NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gosip kantor

Hari pertama Audy dimulai lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia langsung diarahkan ke meja kerjanya di bagian administrasi.

Meja itu sederhana, berada di dekat deretan staf lain. Komputer, tumpukan berkas, dan papan catatan sudah siap menyambutnya. Audy menaruh tasnya, lalu menarik napas panjang.

“Baiklah, Audy,” gumamnya pelan, “kau sudah masuk ke dunia kerja. Saatnya menunjukkan bahwa kau bisa jadi pegawai biasa, bukan putri konglomerat yang manja.”

Namun rencananya untuk tenang langsung buyar. Begitu ia duduk, suara riuh kecil mulai terdengar.

“Hei, itu anak baru, ya?”

“Cantik sekali… seperti model iklan!”

“Sepertinya belum punya pacar, kau lihat senyumnya? Wah, bisa membuat lupa password komputer!”

Tak butuh waktu lama, tiga orang staf pria langsung mendekat. Mereka berdiri di sekitar meja Audy seperti semut yang menemukan gula.

“Selamat datang… namamu siapa tadi?” tanya seorang pria berkacamata, berusaha tampak formal.

“Aku Rama, bagian keuangan. Jika butuh bantuan mengenai form reimbursement, boleh tanyakan padaku.”

Yang lain tak mau kalah. “Aku Rendi, dari IT. Jika komputermu tiba-tiba error, cukup panggil aku. Nomor extension-ku 123, mudah diingat, seperti tanggal lahir mantan.”

Audy mengerjap, mencoba tetap sopan. “Eh… terima kasih. Aku Audy. Senang berkenalan dengan kalian.”

Tiba-tiba, pria ketiga, sedikit lebih flamboyan, menyodorkan kartu nama. “Aku Dion, marketing. Jika butuh teman makan siang, aku selalu ada. Bahkan sekarang pun aku bisa mengosongkan jadwal!”

Audy kikuk. Ia tidak menyangka sambutan hari pertamanya akan seperti selebrasi tak resmi. Mulutnya ingin menolak, tapi ia tahu menolak secara terang-terangan bisa membuat suasana canggung.

“Oh… baiklah. Senang juga berkenalan dengan kalian,” ujarnya sambil tersenyum tipis, meski dalam hati ia bergumam, “Astaga, baru duduk lima menit sudah seperti konferensi pers. Beginikah kerja di kantor?”

Sementara itu, dari balik kaca besar ruangannya, Aldrich Dario Jourell tengah mengamati. Jarinya yang sedang mengetik terhenti seketika. Matanya menajam, melihat bagaimana para staf pria itu mengerubungi Audy.

Tatapan maut pun dilayangkan.

Di ruangan administrasi, para pria itu mendadak merasakan hawa dingin, meski AC tetap pada suhu normal. Rama menelan ludah. Rendi tiba-tiba teringat ada tugas server yang tertunda. Dion mendadak mengingat meeting marketing yang katanya penting.

Satu per satu mereka mundur teratur, meninggalkan Audy yang masih bingung.

“Hah? Baru saja mereka semua semangat sekali… kenapa sekarang seperti ditakut-takuti?” bisik Audy pada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, seorang staff perempuan, mungkin lebih senior, mendekat sambil tersenyum. “Jangan heran, Audy. Itu normal. Anak baru biasanya jadi pusat perhatian. Tapi… jika mereka kabur mendadak, hanya ada satu alasan.”

Audy menoleh. “Alasan apa?”

Perempuan itu melirik ke arah kaca besar ruang pimpinan. “Tatapan Pak Aldrich. Percayalah, tatapannya lebih tajam daripada silet. Jika sudah begitu, semua orang langsung sadar diri.”

Audy melongo, lalu cepat-cepat menunduk pada layar komputernya. “Astaga… jadi ini bukan hukuman, tapi… intimidasi visual?”

Ia menggigit bibir bawah, kikuk, lalu pura-pura sibuk mengetik meski layar monitornya masih menampilkan halaman login. Dalam hati, ia mendesah.

“Ya Tuhan… baru hari pertama saja sudah seperti sinetron. Jika begini terus, aku bisa gila sendiri.”

Di ruangannya Aldrich menyandarkan tubuhnya di kursi empuk, senyum smirk kembali terukir. “Mari kita lihat, Audy. Seberapa lama kau bisa bertahan dari semua ini?”

.....

