Semua wanita pasti menginginkan suami yang bisa menjadi imam dalam rumah tangganya, dan sebaik-baiknya imam, adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab, namun apa jadinya? Jika lelaki yang menjadi takdir kita bukanlah imam yang kita harapkan.
Seperti Syahla adzkia, yang terpaksa menikah dengan Aditya gala askara, karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi di Mesjid.
Akankah syahla bisa menerima gala sebagai imamnya? ataukah ia memilih berpisah, setelah tahu siapa sebenarnya gala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syahga 21.
Syahla diam dan merundukkan kepalanya, apakah sesulit itu untuk jujur?
Namun, ia menatap kembali pada suaminya lalu tersenyum. "Tak apa, tak perlu jujur aku paham. Walau sebenarnya kecewa," ujarnya.
Ia bangkit dan berdiri ditepi ranjang, melambaikan tangannya dengan telapak tangan terbuka.
"Ayok Mas imam, kita harus sholat!" ajaknya dengan senyum yang semakin meluluh lantakkan hati gala.
Gala menatap tangan itu, apa ia bisa menjadi imam yang baik untuk syahla? Padahal ia bukan manusia yang alim, justru ia seorang pengecut yang hanya bisa menyembunyikan ketakutannya didalam topeng galaknya.
Pikirannya melayang pada banyak masa lalu yang sangat mencekam, sakit dan nyeri ia pendam sendiri. Akankah semua itu hilang dan berubah?
pria itu menggapainya, ia berdiri dan mengekori kemana wanita itu membawanya. Mereka bergantian untuk berwudhu dan melaksanakan ibadah seperti hari-hari biasanya.
"Hanya satu do'aku, ya Allah. Jaga dan lindungi dia," gumam syahla menatap punggung kokoh yang berada dihadapannya.
Begitu kekar, menjadi sandarannya kini namun entah mengapa ia merasa mustahil—seolah ada jarak diantara mereka.
Sedangkan gala masih berjibaku dalam pemikirannya sendiri, takut untuk jujur dan tak jujur pun ia takut kehilangan.
Gala berangkat kerja, sementara syahla kembali menunggunya pulang seperti biasa ia akan diam dirumah dan melakukan pekerjaannya sebagai istri.
Untuk menghabiskan hari-harinya gadis itu membereskan rumah yang mereka tinggali, setiap sudut ia bersihkan hingga tak terasa matahari sudah tepat diatas kepala.
Ia hendak berjalan untuk ke kamarnya tiba-tiba suara bell berbunyi, ia melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Pasti si gandi," duganya sembari menggelengkan kepalanya.
Akan tetapi saat pintu itu dia buka ternyata bukanlah orang yang biasa datang, melainkan jena.
Syahla terkejut, ia mempersilahkan wanita itu untuk masuk kedalam rumahnya. Saat jena duduk di sofa, sasa segera membuatkannya kopi kemudian duduk tepat dihadapannya.
Jena menyeruput kopinya sedikit lalu ia mengangguk pelan sambil tersenyum, hal tersebut membuat syahla tegang lantaran kedatangannya disaat suaminya sedang bekerja, ia hanya diam menundukkan kepalanya.
"Kopinya enak, calon suamiku benar-benar tak berubah soal selera," puji Jena menaruh kopinya kembali ke meja.
Syahla menoleh padanya, kata calon suamiku terdengar menggetarkan hatinya. Ia merasakan sesuatu yang entah mengapa panas, rasanya ingin menjambaknya atau mencakar mukanya tapi apalah dayanya, ia sendiri dinikahi karena kesalahpahaman.
"Dia pasti bersikap kasar sama kamu, ya. Wajar karena ia punya paranoid, cuma aku yang bisa menyentuhnya," ujar Jena memberitahukan statusnya dengan gala.
"Kami tumbuh bersama, jadi ia tak berani bersikap kasar padaku. Bukankah menurutmu itu jodoh, karena kami saling mencintai bukan," tambahnya lagi.
Lagi syahla merasakan dadanya semakin panas, romantis sekali, hanya itu yang ia gumamkan dalam hatinya.
"Jadi jangan mencoba untuk menggodanya, gala memang kasar tapi ia orang yang mudah iba apalagi untuk orang-orang yang berasal dari kampung," ejek Jena dengan jelas seakan menyadarkan syahla untuk tahu diri tentang status sosialnya bahwa mereka tak selevel sama sekali.
