para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Queen celingukan, matanya mencari-cari seseorang. "Fahri? Kok dia nggak nungguin gue...?"
Daffa tersenyum kecil. "Dia pergi duluan, katanya lapar banget. Jadi gue yang nungguin lu. "
Queen mengusap rambutnya yang masih basah, baru menyadari sesuatu.
"Astagaaaa!"
Kedua tangannya terangkat cepat, menutupi dadanya yang hanya terbalut handuk tipis. Ia baru sadar betapa minim pakaiannya.
Pandangan Daffa terpaku sesaat.Daffa, yang juga baru menyadari hal itu, segera membalikkan badan. Detak jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan hanya karena Queen yang hampir tanpa busana, tetapi juga karena ketakutan yang masih terpancar dari wajahnya, campur aduk dengan rasa malu yang membuatnya terlihat rentan dan menarik.
Sejenak, ia terpesona, sebelum kesadaran menariknya kembali ke realitas. Ia menelan ludah, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang tak menentu.
Ia melepas kemeja flanelnya dengan tangan gemetar, menawarkannya pada Queen. "Pakai ini dulu, nanti lu masuk angin lagi. Mau ganti di kamar mandi?" suaranya sedikit serak.
"Enggak mau! Gue mau langsung ke kamar aja!" Queen meraih kemeja Daffa, menutupi dadanya dengan tergesa-gesa. Pipinya memerah.
Ia berlari masuk ke rumah, meninggalkan Daffa yang masih berdiri di sana, tersenyum—senyum yang kali ini lebih rumit, bayangan tubuhnya yang setengah tertutup handuk masih terbayang jelas di benaknya.
Daffa, dengan langkah pasti namun hati yang berdebar, menyusul Queen masuk ke dalam rumah. Langkahnya seakan mengejar bukan hanya sosok Queen, tetapi juga gema detak jantungnya sendiri yang masih bergema di telinganya.
...----------------...
"BANGUN! SEMUA BANGUN! Jangan malas-malasan! Sudah jam delapan! Kita harus selesaikan Reading hari ini!" teriak Arin, suaranya menggema, mengetuk pintu kamar para lelaki satu per satu.
Queen dan Wati sudah duduk manis di ruang tamu, menikmati teh hangat dan cemilan. Wati terlihat pucat dan lesu, jari-jarinya sibuk menggulir layar ponselnya.
Satu per satu penghuni rumah berdatangan, beberapa masih sibuk membersihkan diri, hanya mencuci muka dan menyikat gigi.
Baskoro dan Daffa datang lebih dulu, duduk di hadapan Queen dan Wati. Tatapan Queen menghindar dari Daffa, kenangan malam sebelumnya masih terasa hangat di pipinya. Daffa pun melakukan hal yang sama, keduanya saling menghindari kontak mata.
"Queen, Wati, kalian semalam kemana? Kami nunggu lama banget!" tanya Baskoro, nada suaranya sedikit kesal.
"Kami semalam... apes banget, Bas," jawab Queen.
Daffa langsung menoleh, menunjukkan perhatian penuh pada Queen, membuat pipi gadis itu semakin merona.
"Apes? Kenapa?" Baskoro menatap Queen dan Wati bergantian, penasaran.
"Kami ngalamin hal aneh," Queen melanjutkan, suaranya sedikit gemetar. "Kami kira lampu di depan kami itu mobil kalian, tapi ternyata... bola api! Terbang ke arah kami!"
Baskoro dan Daffa tercengang, ekspresi mereka bercampur aduk antara tak percaya dan rasa ingin tahu yang besar.
"Lu serius, Queen?!" Baskoro memastikan.
"Serius itu bola api?" Daffa mendesak.
Tatapannya tertuju pada Queen, mencari kebenaran di balik cerita yang tak masuk akal itu.
Wati mengangguk pelan, menghirup tehnya, matanya berkaca-kaca. "Kami nggak mungkin bohong, Kak,"
"Iya, bola api!" Queen melanjutkan.
"Kami di dalam mobil, melihat sendiri bola api itu terbang ke arah kami. Rasanya... seperti mimpi buruk yang nyata." Ia berhenti sejenak, mencoba mengatur napasnya.
Tiba-tiba Arin muncul, menghentikan cerita menegangkan itu.
"Udah! Cukup! Ayo kita ke Gazebo, semua sudah kumpul kan? Hari ini Reading harus selesai dan lancar!" suaranya tegas, memotong cerita yang baru setengah jalan.
Queen terdiam, menyesal karena ceritanya terpotong. Ia melirik Baskoro dan Daffa, melihat sedikit kekecewaan terpancar dari wajah mereka. Keinginan untuk menceritakan detail pengalaman menegangkan itu masih membara, namun perintah Arin harus dipatuhi.
Mereka bangkit, mengikuti Arin menuju gazebo. Di tengah perjalanan, Wati menyenggol pundak Queen pelan.
"Kak, kalau diperhatikan, Baskoro lucu juga ya? Apalagi kalau lagi perhatian ke Kakak," bisik Wati, suaranya bersemangat.
Queen menatap Wati tak percaya. "Eh... sembarang! Gue sama Bas itu cuma teman. Kita udah temenan lama, mana mungkin dia suka ama gue ?"
Langkah mereka melambat, percakapan berlanjut. "Ih, siapa yang tahu, Kak?" Wati berbisik lagi, matanya berbinar. "Kalau aku... lebih tertarik sama Kak Daffa. Dia cool banget."
"Ha... ha..." Queen terkekeh, suaranya tertahan. "Lu suka sama Daffa, Dek?"
Seketika, Wati menutup mulut Queen rapat- rapat. "Husst... jangan ribut dong, Kak! Aku jadi malu!"
Queen hanya bisa memberi isyarat dengan jari telunjuk di bibirnya, menahan tawa yang hampir meledak. Rahasia kecil itu, tersimpan di antara langkah kaki mereka menuju gazebo. Queen menunduk, tatapannya sekilas kosong.
BERSAMBUNG....