Pukul dua belas siang, jam kantor mulai lengang. Suara kursi bergeser, tawa kecil karyawan yang beranjak makan siang, dan samar-samar aroma lauk dari kantin mulai menggoda perut siapa saja.

Audy bangkit dari kursinya sambil merapikan map kecil. Hari pertama kerja sejauh ini cukup lancar—meski sempat dikerubungi staf pria dan diselamatkan tatapan maut bos besar.

Dua rekan kerja perempuan yang tadi menyapanya menghampiri.

“Yuk, Audy, makan di kantin. Biar kau tahu menu andalan di sini,” ucap salah satu, perempuan berambut sebahu bernama Clara.

“Benar. Dan kau harus coba es teh manisnya, legendaris. Bisa menyembuhkan stres seketika,” timpal seorang lagi, gadis berwajah ceria bernama Nadine.

Audy tersenyum lega. “Baiklah. Aku memang lapar sekali. Aku ikut kalian.”

Namun saat ia melangkah menuju pintu, suara berat menghentikannya.

“Sebentar, Audy.”

Audy menoleh. Aldrich berdiri di dekat pintu masuk ruangan, setelan jasnya rapi, tatapannya dingin seperti baru keluar dari lemari es. Para karyawan lain langsung pura-pura sibuk dengan komputer masing-masing.

Audy tertegun. “Ya, Pak?”

Aldrich melangkah mendekat, tangannya menyelip di saku celana. “Aku hanya ingin mengingatkan. Ini dunia perkantoran, bukan panggung modeling. Kau sebaiknya menurunkan kadar… ehm, sorotan.”

Alis cetar Audy terangkat. “Sorotan? Maaf, sata tidak mengerti maksud Bapak.”

Aldrich menatapnya dari ujung rambut hingga ujung sepatu. “Setiap pria yang lewat seakan berebut ingin mengenalmu. Jika kau pikir kantor ini tempat mencari penggemar, kau salah besar.”

Audy membalas tatapan itu dengan dagu sedikit terangkat. “Saya tidak sedang mendaftar jadi model. Saya hanya menjadi diri sendiri. Jika mereka mendekat, itu bukan salah saya, bukan?”

Aldrich menyempitkan mata. “Jawaban yang tajam. Tapi ingat, tidak semua orang di sini bisa menerima kehadiranmu dengan cara yang sama. Lebih baik kau menyesuaikan diri sebelum menciptakan masalah.”

Audy menyilangkan tangan di dada. “Pak Aldrich, saya di sini untuk bekerja, bukan membuat drama. Jika ada yang tidak senang, mereka bisa langsung mengatakannya pada saya. Saya tidak terbiasa menunduk hanya karena tatapan dingin.”

Suasana ruangan hening. Clara dan Nadine yang berdiri di belakang Audy saling pandang, wajah keduanya sedikit panik. Nadine cepat-cepat memberi kode dengan kedipan mata dan gerakan tangan kecil ke arah Audy.

Audy sempat bingung, lalu akhirnya menghela napas dan menurunkan suaranya. “Baiklah, saya mengerti. Saya akan lebih berhati-hati.”

Aldrich menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis—senyum smirk khasnya—muncul di wajah. “Bagus. Itu jawaban yang lebih bijak. Selamat makan siang, Audy.”

Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Audy yang masih menatap punggungnya dengan campuran kesal dan kagum.

Begitu Aldrich menghilang, Clara menepuk bahu Audy. “Astaga, kau benar-benar berani membalas kata-kata Pak Aldrich. Tidak banyak orang yang berani melakukan itu.”

Nadine menambahkan sambil terkekeh. “Biasanya orang hanya diam, mengangguk, lalu kabur. Kau malah melawan dengan mulut nyerocos. Hebat juga.”

Audy tertawa kecil. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kalau tidak suka, ya langsung saja bilang. Kenapa harus menyindir? Aku bukan tipe orang yang takut sindiran.”

Clara dan Nadine saling tatap lalu tertawa bersama. “Sepertinya kita akan cocok jadi sahabat,” ucap Clara.

“Setuju! Aku suka gaya bicaramu, Audy,” tambah Nadine sambil menggandeng lengannya.

Ketiganya kemudian berjalan menuju kantin, suasana cair seperti sahabat lama yang sudah bertahun-tahun bersama. Audy merasa aneh tapi hangat—baru hari pertama, tapi ia sudah punya dua teman dekat yang bisa membuatnya merasa tidak sendirian.

