati klimaks.
Pria bertopeng itu menatap cermin yang memantulkan bayangan kerajaan Sandyakala yang hampir luluh lantak. Perlahan, dia melepaskan topengnya, memperlihatkan sepasang mata merah menyala...
Madam Mery tersenyum penuh kemenangan.
"Selamat datang... putra Vampire Origin. Dunia akan segera berubah."
...****************...
Suasana perang yang terus berkecamuk hingga malam hari membuat suasana kerajaan Sandyakala semakin kacau.
Asap mengepul dari bangunan yang runtuh, suara teriakan prajurit dan dentuman sihir saling bersahut-sahutan. Para penyihir hitam Madam Mery terus menyerang dengan brutal, memperburuk keadaan.
Di tengah kekacauan itu, Pangeran Mark terlihat terduduk dengan luka di bahunya, napasnya terengah-engah. Matanya sayu, terlihat jelas ia kesakitan.
"Aku... tak bisa menggunakan kekuatanku..." desahnya. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa berat.
Sebagai keturunan dewa langit malam, kekuatan Mark hanya aktif ketika malam tiba. Madam Mery memang cerdik, ia selalu menyerang kerajaan saat siang hari, membuat para keturunan malam tak berdaya.
Di dekatnya, Pangeran Jessen berteriak, "Dimana Pangeran Jonathan?!"
Pangeran Rush menggeleng panik, darah di wajahnya berceceran.
"Aku tak melihatnya, kak!" jawabnya dengan nada cemas.
Pangeran Hars, yang baru saja tiba setelah menghalau serangan di gerbang, menambahkan, "Kenapa di saat begini ia tak ada?!"
Pangeran Mark mengerang sambil menahan luka, tatapannya penuh amarah dan frustasi.
Di dekat mereka, Pangeran Crish, yang sudah mulai kehabisan tenaga, menggertakkan giginya, matanya berubah merah tajam.
"Apa yang harus kita lakukan... aku butuh minum darah lagi." Suaranya berat, nadanya penuh keputusasaan.
Jessen menoleh cepat ke arah Pangeran Crish, lalu berkata tegas, "Kendalikan dirimu, Crish. Kita tidak bisa kacau di tengah kekacauan ini!"
Pangeran Crish hanya memejamkan matanya, mencoba menahan dorongan haus darah yang membakar tenggorokannya.
Di langit, bulan mulai menampakkan diri, menyinari tanah kerajaan dengan cahaya perak. Mark, yang masih terduduk, merasakan aliran kekuatan perlahan kembali ke tubuhnya, meski masih lemah.
Serangan sihir hitam Madam Mery semakin gencar, dan keberadaan Pangeran Jonathan yang menghilang membuat suasana semakin mencekam.
Di mana Jonathan sebenarnya? Apa yang sedang dia lakukan di saat genting ini?
...****************...
Seseorang yang misterius datang mengalahkan pasukan penyihir Hitam dan para serigala hitam. Kekuatan besarnya membuat tanah bergetar hebat.
"Apa ini? Siapa yang datang?" tanya Pangeran Hars yang merasa kekuatan besar ada disana.
*Setelah sekian lama, kekuatan ini kembali, sepertinya ada yang kembali..."
Pangeran Jessen yang ada di samping Pangeran Hars menatap langit yang mendadak gelap, aura kekuatan itu begitu familiar baginya.
"Ini... aura kuno... kekuatan yang sudah lama terkunci di kerajaan Sandyakala," gumamnya pelan, matanya menyipit.
Pangeran Mark yang mulai terluka parah pun menoleh dengan napas terengah-engah, lalu berkata, "Apa mungkin... dia kembali? Sosok yang sudah lama hilang... yang katanya sudah menjadi legenda?"
Sementara itu, Madam Mery yang berdiri di atas bukit, menatap ke arah sumber kekuatan itu, wajahnya mendadak tegang. "Tidak mungkin... bukan dia... bukan dia yang kembali...!" bisiknya dengan nada panik.
Dari arah gelombang kekuatan itu, siluet seorang pria bertubuh tinggi tegap dengan jubah gelap mulai terlihat. Matanya menyala keperakan di bawah sinar bulan yang mulai pudar. Di tangannya, sebuah pedang panjang bersinar terang, menggetarkan tanah di sekitarnya.
"Siapa... dia?" gumam Crish, suaranya penuh dengan ketakutan sekaligus kekaguman.
Pangeran Hars langsung bersiaga. "Siapapun dia, jangan mendekat terlalu dekat. Kita harus pastikan, apakah dia teman atau musuh."
Pangeran Mark mendesah pelan, luka-lukanya semakin parah. Namun, dalam hatinya, ada firasat kuat bahwa sosok ini adalah harapan terakhir mereka... atau mungkin... mimpi buruk yang lebih besar dari Madam Mery sendiri.
"Arunika... jaga anak-anak kita," bisik Mark lirih sebelum tubuhnya goyah, terjatuh di medan pertempuran.
Kelemahan para vampir dan keturunan dewa langit malam adalah ketika di pagi hari mereka kekuatannya melemah. "Ini adalah kekuatan ayah? Raja Sakha?"
