Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Tak Bisa Melepaskan
“Astaga! Kenapa Jihan sampai nangis begini? Mbak apain dia?!”
Baru saja kembali dari mini market sebentar, Jihan sudah menangis saat Jenar titipkan dengan calon orang tua asuh yang hari ini melakukan tes kedekatan dengan Jihan. Buru-buru ia ambil bayi itu dari tangan perempuan berambut pendek tersebut dengan ekspresi panik.
“Saya nggak apa-apain. Tadi cuma kasih dia susu,” ujar perempuan bernama Anggi itu membela diri.
Sambil menggendong Jihan, Jenar cek botol susu yang berada di atas meja makan. Wajah Jenar berubah jengkel saat tahu botol susu tersebut berisi susu yang suhunya panas—tidak suam kuku.
“Ini susunya panas banget. Mbak niat mau bunuh Jihan ya?!”
“Engga gitu, Mbak. Saya hanya coba mendiamkan Jihan. Maaf karena nggak tau takaran airnya gimana. Saya ... nggak berpengalaman,” jujur Anggi merasa bersalah.
Jenar benar-benar sensitif jika itu tentang Jihan. Maunya Jihan mendapat orang tua asuh yang berpengalaman mengurus anak. Buka malah untuk menjadikan Jihan ajang coba-coba. Kalau begitu, mending Jenar saja yang mengurus daripada harus menyerahkan Jihan pada orang asing. Setidak berpengalamannya Jenar, bayi itu masih setali darah dengannya.
Ah, Jenar merasa bersalah karena membuka open adopsi untuk Jihan.
“Saya janji akan belajar lebih serius. Mbak Jenar, tolong berikan saya hak asuh Jihan. Saya sudah terlalu menyukai bayi in—“
“Dengan bertindak ceroboh apa Mbak pikir bisa mengambil Jihan dari saya?” Jenar menggeleng. “Saya nggak akan memberikan Jihan sama orang teledor kayak Mbak. Lebih baik Mbak pergi dari rumah ini!” usirnya.
“Tapi—“
“Pergi!” Jenar menunjuk pintu keluar.
Alhasil perempuan itu keluar dari rumah tersebut dengan ekspresi dongkol. Jenar menghela napas panjang. Ia mendudukkan diri di sofa sambil mendiamkan Jihan. Mendadak perasaan Jenar kacau. Matanya terasa perih, dadanya sesak bergemuruh. Jenar cium kening Jihan, air matanya menetes di kulit sensitif bayi itu.
“Maafin Tante,” bisik Jenar. “Tante gagal jaga kamu....”
“Lho, Je? Kamu sendiri? Nggak jadi Mbak Anggi datang ke sini?”
Jenar mengangkat wajahnya kala mendengar suara dari arah pintu. Itu Gena. Lelaki itu tadinya pamit pergi ke kafe sebentar untuk memantau pekerjaan karyawan sekaligus menerima laporan laba rugi dari Fadlan.
Gena mendudukkan diri di sisi Jenar. Ia mengernyitkan dahi melihat Jenar menangis. “Kamu kenapa nangis?”
“Aku nggak bisa, Ge ...,” isak Jenar.
“Nggak bisa apa?”
“Serahin Jihan ke orang lain. Aku nggak percaya.”
“Lho, kenapa? Bukannya kamu setuju? Kamu juga yang ngusulin duluan ‘kan?”
“Memang. Tapi ternyata aku salah. Aku pikir mencarikan Jihan orang tua asuh akan membuat hidup Jihan lebih terjamin. Tapi nyatanya Jihan malah sengsara. Aku nggak bisa lepas Jihan ke orang lain,” bisik Jenar serak. Ia menoleh dengan matanya yang berlinang. “Kamu tau? Jihan hampir celaka karena keteledoran Mbak Anggi. Dia kasih Jihan susu panas. Bayangin aja gimana sakitnya lidah Jihan nerima air panas gitu? Dia nggak mikir apa Jihan masih bayi? Nggak waras banget dia ....”
Gena mengambil botol susu itu dan memeriksa suhunya. Ternyata benar. Suhu susu tersebut sangat panas. Gena mendengkus kesal dibuatnya.
“Untung Jihan nggak kenapa-kenapa,” kata Gena seraya menghela napas lega.
“Itu karena aku keburu datang. Kalau aja tadi aku telat datang, mungkin udah pingsan si Jihan.”
Gena terdiam. Pikirannya mendadak kalut memikirkan nasib Jihan yang terombang-ambing karena orang tua asuhnya belum ditemukan. Begitu banyak beban yang Gena pikul. Belum lagi kedai kopinya yang mengalami penurunan omset bulan ini. Sementara salah satu cabang kafenya hampir tutup karena terus mengalami kerugian.
Tidak ingin menampakkan masalahnya pada Jenar, lelaki itu tetap berusaha menenangkan Jenar.
“Sabar, ya. Gak apa-apa gagal. Nanti kita coba lagi. Kandidat kita bukan cuma Mbak Anggi kok. Masih ada satu orang lainnya. Atau nanti kita rembukkan bareng-bareng lagi pas Jihan udah bobo. Kayaknya masih banyak e-mail yang masuk. Bisalah kita pilih beberapa orang lagi. Kita harus lebih selektif.”
Usulan itu ternyata tidak membuat Jenar tenang sama sekali. Justru perempuan itu merasa sedih karena saran Gena tidak sesuai kemauannya.
“Iya,” sebatas itu yang keluar dari bibir Jenar. Menunjukkan wajah tenang, padahal dalam hatinya berkecamuk.