Sasa mengepalkan tangannya, ia mencoba menahan diri agar tak melakukan kekerasan pada wanita yang mengaku pacar suaminya itu.
Syahla menatap wanita itu, bibirnya tersungging senyum penuh makna. Ia yakin jena sudah tahu tentang pernikahannya jika memang mereka sedekat itu, lalu untuk apa ia diam dan berpura-pura lagi.
"Kenangan yang sangat hebat, jika anda bicara begitu itu artinya anda sudah tahu tentang pernikahan kami. sayangnya, ia sudah menjadi milikku," ujar Syahla dengan penuh percaya diri mengakui gala sebagai miliknya sekarang.
"Yakin, Lalu kenapa dia tak memperkenalkan keluarga kandungnya padamu?" tanya Jena yang terasa tertohok bagi syahla.
Syahla diam, 'keluarga kandung' pikirannya mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, yang ia tahu gala tumbuh di panti, terus keluarga kandung dari mana? Ia sangat tak paham.
"Kalian menikah satu bulan lalu, tapi belum kenal siapa orang tua kandungnya. Menyedihkan sekali," sindir Jena dengan sinis.
Tangan yang tadinya terkepal kini meregang, rasa percaya dirinya mendadak luntur dengan ucapan wanita yang sudah lama mengenal suaminya, syahla merasa tak dihargai tapi ia tetap berusaha tersenyum—berpikir positif itu lebih baik baginya.
"Diperkenalkan atau tidak belum tentu ia jadi pemilik hatinya, bagaimana dengan anda? Sudah lama kenal apa ada niatnya menikahi anda," ujar Syahla membalikkan fakta.
Jena merasakan dadanya tersulut api, kalimat itu seakan menusuk dan membakar jantungnya menghentikan nafasnya hingga terasa menyesakkan.
Benar, cintanya tak pernah terbalaskan tapi ia masih mengharapkannya. Entah itu bodoh atau setia pada satu cinta namanya, akan tetapi kini berubah—gala sudah menikah.
"Apa yang anda harapkan dari pria yang sudah menikah?" tanya Syahla dengan tenang.
"Jika kalian jodoh, kenapa tak menikah denganya dari dulu? Mungkin ... kami juga tak akan pernah saling kenal." Syahla berdiri lalu merentangkan tangan kanannya ke arah pintu.
"Disana tempat keluarnya, silahkan anda goda suami saya sebelum dia benar-benar jatuh cinta pada saya," ujar Syahla.
Syahla memang takut untuk kehilangan gala yang sudah menjadi suaminya, tapi ia bisa apa? Jika perasaannya tak terbalaskan bukankah lebih baik mundur.
Biarlah ia terbawa arah jalan takdirnya, ia pasrah kemana arus itu membawanya melangkah.
Jena menengadah dan menatap tajam wanita didepannya, wanita kali ini bukanlah wanita yang biasa ia temui. Ia hanya terlihat kuat tapi belum tentu hatinya, bisa saja ia sangat rapuh itulah yang ia pikirkan.
"Jangan percaya diri, aku bisa membuat elo dan gala pisah." Jena beranjak dari tempatnya dengan tangan terkepal kuat.
Ancaman atau pun peringatan bagi syahla bukanlah apa-apa, ia sudah sering mendapatkannya dari ibu dan saudara tirinya ditengah ayahnya yang mudah dimanipulasi.
Setelah terdengar suara pintu yang tertutup, tubuh syahla langsung ambruk terduduk dikursi sofa. dadanya terasa sesak karena merasakan lagi perasaan takut kehilangan seseorang yang sudah ia jadikan sandaran.
"Apa aku akan seperti bunda?" tanyanya mengeluh.
Dan akhirnya air matanya menetes, walau pelan dan tertahan makin lama makin deras jua.
Ia ingin lari, tapi kemana? Ia bingung karena tak ada tempat untuk bercerita, ia merasa sendirian didunia ini meski sepi dan hampa sudah menjadi kesehariannya namun disaat begini pada siapa ia harus berharap.
Tiba-tiba ponselnya berdering, ia merogoh saku gamisnya. Nama dokter yang ia kenal tercetak di atas layar, syahla tersenyum dan menghapus segera tetesan air matanya di pipi.
Tak lupa ia mengatur nafasnya agar tak terdengar suara seperti habis menangis, lanjut ia menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Hallo, dokter feni. Gimana kabarnya?" sapa Syahla.