Dan tanpa disadari, dari balik kaca ruangannya, Aldrich kembali menatap pemandangan itu. Tangannya mengetuk meja, senyum smirk samar muncul. “Menarik… gadis itu bahkan bisa mencairkan suasana hanya dalam sehari.”

Bagi Aldrich, hari pertama Audy bukan hanya sekadar debut pegawai baru. Ini awal dari sebuah permainan—permainan yang entah siapa yang akan kalah lebih dulu.

.....

Suara riuh kantin Jourell Group terdengar seperti pasar malam. Aneka aroma bercampur jadi satu: ayam goreng, soto, nasi goreng, sampai sup bening yang entah kenapa lebih mirip air rebusan bayam. Audy melirik ke nampan plastiknya, masih bingung mau pilih menu apa.

“Ambil saja ayam geprek. Itu favorit karyawan di sini,” bisik Clara.

“Aku sarankan jangan kuah-kuah. Jika nanti tersiram ke kemeja putihmu itu, reputasimu tamat,” tambah Nadine.

Audy terbahak. “Hei, aku bukan anak TK. Aku bisa makan tanpa membuat tragedi.”

Detik berikutnya sendok sup yang ia ambil malah jatuh ke baki, cipratannya hampir mengenai Nadine.

“Lihat? Anak TK,” sahut Nadine cepat, membuat Clara ngakak sampai hampir menjatuhkan nasi gorengnya.

Audy mendengus, tapi ikut tertawa. “Baiklah, aku akui aku agak ceroboh.”

Mereka akhirnya duduk di sudut kantin, meja panjang yang biasanya dihuni karyawan senior. Nadine langsung membuka percakapan dengan nada penuh rahasia.

“Kau tahu tidak, bos besar kita itu dinginnya bukan main. Jika ia sudah melayangkan tatapan maut nya, rasanya seperti diseret ke lubang freezer.”

Clara menambahkan, “Benar. Ada rumor ia pernah menegur manajer hanya karena suara ketiknya terlalu berisik. Bayangkan, suara ketik saja dianggap kriminal.”

Audy yang baru saja menyuap nasi hampir tersedak. “Apa-apaan itu? Masa suara ketik dianggap teror?”

Nadine mengangkat bahu dengan gaya sok misterius. “Entahlah. Dunia kantor ini penuh intrik, sayang.”

Claran tiba-tiba mendekat, berbisik seperti agen rahasia. “Tapi kau harus waspada, Audy. Dari tadi aku lihat, ada banyak pria yang tidak berhenti melirikmu. Mereka itu seperti serigala lapar.”

“Serigala lapar yang pakai kemeja dan dasi miring?” celetuk Audy sambil melirik salah satu pria yang pura-pura sibuk mengaduk es teh tapi matanya melirik ke arah meja mereka.

Nadine menutup mulutnya menahan tawa. “Ya Tuhan, kau benar-benar frontal.”

Audy tersenyum lebar. “Sekali lagi. Aku datang ke sini untuk kerja, bukan untuk kontes mencari jodoh.”

Clara menatapnya sambil menaikkan alis. “Hati-hati, biasanya justru yang bicara begitu malah duluan dapat jodoh.”

“Betul,” timpal Nadine cepat. “Dan jika kabar gosip tidak salah, bos kita itu masih lajang, meski hidupnya di ke kelingi banyak wanita cantik.”

Audy hampir menjatuhkan sendoknya lagi. “Ku rasa tidak mungkin.”

Clara mengangguk mantap. “Itu yang kudengar. Tapi, ya, siapa juga yang berani mendekat? Wajahnta saja sudah seperti spanduk larangan parkir.”

Nadine menepuk tangan Audy dengan ekspresi lebay. “Kecuali… mungkin ada satu orang ceroboh yang berani menabraknya di lobi.”

Keduanya langsung menatap Audy bersamaan.

Audy tercekat, wajahnya memerah. “Hei! Itu murni kecelakaan, bukan strategi PDKT!”

Clara dan Nadine kompak tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa meja di sekitar ikut melirik penasaran. Audy akhirnya ikut tertawa, meski dalam hati ia mendesah, Ya Tuhan, hari pertama kerja saja aku sudah jadi bahan gosip. Apa jadinya kalau seminggu?

Namun satu hal pasti, ia tidak merasa sendirian. Di meja kantin yang penuh suara tawa itu, Audy merasa seperti sudah menemukan sahabat baru di tempat kerjanya.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!