Gue pengen ngasuh Jihan, batin Jenar. Ia menggeleng samar—tidak mungkin rasanya ia egois ingin mengasuh bayi ini sementara kemampuannya saja terbatas. Mau ia apakan perusahaan kakaknya?
Jenar terus menyangkal perasaan ‘ingin mempertahankan Jihan’ dengan memikirkan segala resiko. Namun semakin ia sangkal, semakin tidak rela ia melepas bayi itu.
Kak, kenapa harus pergi secepat ini sih? Aku nggak mau lepasin anak Kakak. Aku bingung... aku harus gimana?
***
Malam hari, Jenar tidak bisa tidur karena memikirkan Jihan. Ia tatap bayi yang tengah terlelap itu. Tiap menatapnya, terasa damai hati Jenar.
Gena tidak pernah tahu sedari tadi Jenar menangis karena tidak rela Jihan mendapat orang tua asuh. Labil sekali memang perasaan wanita itu. Awalnya ia memang ingin menyerahkan Jihan pada orang lain. Tapi makin ke sini, Jenar semakin menyayangi bayi tak berdosa itu.
Sebagai informasi, tadi Gena sudah memilih kandidat baru yang akan ia undang ke sini besok pagi. Dan itu membuat Jenar semakin galau.
Waktu merangkak menuju tengah malam. Saat sibuk terbuai dalam lamunan, Jenar merasa ponselnya bergetar dari atas nakas. Buru-buru ia raih benda pipih itu dan mengecek siapa yang mengiriminya pesan.
Mata Jenar yang tadi sudah mulai mengantuk, kini terasa segar mendapati sebuah nama yang muncul di pop-up.
Mas Hanif.
Kontak yang sama sekali belum ia hapus. Bukan karena gagal move on, namun Jenar memang suka lupa membersihkan kontak yang tidak penting. Bahkan nomor lamanya saja yang dulu ia gunakan ketika masih SMP masih tersimpan di ponsel tersebut.
Bangkit ke posisi duduk, Jenar membaca isi pesan tersebut—
Malam, Jenar. Sudah tidur?
Kening Jenar mengernyit membaca pesan itu. Tumben sekali Hanif mengirimkannya pesan malam-malam begini?
Jenar ragu untuk membalasnya. Baru saja ia berniat menaruh kembali ponsel tersebut ke atas nakas, ponsel Jenar berbunyi. Kali ini ... Hanif menelfonnya. Jenar speechless bukan main. Jantungnya berdegup tak menentu.
Tak ingin getar ponsel itu membangunkan Jihan—sekaligus segan tidak menjawab telfon orang lain setelah tadi membaca pesannya—Jenar angkat akhirnya panggilan tersebut.
“Ha—halo?”
“Je? Kamu belum tidur kan? Mas ... nggak ganggu ‘kan?”
Perlahan Jenar bangkit dari kasur, berjalan menuju balkon dengan langkah mengendap-endap agar Jihan tidak terbangun.
“Kebetulan belum, Mas. Kenapa memang?”
“Ah, enggak. Kebetulan tadi Mas habis dari rumah sakit. Ada operasi mendadak. Tiba-tiba keingat nomor kontak kamu. Mas pikir tadi ganti nomor.”
Jenar memainkan ujung jarinya. “Enggak. Masih yang lama nomorku.”
“Mas kepikiran aja obrolan kita di taman kemarin pagi. Kebetulan besok Mas pulang kerja nggak ada acara apa-apa. Kamu kosong nggak besok? Rencananya Mas mau ajak bertemu. Mau sharing banyak hal kayak dulu lagi.”
Jenar menggosok kupingnya sendiri. Ini dia tidak salah dengar, kan? Hanif mengajaknya bertemu? Ini sungguh keajaiban dunia. Padahal, dulu mereka sharing hanya sebagai alibi bagi Jenar untuk ketemuan dengan Hanif. Itu pun tidak di luar rumah. Melainkan di rumah Hanif sendiri dengan dalih datang mengunjungi Hana.
Akal sehat Jenar menolak ajakan Hanif. Terlambat bagi lelaki itu untuk memulai sesuatu dengannya. Perasaan Jenar hambar, kosong, dan sudah hilang sepenuhnya untuk lelaki itu. Ia menghormati Hanif sebatas abang dari sahabatnya—Hana.
“Je? Kamu masih di situ?”
“Ah iya, Mas.”
“Gimana? Mau nggak?”
“Memangnya tunangan Mas Hanif nggak marah ajakin aku ketemu?”
Hanif terkekeh, ia menjawab santai, “dia kan jauh. Lagian, kamu itu teman adikku. Wajar aku ajak kamu ketemuan kan? Sudah aku anggap adik sendiri.”
“Oh, gitu...” Jenar berpikir sejenak. Lagi pula hanya bertemu biasa, kan? Dulu juga mereka sering bertemu. Jenar kenal dengan Hanif sudah lama, jauh sebelum lelaki itu memiliki tunangan.
Kalau dipikir-pikir, Jenar juga butuh hiburan. Terjebak bersama Gena—yang perasaannya tidak jelas bagaimana—serta memikirkan nasib Jihan membuat Jenar pusing. Sesekali, Jenar butuh hiburan. Ia juga berencana menanyakan pada Hanif tentang cara mengurus anak seperti yang Hanif tawarkan di taman kemarin.
Maka Jenar menjawab—
“Oke, Mas. Kita bertemu besok.”
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