"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
“Syifa, sebenarnya aku adalah mantan mafia,” ujar Sadewa pelan, nyaris seperti berbisik.
"Mantan mafia?" Ternyata benar, Sadewa mantan mafia. Syifa sedikit menjauhkan dirinya dari Sadewa dan kembali memakai hijabnya.
“Sejak usia 19 tahun, aku dipaksa ayahku masuk ke dunia itu—penuh kekerasan, kegelapan, dan dosa. Aku menjalani hidup yang jauh dari kata layak. Baru setelah ayahku meninggal empat tahun lalu, aku bisa keluar dari semua itu.”
Syifa menatap suaminya lekat-lekat, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Dan… ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.” Sadewa menoleh, matanya kini menatap Syifa dengan luka yang dalam. “Kecelakaan yang membuatmu kehilangan semuanya, aku penyebabnya.”
Syifa terkejut. Matanya membelalak, tangan terangkat menutupi bibirnya yang gemetar.
“Aku berlari saat itu, melintasi jalan, dikejar anak buah ayah. Seharusnya aku tidak perlu kabur karena bagaimanapun aku kabur pasti akan ditangkap. Mobil yang kamu tumpangi banting setir untuk menghindariku dan akhirnya terguling. Aku melihatmu menatapku. Hatiku terasa sangat sakit waktu itu karena aku tidak bisa berbuat apa-apa. ”
Syifa bangkit perlahan dari ranjang. Matanya mulai berkaca-kaca. “Jadi… Mas Dewa menikahiku karena merasa bersalah? Bukan karena cinta?”
“Tidak! Bukan begitu—” Sadewa buru-buru mendekat.
Tapi Syifa sudah mundur. “Jangan mendekat. Aku butuh waktu.” Dia berlari keluar dari kamar, air matanya menetes begitu saja.
Sadewa hanya bisa berdiri di ambang pintu, menatap punggung istrinya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar sebelah, lalu terdengar suara kunci yang diputar dari dalam.
Sadewa mengepalkan tangannya, hatinya bergetar hebat. Malam itu, semua yang ingin dia simpan, terbuka begitu saja. Dia sangat takut kehilangan Syifa.
***
Syifa menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan. Tubuhnya bergetar karena emosi yang bercampur antara kecewa, marah, dan terluka.
Dia memeluk guling erat-erat, berusaha meredam tangisnya yang kian memuncak.
"Aku yang bodoh terlalu berharap Mas Dewa mencintaiku dengan tulus."
Syifa menyentuh alat bantu pendengarannya. Benda kecil itu menjadi saksi bisu bagaimana dia berjuang menjalani hidup selama 12 tahun ini. Dia mengira pernikahan ini adalah takdir manis dari Allah untuknya, bahwa dia akhirnya dicintai dengan tulus meski memiliki kekurangan. Tapi ternyata...
"Ternyata Mas Dewa menikahiku hanya untuk menebus kesalahannya. Aku yang terlalu berharap lebih."
Syifa sama sekali tidak bisa tidur hingga lewat tengah malam. Kemudian dia bangkit dari ranjang dan berwudhu dengan langkah lemah. Dia mengenakan mukena putihnya, lalu menunaikan salat malam di tengah kamar yang hening. Suaranya bergetar saat membaca doa, dan di tiap sujudnya, dia tumpahkan seluruh luka di hati.
“Ya Allah… jika dia memang ditakdirkan untukku, kuatkan hatiku. Tapi jika aku hanya jalan untuk menebus dosanya… maka tunjukkan aku jalan terbaik...”
Satu per satu doa mengalir dari bibirnya. Tangisnya sudah berhenti, namun masih terasa berat di dada. Setelah salam, dia duduk lama di atas sajadah, menengadah, berharap pada petunjuk yang tak bisa dia dapatkan dari siapa pun selain Allah.
Dan saat tubuhnya lelah, dia pun terlelap di atas sajadah itu, masih dalam balutan mukena.
Malam itu, Syifa bermimpi. Dalam mimpinya, dia melihat dirinya sedang berdiri di tengah jalan yang berkabut. Dari arah lain, Sadewa berjalan pelan ke arahnya.
“Aku bukan pria yang pantas untukmu,” kata Sadewa dalam mimpi itu. “Tapi aku ingin menjadi orang yang bisa menebus segalanya, bukan karena dosa, tapi karena cinta yang tumbuh… sejak aku mengenalmu.”
Syifa tersentak bangun. Napasnya tercekat, dadanya berdebar keras. Ia mengusap keringat dingin di pelipisnya.
“Mas Dewa…” bisiknya.
Dia memeluk lututnya sendiri. Kini dia menyadari, mungkin semua ini bukan sepenuhnya salah Sadewa. Hidup membawa mereka pada jalan yang rumit. Tapi satu yang masih menggantung di hatinya—dia hanya ingin dicintai karena dirinya sendiri, bukan karena Sadewa merasa bersalah.
...***...
Pagi itu, meski hatinya belum tenang sepenuhnya, Syifa memilih keluar kamar dan memasak. Dia tak ingin larut dalam emosi terus-menerus.
Di dapur, dia mulai menyiapkan sarapan, mencoba bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi dalam dirinya, perasaan masih bertarung hebat.
Langkah kaki Sadewa terdengar pelan mendekatinya. Syifa bisa merasakannya, tapi dia memilih tetap fokus memotong bumbu dapur.
"Syifa..." panggil Sadewa lembut. "Maaf aku tidak bilang yang sebenarnya sebelum kita menikah. Tapi aku benar-benar tulus sama kamu… bukan karena rasa bersalah."
Syifa tak menjawab. Tangannya terus bekerja, mengiris bawang merah sambil menahan gejolak di dadanya. Namun karena pikirannya kalut, dia tidak sadar pisaunya meleset dan melukai ujung jarinya. Darah langsung keluar.
"Akh!" erangnya pelan.
Dengan refleks, Sadewa segera menangkap tangan Syifa. Tanpa berpikir panjang, dia mengangkat jari Syifa dan menghisap luka itu perlahan di bibirnya.
Syifa membeku. Matanya membulat, jantungnya berdetak makin kencang. Tatapannya bertemu dengan mata Sadewa yang kini berada begitu dekat. Ada kehangatan dalam tatapan itu.
“Jangan memasak kalau sedang tidak fokus." Sadewa masih memegang tangan Syifa, lalu mencari plester luka di laci.
Saat Sadewa memasang plester luka itu, Syifa terus menatapnya. "Mas Dewa, aku mau bertanya, jawab dengan jujur. Apa Mas Dewa menikahiku memang hanya karena ingin menebus kesalahan saja?"
Sadewa terdiam dan semakin menggenggam tangan Syifa. "Bukan, aku benar-benar ingin hidup bersama kamu, terlepas dari semua kesalahan itu."
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