"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Wawancara Nasi Bungkus
Jalan Merpati No. 88 ternyata adalah sebuah ruko tua berlantai tiga yang cat temboknya sudah mengelupas parah. Rolling door-nya terbuka setengah, menampilkan bagian dalam yang kosong melompong, hanya ada satu meja plastik dan dua kursi lipat.
Rudi berdiri di depan ruko itu dengan napas ngos-ngosan. Keringat dingin membasahi punggungnya. Keraguan kembali menyelimuti hatinya.
"Ini kantor? Lebih mirip markas ormas atau gudang penadah barang curian," batinnya curiga.
Namun, rasa lapar yang menusuk lambung memaksanya melangkah masuk. Di dalam, duduk seorang pemuda berkaos oblong hitam polos sedang sibuk menyapu lantai. Pemuda itu terlihat sangat muda, mungkin baru lulus kuliah, sama sekali tidak terlihat seperti "Bapak Rian" yang dibayangkan Rudi.
"Permisi..." suara Rudi parau. "Saya cari Pak Rian. Soal lowongan di tiang listrik."
Pemuda itu berhenti menyapu, lalu menoleh. Ia menatap Rudi dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tatapan pemuda itu aneh. Matanya seolah bersinar samar sesaat, seakan sedang memindai seluruh isi jiwa Rudi.
Di mata Rian, sebuah layar transparan muncul melayang di samping kepala pria paruh baya yang lusuh itu.
[MATA DEWA AKTIF]
Nama: Rudi Hartono (38 th)
Keahlian: Manajemen Logistik (B+), Fisik (A-), Mengemudi (B).
Status Mental: Putus Asa, Depresi Ringan.
Kondisi Fisik: Kelaparan Tingkat II (Belum makan 20 jam).
Tingkat Kejujuran: 92/100 (Sangat Tinggi).
Potensi Loyalitas: 98/100 (Sangat Tinggi).
Rian tersenyum tipis. Jackpot. Orang jujur yang sedang butuh pertolongan. Target sempurna untuk sistemnya.
"Saya Rian," jawab pemuda itu santai. Ia meletakkan sapunya. "Bapak pelamar kerja?"
Rudi mengangguk kaku. Ia merogoh tas kresek hitam yang dibawanya. "Ini... saya bawa fotokopi KTP dan ijazah SMA, Pak. Maaf saya nggak bawa map, tadi..."
"Simpan aja, Pak. Saya nggak butuh kertas itu," potong Rian. Ia menarik satu kursi lipat. "Duduk dulu."
Rudi bingung, tapi menurut. Ia duduk dengan gelisah. Apakah ini tes mental?
Rian justru berjalan ke meja, mengambil sebuah bungkusan kertas cokelat yang masih hangat. Aroma kuah gulai dan ayam bakar langsung menyeruak ke udara, menusuk hidung Rudi tanpa ampun.
"Bapak sudah makan?" tanya Rian tiba-tiba.
Pertanyaan itu sederhana, tapi bagi Rudi rasanya seperti ditelanjangi. Ia ingin berbohong demi menjaga harga diri, tapi cacing di perutnya berteriak duluan. Kruyuukkk... Bunyinya sangat keras di ruangan yang sunyi itu.
Wajah Rudi memerah padam karena malu. Ia menunduk dalam-dalam.
Rian tidak tertawa. Ia justru menyodorkan bungkusan Nasi Padang itu ke hadapan Rudi, lengkap dengan sebotol air mineral dingin.
"Makan dulu, Pak. Kita nggak bisa ngomongin bisnis kalau perut kosong," kata Rian pelan namun tegas. "Anggap aja ini tes tahap pertama. Menghabiskan makanan."
Rudi menatap nasi bungkus itu. Pertahanannya runtuh. Tangan gemetarnya membuka karet gelang pembungkus. Begitu suapan pertama nasi bercampur kuah gulai itu masuk ke mulutnya, air mata Rudi jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia makan dengan lahap, sangat lahap, sambil sesekali menyeka air mata dengan lengan bajunya yang kotor. Rian hanya diam memperhatikan, membiarkan bapak itu menuntaskan rasa laparnya.
Sepuluh menit kemudian, bungkusan itu tandas tak bersisa. Rudi meminum air mineral itu sampai habis setengah botol, lalu menghela napas panjang. Itu adalah makanan terlezat yang pernah ia makan setahun terakhir.
"Terima kasih, Pak," suara Rudi kini lebih bertenaga, meski matanya sembab. "Maaf saya lancang. Jadi... apa pekerjaannya? Saya siap kerja apa saja. Jadi kuli angkut, supir serabutan, atau jaga malam juga boleh."
Rian mengetuk-ngetuk meja pelan.
"Saya butuh Kepala Gudang. Seseorang yang bisa mengatur stok barang masuk dan keluar, sekaligus memastikan keamanan aset saya," kata Rian. "Gaji pokok 10 juta per bulan. Uang makan dan transport 100 ribu per hari. Asuransi kesehatan istri dan anak ditanggung full."
Rudi melongo. Mulutnya terbuka lebar. "Se-sepuluh juta?"