"Baik, Sya. Kamu gimana?" sahut dokter wanita itu.
"Baik juga, Dokter. Btw ada apa ya, dok?" tanya Syahla.
"Saya lagi di Jakarta, kamu tinggal dimana? Ayok kita jalan sekali-kali!" ajak Dokter feni.
"Benarkah, Dok. Ya sudah kirim saja tempat ketemuannya nanti saya otw," jawab Syahla.
"Ok-lah kalo begitu," jawab Dokter feni yang langsung membagikan lokasi yang akan mereka datangi.
Hati syahla kembali terang, setidaknya ia ada teman mengobrol walau ia harus keluar tanpa ijin suaminya. Terus untuk apa ia mengurung diri seperti rapunzel, jika sebenarnya ia bisa pergi sekali-kali.
"Ya, gak papa kan. Kali ini saja aku pergi," ucapnya yakin setelah melihat peta lokasi yang dikirimkan dokter feni.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lalu bagaimana dengan gala?
Lelaki itu sibuk dengan urusannya, pekerjaannya menumpuk setelah ada tempat yang akan ia bangun apartemen mewah ala sultan dan sangat cocok dengan kriterianya.
Ia bubuhkan tanda tangannya setelah memeriksanya kembali, lalu ia tutup dan menaruhnya ditumpukan paling atas.
ia sandarkan punggungnya di kursi kebesarannya dan memijat keningnya perlahan, masih pagi tapi kepalanya sudah berdenyut pening. Disaat itulah ia mengingat syahla.
Gala mengambil ponselnya, memeriksa pesan yang mungkin penting dari istrinya namun nyatanya tak ada satu pun pesan yang muncul.
"Kira-kira sasa lagi apa ya?" tanyanya penasaran akan wanita yang ia kurung dirumahnya.
Alisnya bertaut melihat cctv apartemennya yang kosong, ia otak-atik setiap sudut yang terpasang alat rekam video itu namun nihil sasa tak ada dimana pun.
Reflek ia tegakkan tubuhnya mencari ulang kembali cctv rumahnya dan benar syahla pergi dari rumah.
"Dia mau kemana?" tanyanya mulai merasakan firasat buruk.
"Sial! Gue harus kejar cewek itu, jangan sampai dia keluyuran sendirian," ujarnya.
Gala membuka aplikasi pelacak yang ia pasang diam-diam diponsel istrinya, titik merah yang ada di peta menunjukan syahla masih ada di sekitar apartemennya.
Bergegas ia beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan cepat meninggalkan kantornya.
Saat di pintu ia keluar bersamaan dengan datangnya jena dan arhan, mereka membawa berkas yang penting untuk diperiksa.
Jena dan arhan terkejut melihat wajah gala yang tampak panik, ia terlihat buru-buru untuk pergi meninggalkan kantornya.
"Ga, elo mau kemana?" tanya jena.
"Tak ada waktu lagi, gue harus pergi," jawab gala sambil melengos pergi melewati mereka.
Arhan dan jena hanya diam saling bertatap muka, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan pria itu. Tapi melihat wajahnya mereka mulai ikut panik.
"Sepertinya, gue harus ikutin gala deh. Takutnya ia dibegal lagi," ujar arhan yang langsung menitipkan berkasnya pada jena kemudian ia bergegas pergi menyusul bosnya.
Jena hanya mengangguk cepat sebagai jawabannya, tak dipungkiri ia juga khawatir dengan gala.
Diperjalanan arhan menghubungi tangan kanannya demi keselamatan, kejadian nahas di kota dodol cukup sekali saja jangan sampai terulang lagi. Tak tanggung-tanggung lelaki bertubuh besar dan tinggi itu meminta asistennya membawa banyak anak buahnya, agar bisa menghajar para preman yang bisa saja tak cuma satu.
Sambil melihat pelacak pada peta di ponselnya, gala melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, ia menyalip beberapa mobil dengan gesitnya tak peduli kecelakaan yang bisa saja terjadi ditengah keramaian kota.
"Jangan-jangan dia ketemu gandi lagi, sialan punya adik play boy banget," sangkanya sambil memegang stir mobil dengan kuat.
Matanya menatap tajam lurus kedepan, giginya menggertak dengan rahang yang mengetat—api amarahnya mulai menyala.
rambut panjang trus laki.