Ini kisah tentang sepasang saudara kembar yang terpisah dari keluarga kandung mereka, karena suatu kejadian yang tak diinginkan.
Sepasang saudara kembar yang terpaksa tinggal di Panti Asuhan dari usia mereka dua tahun. Akan tetapi, setelah menginjak usia remaja, mereka memutuskan untuk keluar dari Panti dan tinggal di kontrakan kecil. Tak lupa pula sambil berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa mereka kerjakan.
Tapi tak berselang lama, nasib baik mereka dapatkan. Karena kejadian tanpa sengaja mereka menolong seseorang membuat hidup mereka bisa berubah 180 derajat dari sebelumnya.
Siapa yang menolong mereka? Dan di mana keluarga kandung mereka berada?
Apa keluarga kandung mereka tidak mencari mereka selama ini?
Ayo, ikuti kehidupan si kembar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penpurple_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OUT OF TOPIC
Sekarang sudah pukul tujuh malam, di Mansion ramai orang-orang yang sibuk mondar-mandir, contohnya para wanita Wilson. Saling puji memuji satu sama lain secara bergantian.
“Kak, blush on aku ngeblok nggak?”
Indah jadi memperhatikan pipi Reya dengan mata menyipit. “Nggak ah, pas itu.” Reya mengangguk.
Para anak-anak hanya memperhatikan saja.
Naldo yang merangkul bahu Nando melihat jam di tangan kirinya. “Berangkat sekarang, Ayah,” ajaknya membuat Aditya menoleh dan mengangguk.
Lalu Aditya menatap Jeff. “Daddy?” Meminta persetujuan dan Jeff pun mengangguk. “Sekarang saja, takut kejebak macet panjang.”
“Ayo semua, siap-siap berangkat sekarang. Anak-anak dibagi jadi tiga mobil ya, jadi total enam mobil sama yang tua-tua ini,” jeda Reno terkekeh. “Bebas sama siapa saja, mau pakai supir apa nggaknya juga terserah kalian. Kalo mau nyetir sendiri harus yang sudah ada SIM, dimengerti?” lanjut Reno.
“Dimengerti, Papa!” sahut Nanda, Nando, Naldo, Nata, Naldan, Marselio, Chandra, Bobby, Tama, dan Ghafar kompak.
“Go, duluan ke mobil.”
Setelah mengatakan itu, anak-anak berlalu, berjalan beriringan menuju pintu Mansion dan keluar menghampiri jejeran mobil yang sudah disiapkan dan terparkir di depan Mansion.
Malam hari ini semuanya terlihat cantik dan tampan. Pun dengan para orang tua yang pria terlihat berwibawa dan yang wanita terlihat anggun.
“Eza, Ezo, Nata, ikut sama Abang,” titah Naldo mutlak pada adik-adiknya dan memanggil Nanda dan Nata yang hendak masuk ke dalam mobil milik Marselio.
Sontak yang lain berhenti mendadak. Bukan karena apa, bukan juga karena mereka yang ingin semobil bersama si kembar. Mereka terdiam karena omongan Naldo yang mengajak adik-adiknya tanpa menyebutkan nama Naldan di sana. Naldan teriris hatinya mendengar itu. Kenapa abangnya itu tidak mengajaknya juga?
Marselio yang berperan sebagai tertua kedua, seumuran beda bulan dengan Naldo di sana membantah. “What the hell?” Marselio menghampiri Naldo yang belum sadar, masih merangkul Nando yang kini berekspresi tak minat. Nando juga malas sebenarnya dengan acara-acara seperti ini.
Naldo menaikkan alisnya. “Why?” tanyanya tak mengerti.
Marselio mengkode Naldo dengan lirikan matanya agar melihat Naldan yang tadinya ceria, kini terdiam tanpa ekspresi. Pemuda itu masuk ke dalam mobil milik Tama bersama Tama itu sendiri yang juga jadi mengerti situasi.
