Rumah tangga yang hancur ibarat ranting yang patah.Takan bisa disambung kembali.
Begitupun hati seorang istri yang telah dipatahkan bahkan dihancurkan takan mudah untuk sembuh kembali.
Seorang istri dan seorang ibu akan tetap kokoh saat diuji dengan masalah ekonomi namun hatinya akan remuk dan hancur saat hati suaminya tak lagi untuknya..
apa yang tersisa?
rasa sakit, kekecewaan dan juga penyesalan.
Seperti halnya yang dialami oleh Arini dalam kisah yang berjudul " Ranting Patah "
Seperti apa kisahnya?
Akankan Arini bertahan dalam pernikahannya?
Baca selengkapnya!!!
Note: Dukung kisah ini dengan cara baca stiap bab dengan baik,like,komen, subscribe dan vote akan menjadi dukungan terbaik buat author.
Dilarang boom like ❌
lompat bab ❌
komentar kasar atau tidak sopan ❌
Terimakasih, sekecil apapun dukungan dari kalian sangat berati untuk author 🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atha Diyuta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
" Ya sayang tunggu sebentar bunda siapkan." dengan cekatan aku menyiapkan bekal sarapan untuk anak-anak.Tak lupa aku siapkan juga bekal untuk mas Arjun.
" Rin,mas berangkat.Maafkan mas untuk sikap mas tapi mas harap kamu lebih sopan lagi saat bicara sama ibu."
cup cup
Ucap mas Arjun kemudian menciumi kening dan kedua pipiku.
Hatiku menghangat stidaknya mas arjun susah tak marah lagi meskipun masih ada rasa sakit didalam hatiku,ucapannya sikapnya.Ah sudahlah, mungkin aku memang salah.
" Mas kamu ngga sarapan dulu?" tanyaku dengan lembut.
" Dibuat bekal saja seperti anak-anak." Ucapnya.
Hem untungnya aku sudah sigap jadi aku tak perlu lagi membuat mas Arjun menunggu.
Dari kejauhan aku melihat ibu mertuaku menatap kami dengan tatapan yang entah aku juga tak faham dengan arti tatapannya.
Sorot matanya menunjukkan ketidaksukaannya namun dibibirnya terukir senyum.
" Hanif Dinda berangkat sama ayah?"
Mas Arjun menawarkan mengantar anak-anak namun tampaknya anak-anak masih kecewa dengan sikap ayahnya.
Keduanya tak bergeming mendengar tawaran sang ayah,ku tatap wajah keduanya hanya dengan kedipan mata Dinda faham akan arti tatapanku.
" Maaf yah Dinda naik motor saja bareng bunda" ucap si bungsu.
" Hanif bagaimana? Kalau harus bertiga naik motor bahaya nak." Imbuh mas Arjun.
" Bunda bisa menjaga keselamatan kamu.Bertiga atau jalan kaki kami sudah terbiasa.Ayah lebih suka bareng anaknya ibu indah kan dibanding kami." Ucap Hanif tanpa sadar.
" Ibu indah? ibu indah yang mana Hanif? Kamu jangan ngaco gak boleh nak!"
Aku mendekat sembari mengusap kepala putraku.Ku dengar helaan nafas panjang dari mas Arjun.
Entah apa yang Hanif maksud,namun satu hal yang bisa ku tangkap.Wajah mas Arjun tampak pucat dan gugup.
" Hanif kamu masih kecil suka banget fitnah ayah kamu! Siapa yang sudah ngajarin kamu jadi tukang fitnah?" Cecar ibu mertuaku.
" Eyang tolong jangan memperkeruh keadaan." Ucapku dengan lirih.
Mas Arjun mendekati Hanif menatap wajah putra sulungnya sesaat.
" Hanif,Angga itu tidak sengaja ikut ayah.Itu hanya kebetulan saja,waktu itu Bu indah mobilnya mogok dijalan.Nah kebetulan ayah lewat,jadi ayah kasih tumpangan sama Angga." Jelas mas Arjun.
Bu indah adalah tetangga kami yang belum lama pindah ke komplek dekat dengan pedesaan.
Kebetulan rumahku tak jauh dari komplek perumahan,aku juga mengenal baik Bu indah.Orangnya ramah dan juga baik,beberapa kali sering bertemu saat belanja sayur di tempat Bu Mumun.
" Bu indah komplek depan yah? "
" Iya memangnya indah siapa lagi." jawab mas Arjun dengan ketus.
" Sudah-sudah ayo berangkat,semua ikut ayah tidak ada yang naik motor." Pungkas mas Arjun.
Kendati keduanya murung namun tetap saja mereka berdua naik ke mobil ayahnya.
🍃🍃🍃🍃🍃
Semua pekerjaan sudah selesai mendadak aku teringat almarhum budhe Heni dan juga kedua orangtuaku.
Aku bersiap karna rencananya aku ingin berkunjung ke makam mereka yang kebetulan tak terlalu jauh dari desa tempat tinggal kami.
" Mau kemana Rin? Suami kerja kamu mau keluyuran?"