"Kakak pertama! Apa mungkin ada kekuatan lainnya muncul juga?"
Pangeran Jessen menghela napas, matanya tajam menatap cakrawala di mana kekuatan itu memancar. "Iya... aku juga merasakan sesuatu. Aura ini... mirip dengan kekuatan Ayah... Raja Sakha. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Lebih liar... lebih kuat."
Pangeran Hars mendekat dengan cemas. "Kak, kalau benar ini kekuatan Ayah... berarti apa kita punya kesempatan untuk menang melawan Madam Mery?"
Jessen menoleh, ekspresinya serius. "Tidak sepenuhnya. Ingat, kekuatan Ayah... itu bukan hanya milik kita. Jika ada yang bisa membangkitkan kekuatan itu selain kita, mungkin ada yang lain yang sedang bergerak di balik layar. Seseorang... atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang kita duga."
Sementara itu, Crish terengah-engah, tubuhnya lemah karena cahaya matahari yang perlahan menguras kekuatannya. "Aku... aku tak bisa bertarung lama di pagi hari. Kita harus segera menemukan cara untuk bertahan sampai malam tiba."
Pangeran Rush menatap ke arah medan pertempuran yang mulai dikuasai pasukan Madam Mery. "Kakak pertama, jika kekuatan Ayah muncul... apakah mungkin ada kekuatan Ibu juga?"
Semua pangeran terdiam sejenak, mendengar kata-kata itu. Aura mereka berguncang, seolah ada kenangan yang terbangun dalam benak masing-masing.
Pangeran Jessen menarik napas dalam-dalam. "Ibu kekuatannya berbeda. Jika dia masih hidup dan kekuatannya muncul dunia akan menjadi medan perang kekuatan besar. Kita harus berhati-hati."
Pangeran Mark, yang mulai siuman di antara luka-lukanya, berkata lirih, "Ibu kembalilah kita butuh kau."
...****************...
Arunika yang bersembunyi di lorong bawah tanah menggenggam erat permata kecil di lehernya, seolah ikut merasakan getaran kekuatan itu. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca.
"Apa ini apa aku harus keluar sekarang?" bisiknya dalam hati, hatinya berdebar keras.
Arunika yang masih bersembunyi di lorong bawah tanah mendengar suara lirih anak-anaknya, hati seorang ibu dalam dirinya bergetar hebat. Suara Reonans memanggil, penuh tangis dan ketakutan, sementara Luciano dan Lucius duduk gemetar, wajah mereka pucat, mata mereka penuh kekhawatiran.
"Ibu? Di mana Ayah?" tanya Reonans lagi, air matanya mengalir membasahi pipi, suaranya lemah seperti angin yang mendesah.
Luciano memeluk Lucius, mencoba menenangkan adiknya, namun tubuh mereka bergetar. "Kakak... aku takut..." bisik Lucius pelan.
Arunika menahan napasnya, matanya memerah, dadanya sesak. Tubuhnya hampir terdorong untuk keluar, untuk mendekap anak-anaknya, namun ia harus kuat.
Dalam bisikan, ia berkata lirih, hampir tak terdengar, "Bertahanlah anak-anakku. Ibu akan segera kembali."
Di luar sana, suara ledakan dan teriakan pasukan masih menggema, menciptakan ketakutan yang makin dalam di hati anak-anak kecil itu. Namun, meskipun mereka tak bisa melihatnya, cinta seorang ibu hadir seperti pelindung yang tak kasat mata.
Arunika mencengkeram erat permata kecil di lehernya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Tunggu aku... tunggu Ibu... aku janji akan melindungi kalian..." bisiknya dalam hati, sambil menatap langit di luar lorong yang mulai memerah oleh fajar yang datang.
Arunika menggigil, tubuhnya terasa begitu lemah, seolah setiap helai rambut dan urat nadi tak lagi berada di bawah kendalinya. Di lorong bawah tanah yang remang-remang, ia mendekap tubuhnya sendiri, merasa begitu asing dengan kekuatan yang mengalir samar di dalam tubuhnya—kekuatan Sang Putri—yang seolah hanya menjadi bayangan tanpa bentuk.
"Kenapa aku ada di sini? Ini... bukan duniaku..." bisiknya lirih, matanya bergetar menatap kegelapan lorong. Dingin yang menusuk tulang merayap, dan suara peperangan di atas tanah hanya mempertegas betapa rapuhnya ia di dunia novel yang keras ini.
"Ini bukan aku... ini bukan tempatku..." Arunika memejamkan mata, mengingat wajah anak-anaknya, suaminya, dan seluruh beban yang kini ia pikul. Dadanya sesak oleh perasaan asing dan penyesalan, seolah ia hanyalah seorang pengamat yang terjebak dalam cerita yang bukan miliknya.
Namun, di balik itu, samar-samar ia bisa merasakan denyutan kekuatan di dalam dirinya, seperti bara api yang tertutup abu—tak terjangkau, tak terkendali, dan begitu liar.
"Sang Putri? siapa aku di dunia ini?" tanyanya dalam hati, tak ada yang menjawab. Yang ada hanya rasa lelah, ketidakberdayaan, dan pertanyaan yang menggantung di udara.
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