“Ghafar, ayo masuk sini, sama Abang juga,” ajak Tama juga pada adiknya yang langsung mengikutinya masuk dan duduk di kursi belakang bersama Naldan, Tama yang duduk di kursi kemudi. Jadinya kursi penumpang kosong, Tama menghela nafas pasrah. Membuka kaca mobilnya, memanggil salah satu bodyguard yang berjejer tak jauh dari mereka berkumpul sekarang.
“TINO!” panggil Tama.
Bodyguard yang merasa kalau Tama memanggilnya langsung berlari menghampiri mobil itu. “Siap, Tuan Tama, ada yang bisa saya banting?” sahut Tino bercanda. Tak apa, Tama tak mempersalahkan candaan itu. Berhubung juga umur mereka tak jauh beda, Tino seumuran abangnya, Ghibran. Pun juga sampai sekarang Tino itu menjabat sebagai sahabat abangnya, jadi tidak apa-apa. Mereka sudah cukup kenal selama ini.
“Gantiin gue nyetir, ya, Bang Tin. Ya kali gue nyetir, kursi penumpang kosong, tuh dua bocah duduk di belakang semua, berasa sopir gue.”
Tino mengambil posisi siap dengan tangan hormat. “Siap, Tuan Tama, silahkan pindah ke kursi penumpang. Bodyguard tampanmu ini akan memimpin laju perjalanan anda.”
Tama jengkel mendengarnya, tapi tak urung juga dia pindah ke kursi samping kiri dan Tino masuk ke dalam mobil kursi kemudi. “Ganteng-ganteng botak lu.”
Kembali lagi ke posisi Naldo dan Marselio. Ternyata Naldo masih tidak mengerti maksud Marselio. Memang terkadang putra sulung Aditya dan Arizka ini suka tidak peka, sesekali. Bahkan yang lain pun paham maksud dari Marselio itu.
“Bang Dodo, bang Naldannya kenapa nggak diajak juga?” tanya Nanda buka suara menjelaskan dengan suara pelan.
Naldo tersentak mendengarnya. “Hah? Tadi Naldan diajak juga,” jawabnya dengan nada sedikit ragu.
Nata mendengar itu menggeleng cepat. “Tadi Naldannya nggak abang sebut. Jahat huuu, kasian didiemin Naldan lagi tiga hari, kapok,” ejek Nata dan setelahnya dia masuk ke mobil Marselio saat para orang tua sudah muncul, berbarengan dengan Chandra masuknya. Bobby sudah masuk sebelumnya di kursi belakang. Nata kini duduk di kursi penumpang.
Sebelum benar-benar masuk, Nata berucap tanpa menoleh ke abangnya. “Nata ikut bang Lio aja, nggak enak sama Naldan.”
“Loh, kenapa belum masuk, twins?” tanya Bian pada si kembar. Lalu dia memperhatikan mobil milik Tama dan Marselio yang sudah pada terisi.
“Eza sama Ezo ikut Bang Naldo tuh sayang, kosong. Apa mau ikut Bunda sama Ayah? Biar kita ambil mobil satu lagi,” ajak Arizka dan si kembar sontak langsung menolak, segera masuk ke dalam mobil milik Naldo. “Sama Bang Dodo aja, Bunda.”
Tersisalah yang masih di luar mobil para orang tua, Naldo, dan Marselio.
“Oon lo,“ ejek Marselio pelan yang hanya didengar Naldo, kemudian berjalan ke mobilnya. Dia yang menyupir.
***
“Apa ini karena kita, ya, Jo?” tanya Nanda pada kembarannya. Nando tak senang mendengarnya. “Bukan salah kita, Epey.”
“Tapi tadi mereka kayak kaget banget itu. Is bang Dodo ini memang, dasar. Yang jadi nggak enaknya tuh gue, syitmen. Nanti mau minta maaf ke bang Naldan pokoknya,” gerutu Nanda. Untungnya Naldo belum masuk mobil.
Nando tak menjawab, dia menyenderkan kepalanya pada bahu Nanda. “Kamu cantik banget malem ini, Peyja.”
Nanda cengo. “Syalan lo, out of topic, bjir.”
***
— t b c —