Tiba-tiba aku mendengar suara ibu mertuaku yang entah sejak kapan sudah diambang pintu kamarku.
" Eh,ibu Arini mau ke makam budhe sama bapak ibu.Arin sudah kirim pesan ke mas Arjun dan mas Arjun sudah mengizinkan.Mungkin Arin sampai siang Bu karna sudah lama tidak berkunjung ke makam pasti rumputnya tinggi.Nitip anak-anak ya Bu." Ucapku dengan sopan.
" Oh ya Rin hati-hati."
Seperti mendapatkan oase dipadang tandus, jawaban ibu mertuaku begitu enak didengar telingaku.
Aku berpamitan dengan mencium punggung tangan wanita dengan rambut ikal sebahu didepanku.
Aku pergi dengan mengendarai sepeda motor ku, sebelum sampai aku menyempatkan mampir ke toko bunga yang tak jauh dari makam.Kurang lebih 20 menit aku sudah sampai diarea makam.
Ku parkiran sepeda motorku diaeta parkir makam, kondisinya sepi karna ini bukan hari besar.
Assalamualaikum ahlad diyaari minnal mu'miniina wall muslimin,wa innaa in syaa allaahu bikum laa hiquun,Nas-alullaaha lannaa wa lakumul 'aafiyah.
Artinya : Semoga keselamatan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin.Sesungguhnya kami insyaallah akan menyusul kalian.Kami mohon kepada Allah untuk kami dan kalian keselamatan.
( HR.Muslim dari Hadist Buraidah radhaillahu'anhu )
Letak makam keluargaku tak jauh dari pintu masuk hingga aku tak perlu berjalan lebih jauh untuk sampai ketempatnya.
Benar saja rumput yang tumbuh di sekeliling makam sudah sangat tinggi.
" Maaf pak Bu,budhe Arini baru sempat datang.Kali ini cucu kalian tidak ikut.Pak Bu Arini rindu kalian,budhe Arini rindu budhe.Maaf budhe Arini belum sempat datang kerumah budhe." Aku berbicara seorang diri seakan mereka mendengar apa yang aku katakan.
Butuh waktu lama untuk aku membersihkan rerumputan,setelah selesai aku memanjatkan doa-doa untuk bapak ibu dan budhe Heni.
Setelah selesai dengan doa aku menabur bunga diatas pusaran ketiganya.
Rasa lelah baru terasa setelah semuanya selesai,aku memutuskan untuk duduk sejenak ditepi makam.Kebetulan disamping pemakaman ada warung yang menjual aneka minuman dan camilan.
" Bu,air mineralnya satu." Ucapku pada wanita paruh baya pemklik warung.
" Eh mba Arini,lama baru terlihat mba." Sapa bu Endah sang pemilik warung.
" Iya Bu baru sempat,ibu sehat?"
" Alhmdulillah sehat nak,em itu kalau kamu tidak sempat membersihkan makam kamu telfon ibu saja nanti biar keponakan ibu yang membersihkan.Untuk upah dan uang bunga bisa kamu transfer langsung ke dia."
ucap Bu Endah,dulu memang ada penjaga makam yang membersihkan makam dengan biaya seihlasnya namun karena sesuatu hal beliau meninggalkan tempat tersebut dan pindah entah kemana.
" Oh udah ada lagi Bu?"
" Iya ada itu si Udin keponakan ibu,ya dari pada dia nganggur kan itung-itung buat kegiatan dia." Kekeh Bu Endah.
" Eh iya Bu kapan-kapan ya Bu kalau Arini tidak sempat."
Dari pembicaraan itu kami jadi banyak bercerita kesan kesini hingga tak sadar waktu sudah berlalu lama.
" Ya ampun Bu asik ngobrol udah mau Dzuhur Arini pamit ya Bu,ini berapa air mineralnya?"
" Lima ribu saja nak, ini nomer wa ibu kalau kamu butuh bantuan kamu telfon saja ibu." Ucap Bu Endah sembari menyodorkan secarik kertas berisi nomor ponselnya.
" Baik Bu, terimakasih sudah diperkenankan istirahat disini,diajak ngobrol pula.Ini uangnya,diterima ya Bu ambil saja kembaliannya."
Aku menyodorkan satu lembar uang berwarna merah pada Bu Endah.
" Loh ini banyak sekali nak, harganya cuman lima ribu saja."
" Jangan ditolak Bu,Rizki dari Allah buat ibu."
" Ya Allah nak, mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi kamu dan memberikan kebahagiaan yang tak terkira buat kamu dan keluargamu ya nak."
" Amin."
Mata Bu Endah berkaca-kaca saat melantunkan doa-doanya.
Setelah berpamitan aku langsung berjalan menuju parkiran namun aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku dari jauh.
Ah mungkin hanya perasaanku saja,batinku.
Aku gegas menaiki sepeda motorku namun saat baru saja aku hendak menyalakan mesin sepeda motorku seseorang menepuk pundakku dari belakang.
" Arini! Ini benar kamu Arini Wijayanti kan?"
Bersambung.....