Di pabrik lamanya, gajinya hanya UMR, itu pun sering dipotong. Angka 10 juta terdengar seperti dongeng.
"Pak Rian... jangan bercanda. Kantor Bapak saja..." Rudi menatap sekeliling ruangan yang kosong melompong itu dengan ragu. "Maaf, belum ada isinya."
"Isinya akan datang besok, kalau Bapak setuju kerja sama saya," Rian menatap tajam mata Rudi. "Saya cuma punya satu syarat: Jujur. Sekali Bapak nyolong satu permen pun dari gudang saya, Bapak keluar. Sanggup?"
"Sanggup! Demi Allah saya sanggup, Pak!" jawab Rudi spontan. Instingnya mengatakan pemuda ini tidak sedang main-main.
"Bagus. Bapak diterima."
Rian merogoh laci meja—satu-satunya laci yang ada di sana—dan mengeluarkan sebuah amplop tebal berwarna cokelat. Ia melemparnya ke hadapan Rudi.
Buk! Bunyi jatuhnya terdengar berat.
"Ini gaji bulan pertama, dibayar di muka. Plus bonus tanda tangan kontrak 5 juta. Total 15 juta."
Tangan Rudi gemetar hebat saat menyentuh amplop itu. Tebal. Nyata.
"Pak... ini... Bapak nggak takut saya bawa kabur uang ini?" tanya Rudi dengan suara bergetar. Logikanya masih menolak percaya. Orang asing baru kenal 15 menit langsung dikasih 15 juta?
Rian tersenyum tipis, matanya melirik helm kusam yang diletakkan Rudi di atas meja, lalu beralih ke sepatu Rudi yang berdebu tebal.
"Bapak datang bawa helm, tapi jalan kaki sampai keringatan begitu. Pasti motornya sedang 'sekolah' di leasing atau digadaikan, kan?" tebak Rian santai.
Rudi tersentak kaget. "Ko-kok Bapak tahu?"
"Saya pernah miskin, Pak. Saya tahu rasanya," jawab Rian tanpa beban. "Dan bapak berkali-kali melirik jam dinding, gelisah. Pasti ada orang rumah yang sedang menunggu bapak bawa pulang sesuatu."
Rian mencondongkan tubuhnya sedikit.
"Jadi, pakai uang itu. Ambil balik motor Bapak. Beli makanan enak buat orang rumah. Jangan pulang dengan tangan kosong."
Rian kembali bersandar. "Kalau Bapak bawa kabur uang itu, berarti harga diri Bapak cuma seharga 15 juta. Saya yang rugi dikit, Bapak yang rugi seumur hidup karena kehilangan kesempatan kerja di sini."
Rudi terdiam. Matanya memanas. Ucapan bos mudanya ini tajam tapi tepat sasaran. Ia berdiri tegak, lalu membungkuk hormat 90 derajat.
"Terima kasih, Pak! Demi Allah... saya akan kerja mati-matian buat Bapak!"
[Ting!]
Suara notifikasi sistem berbunyi di kepala Rian.
[Target: Rudi Hartono]
[Status: Terguncang Bahagia & Rasa Syukur Mendalam]
[Poin Diperoleh: +850 Poin]
Rian nyaris tersedak ludahnya sendiri. Delapan ratus lima puluh?!
Padahal harga Resep Bumbu Alami di toko hanya 500 poin. Modal 15 juta rupiah menghasilkan poin sebanyak ini? Ini bukan untung, ini perampokan bandar!
"Oke Pak Rudi, silakan pulang. Besok datang jam 8 pagi," kata Rian menahan senyum gembiranya.
Rudi mengangguk antusias, mendekap amplop itu seperti nyawanya sendiri, lalu berbalik pergi. Namun, baru dua langkah ia mencapai pintu, suara Rian menghentikannya.
"Tunggu sebentar, Pak Rudi."
Rudi menoleh, jantungnya berdegup kencang lagi. "Ya, Pak?"
Rian menatap pintu ruko yang terbuka, lalu menatap langit-langit kosong di atas kepala Rudi. Wajah Rian tiba-tiba berubah serius, alisnya berkerut seolah mendengarkan sesuatu yang tidak bisa didengar Rudi.
"Pak Rudi..." Rian berkata pelan, suaranya mendadak dingin. "Bapak tadi ke sini... merasa ada yang mengikuti Bapak tidak?"
"Hah?" Wajah Rudi pucat pasi. "Mengikuti? Nggak ada, Pak. Memangnya kenapa?"
Rian terdiam lama, matanya memicing ke arah jalanan di luar ruko yang sepi.
"Lupakan. Cepat pulang. Jangan lewat jalan besar. Lewat jalan tikus saja," perintah Rian dengan nada mendesak yang membuat bulu kuduk Rudi meremang.
Rudi tidak berani bertanya lagi. Ia langsung lari terbirit-birit keluar dari ruko, memeluk uangnya erat-erat, meninggalkan Rian yang kini menatap layar hologram merah berkedip di depannya.
[PERINGATAN!]
[Mendeteksi Niat Jahat dalam radius 50 meter!]
[Seseorang sedang mengawasi Host dengan senjata tajam.]